BAB l
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Strukturalis atau Strukturalisme
merupakan suatu pendekatan ilmu humanis yang mencoba untuk menganalisis bidang
tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem kompleks yang saling berhubungan.
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dianggap sebagai salah satu tokoh penggagas
aliran ini, meskipun masih banyak intelektual Perancis lainnya yang dianggap
memberi pengaruh lebih luas. Aliran ini kemudian diterapkan pula pada bidang
lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, psikoanalisis , teori
sastra dan arsitektur. Ini menjadikan strukturalisme tidak hanya sebagai
sebuah metode, tetapi juga sebuah gerakan intelektual yang datang untuk
mengambil alas eksistensialisme di Perancis tahun 1960-an.
Menurut Alison Assiter, ada empat
ide umum mengenai strukturalisme sebagai bentuk ‘kecenderungan
intelektual’. Pertama, struktur menentukan posisi setiap elemen dari
keseluruhan. Kedua, kaum strukturalis percaya bahwa setiap sistem memiliki
struktur. Ketiga, kaum strukturalis tertarik pada ‘struktural’ hukum yang
berhubungan dengan hidup berdampingan bukan perubahan. Dan terakhir
struktur merupakan ‘hal nyata’ yang terletak di bawah permukaan atau memiliki
makna tersirat.
Strukturalisme muncul sekitar
paruh kedua abad ke-20 dan berkembang menjadi salah satu pendekatan yang paling
populer di bidang akademik berkaitan dengan analisis bahasa, budaya, dan
masyarakat. Aktivitas Ferdinand de Saussure yang menggeluti bidang
linguistik inilah yang dianggap sebagai titik awal dari
strukturalisme. Istilah Strukturalisme itu sendiri muncul dalam
karya-karya antropolog Perancis Claude Lévi-Strauss, yang menyebabkan gerakan
strukturalis di Perancis. Hal ini pula yang mendorong para pemikir seperti
Louis Althusser, psikoanalis Jacques Lacan, serta Nicos Poulantzas untuk
mengembangkannya sebagai Marxisme struktural.
Sebagian besar anggota aliran
strukturalisme ini tidak menggambarkan diri sebagai bagian dari setiap gerakan
tersebut. Strukturalisme berkaitan erat dengan semiotika. Tidak lama
kemudian, aliran baru post strukturalisme muncul dan mencoba untuk membedakan
diri dari aliran struktural. Dengan cara memunculkan hal-hal yang kontradiktiv
(dekonstruksi), para pengikut aliran ini berusaha untuk menjauhkan diri dari
pikiran stukturalis. Beberapa kaum intelektual seperti Julia Kristeva,
mengambil strukturalisme (dan formalisme Rusia) untuk titik awal kiprahnya yang
kemudian menjadikannya menonjol sebagai salah satu tokoh post
strukturalis. Strukturalisme memiliki berbagai tingkat pengaruh dalam ilmu
sosial, dan pengaruh sangat kuat dapat terlihat di bidang sosiologi.
Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan.
Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai
kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-strukturalisme
menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasanan biner
(hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selelu
tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks
tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti
pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia
yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.
1.2Rumusan Masalah
Adapun yang
menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah untuk membahas tentang
strukturalis dan neostrukturalis.
1.3 Tujuan penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam makalah
ini adalah untuk mengetahui bagaimana yang dikatakan dengan strukturalis dan
neostrukturalis. Sehingga melalui pembahsan tersebut kita bisa memperoleh ilmu
pengetahuan serta pemahaman tentang apa sebenarnya strukturalis dan
neostrukturalis tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Strukturalis
Strukturalis atau Strukturalisme
merupakan suatu pendekatan ilmu humanis yang mencoba untuk menganalisis bidang
tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem kompleks yang saling berhubungan.
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dianggap sebagai salah satu tokoh penggagas
aliran ini, meskipun masih banyak intelektual Perancis lainnya yang dianggap
memberi pengaruh lebih luas. Aliran ini kemudian diterapkan pula pada bidang
lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, psikoanalisis , teori
sastra dan arsitektur. Ini menjadikan strukturalisme tidak hanya sebagai
sebuah metode, tetapi juga sebuah gerakan intelektual yang datang untuk
mengambil alas eksistensialisme di Perancis tahun 1960-an.
Bahasan dalam topik ini berkaitan denan kemunculan pemikiran setelah adanya teori sosial modern dengan diawali strukturalisme hingga
post-strukturalisme dan akhirnya dikenal sebagai teori
post-modern. Strukturalisme merupakan praktik signifikansi yang membangun
makna sebagai hasil struktur atau regularitas yang dapat diperkirakan dan
berada diluar diri individu. Bersifat antihumanis karena mengesampingkan agen
manusia dari inti penyelidikannya. Fenomena hanya memiliki makna ketika
dikaitkan dengan sutruktur sistematis yang sumbernya bukan terletak pada
individu. Pemahaman strukutalis terhadap kebudayaan memusatkan perhatian pada
sistem relasi struktur yang mendasarinya.
Strukturalisme
memusatkan perhatian pada struktur, namun tidak sepenuhnya sama dengan struktur
yang menjadi sasaran perhatian teori fungsionalisme struktural. Strukturalisme
lebih memusatkan perthatian pada struktur linguistik. Terjadi pergeseran dari
struktur sosial dan struktur bahasa. Seperti dalam teori sebelumnya,
Etnometodolgi yang memusatkan pada teori percakapan dan komunikasi secara umum,
makas struturalisme lebih kepada bermacam-macam gerak isyarat. F. De Saussure
yang merupakan tokoh strukturalisme memberikan pembedaan antara langue
dan parole. Menurutnya, Langue adalah sistem tata bahasa formal, sistem
elemen phonic yang hubungannya ditentukan oleh hukum yang tetap. Langue
memungkinkan adalanya parole yang merupakan percakapan sebenarnya, cara
pembicara menggunakan bahasa untuk mengatakan dirinya
sendiri.
Strukturalisme
muncul di tahun 1960an berbasis karya Ferdinand de Saussure yang diorientasikan
untuk memahami struktur-struktur yang mendasari bahasa. Basis teorinya berasal
dari linguistik. Menurut aliran ini, setiap orang di masyarakat mengetahui
bagaimana caranya menggunakan bahasa meskipun mereka tidak peduli akan
aturan-aturan berkenaan dengan tata bahasa. Strukturalisme didasarkan pada
kepercayaan bahwa obyek budaya itu seperti literatur, seni dan arsitektur.
Harus dipahami dalam konteks-konteks yang lebih besar dimana mereka berada dan
berkembang. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengemukakan prinsip-prinsip
universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia.
Telah dikemukakan
sebelumnya bahwa strukturalisme melihat makna sebagai hasil struktur atau
regularitas, bersifat anti humanis dan berada diluar individu. Hal ini dapat
ditelusuri dari penggunaan bahasa berdasarkan prinsip-prinsip universal dari
pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan manusia. Sebagai contoh, penggunaan sistem tanda pengaturan lampu
lalu lintas. Ada peraturan yang dimaknai bersama, bahwa warna merah kendaraan
harus berhenti, kuning, harus hati-hati dan hijau boleh jalan. Hal tersebut
dimaknai secara konsisten dan hampir semua masyarakat mengetahuinya. Bahasa
manusia disini merupakan hasil rancangan dari pemikiran dan
tindakan-tindakannya yang membentuk pola universal yang menghasilkan realitas
sosial
Menurut Alison Assiter, ada empat
ide umum mengenai strukturalisme sebagai bentuk ‘kecenderungan
intelektual’. Pertama, struktur menentukan posisi setiap elemen dari
keseluruhan. Kedua, kaum strukturalis percaya bahwa setiap sistem memiliki
struktur. Ketiga, kaum strukturalis tertarik pada ‘struktural’ hukum yang
berhubungan dengan hidup berdampingan bukan perubahan. Dan terakhir
struktur merupakan ‘hal nyata’ yang terletak di bawah permukaan atau memiliki
makna tersirat.
Strukturalisme muncul
sekitar paruh kedua abad ke-20 dan berkembang menjadi salah satu pendekatan
yang paling populer di bidang akademik berkaitan dengan analisis bahasa,
budaya, dan masyarakat. Aktivitas Ferdinand de Saussure yang menggeluti
bidang linguistik inilah yang dianggap sebagai titik awal dari
strukturalisme. Istilah Strukturalisme itu sendiri muncul dalam
karya-karya antropolog Perancis Claude Lévi-Strauss, yang menyebabkan gerakan
strukturalis di Perancis. Hal ini pula yang mendorong para pemikir seperti
Louis Althusser, psikoanalis Jacques Lacan, serta Nicos Poulantzas untuk
mengembangkannya sebagai Marxisme struktural. Sebagian besar anggota
aliran strukturalisme ini tidak menggambarkan diri sebagai bagian dari setiap
gerakan tersebut. Strukturalisme berkaitan erat dengan semiotika. Tidak
lama kemudian, aliran baru post strukturalisme muncul dan mencoba untuk
membedakan diri dari aliran struktural. Dengan cara memunculkan hal-hal yang
kontradiktiv (dekonstruksi), para pengikut aliran ini berusaha untuk menjauhkan
diri dari pikiran stukturalis. Beberapa kaum intelektual seperti Julia
Kristeva, mengambil strukturalisme (dan formalisme Rusia) untuk titik awal
kiprahnya yang kemudian menjadikannya menonjol sebagai salah satu tokoh post
strukturalis. Strukturalisme memiliki berbagai tingkat pengaruh dalam ilmu
sosial, dan pengaruh sangat kuat dapat terlihat di bidang sosiologi.
Aliran Strukturalis menyatakan
bahwa budaya manusia harus dipahami sebagai sistem tanda (system of signs).
Robert Scholes mendefinisikannya sebagai reaksi terhadap keterasingan modernis
dan keputusasaan. Para kaum strukturalis berusaha mengembangkan semiologi
(sistem tanda). Ferdinand de Saussure adalah penggagas strukturalisme abad
ke-20, dan bukti tentang hal ini dapat ditemukan dalam Course in General
Linguistics, yang ditulis oleh rekan-rekan Saussure setelah kematiannya dan
berdasarkan catatan para muridnya. Saussure tidak memfokuskan diri pada
penggunaan bahasa (parole, atau ucapan), melainkan pada sistem yang
mendasari bahasa (langue). Teori ini lalu muncul dan disebut
semiologi. Namun, penemuan sistem ini harus terlebih dahulu melalui
serangkaian pemeriksaan parole (ucapan).
Dengan demikian, Linguistik
Struktural sebenarnya bentuk awal dari linguistik korpus
(kuantifikasi). Pendekatan ini berfokus pada bagaimana sesungguhnya
kita dapat mempelajari unsur-unsur bahasa yang terkait satu sama lain
’sinkronis’ daripada ‘diakronis’. Akhirnya, dia menegaskan bahwa
tanda-tanda linguistik terdiri atas dua bagian, sebuah penanda (pola suara dari
sebuah kata, baik dalam proyeksi mental – seperti pada saat kita membaca puisi
untuk diri kita sendiri dalam hati – atau sebenarnya, realisasi fisik sebagai
bagian dari tindak tutur) dan signified (konsep atau arti kata). Ini
sangat berbeda dari pendekatan sebelumnya yang berfokus pada hubungan antara
kata dan hal-hal di dunia dengan referensinya (Roy Harris dan Talbot Taylor,
[1989], hal 178-179).
Pemikiran Saussure ternyata
mempengaruhi banyak linguis pada kurun waktu terjadinya Perang Dunia I dan
Perang Dunia II. Di Amerika Serikat, misalnya, Leonard Bloomfield
mengembangkan linguistik structural versinya sendiri. Selain itu, ada pula
linguis lainnya seperti Louis Hjlemslev dari Denmark dan Alf Sommerfelt dari
Norwegia. Di Perancis, Antoine Meillet dan Émile Benveniste melanjutkan
pemikiran Saussure ini. Tapi yang paling penting dan masih tetap relevan
hingga saat ini adalah Mahzab Praha dengan tokoh sentralnya seperti Roman
Jakobson dan Nikolai Trubetzkoy, melalui penelitian yang telah dilakukannya.
Salah satu contoh yang dianggap
penting adalah dalam hal fonemik.Mahzab Praha ini tidak seperti halnya mahzab
yang lain yang hanya menyusun daftar suara yang ada dalam suatu bahasa,
melainkan berusaha meneliti bagaimana mereka ada keterkaitan antara satu dengan
yang lainnya. Mereka menyatakan, bahwa suara dalam bahasa tertentu hanya
dapat dianalisis jika ada pembandingnya. Contohnya adalah dalam bahasa Inggris,
bunyi / p / dan / b / dilafalkan berbeda, seperti pada kata « Bat »
dan « Pat ». Menganalisis suara dalam hal fitur kontrastif juga
membuka ruang lingkup komparatif yang dapat memperjelas kita. Misalnya,
kesulitan orang Jepang dalam hal membedakan fonem / r / dan / l / dalam bahasa
Inggris. Ini diakibatkan karena kedua fonem ini tidak kontrastif dalam bahasa
Jepang. Pendekatan semacam ini pada saat itu menjadi hal yang aktual. Fonologi
dapat menjadi dasar paradigmatik untuk strukturalisme dalam sejumlah bidang
yang berbeda.
a.
Pendekatan Strukturalisme
Strukturalisme merupakan studi analitis
tentang generalisasi pikiran manusia dewasa melalui metode introspeksi. Dalam
hal ini psikologi dimaksudkan untuk mempelajari isi (konten) pikiran, sehingga
sistem ini kadang juga disebut dengan psikologi konten. Pendekatan stukturalisme berasal dari Wilhelm
Wundt yang dipelopori di amerika oleh muridnya Edward Bradford Titchener. Perlu
ditekankan bahwa psikologi
strukturalisme ditemukan oleh Wundt sedangkan Titchener hanyalah satu
dari sekian banyak murid yang dimiliki oleh Wundt, tetapi Titchener-lah yang
berupaya membawa psikologi Wundt ke amerika dengan mempertahankan konsep
aslinya.
b.
Konsep Strukturalisme
Dalam konsep dan sistem
ini. Psikologi strukturalisme
dari Wundt dan Titchener memiliki 3 tujuan :
1. Menggambarkan
komponen-komponen kesadaran sebagai elemen-elemen dasar,
2. Menggambarkan
kombinasi kesadaran sebagai elemen-elemen dasar tersebut, dan
3. Menjelaskan
hubungan elemen-elemen kesadaran dengan sistem saraf
Kesadaran diatas diartikan
sebagai pengalaman langsung. Pengalaman langsung yaitu pengalaman sebagaimana
hal itu dialami. Hal ini berbeda dengan pengalaman antara. Pengalaman antara
yaitu diwarnai oleh isi yang sudah ada dalam pikiran, seperti asosiasi
sebelumnnya dan kondisi emosional serta motivasional seseorang. Dengan
demikian, pengalaman langsung diasumsikan tidak dipengaruhi oleh pengalaman
antara. Psikologi strukturalisme
berupaya mempertahankan integritas psikologi dengan membedakannya dari fisika.
Fisika mempelajari dunia fisik atau materi, tanpa merujuk pada manusia dan
melalui metode observasional berupa inspeksi yang dikendalikan dengan
hati-hati. Psikologi mempelajari dunia, dengan merujuk pada manusia yang
mengalami sesuatu, melalui metode observasional berupa introspeksi terkontrol
atas isi kesadaran.
Subjek pembahasan yang tepat bagi
psikologi struktural adalah proses kesadaran dan bebas dari asosiasi. Sehingga
Wundt dan Titchener berpendapat, psikologi harus terbebas dari kekuatan
metafisika, pikiran awam dan kepentingan kegunaan atau terapan yang akan
merusak intergritasnya. Sedangkan metode eksperimental yang digunakan untuk
memastikan ketepatan analisis isi mental adalah introspeksi. Teknik pelaporan
diri ini merupakan pendekatan klasik untuk menggambarkan pengalaman pribadi.
Sehingga introspeksi hanya akan dianggap valid jika dilakukan oleh para ilmuwan
yang sangat terlatih, bukan oleh pengamat awam.
Disamping kelemahan psikologi
struktural dalam pandangan fungsionalisme yaitu hanya sekedar mempelajari isi
dan struktur yang terlibat dalam proses-proses mental, psikologi struktural
memiliki kontribusi positif dalam bidang ilmu psikologi. Sistem ini mendorong
psikologi menjadi ilmu pengetahuan. Wundt mendeklarasikan sebuah disiplin
formal yakni psikologi yang didasarkan pada formulasi-formulasi ilmiah sehingga
psikologi diakui sebagai ilmu pengetahuan.
c.
Sejarah Pengembangan Teori
Teori strukturalisme memiliki latar
belakang sejarah evolusi yang cukup panjang dan berkembang secara
dinamis. Strukturalisme menentang teori mimetic (yang berpandangan bahwa karya
sastra adalah tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap sastra
pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang), dan menentang
teori-teoriyang dianggap satra sebagai media komunikasi antara pengarang dan
pembacanya. Dalam perkembangannya, terdapat banyak konsep dan
istilah yang berbeda, bahkan saling bertentanga. Misalnya strukturalisme
perancis yang terutama diwakili oleh Roland Barthes dan Julia Kristeva,
mengembangkan seni penafsiran structural berdasarkan kode-kode bahasa teks
sastra. melalui kode bahasa itu, diungkap kode-kode reptorika, psikoanalitis,
sosiokultural. Mereka menekankan bahwa sebuah karya sastra harus di
pandang secara otonom. Puisi khususnya dan sastra umumnya
harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrisiknya). keindahan sastra
terletak pada penggunaan bahasa yang khas yang mengandung efek-efek estetik.
Aspek-aspek ekstrisik seperti idiologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agama
tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara
tertentu melalui sarana bahasa puitik.
Dengan adanya perbedaan
pendapat dalam teori strukturalisme sendiri dapat dibagi menjadi tiga
jenis yaitu strukturalisme formalis , strukturalisme genetik, strukturalisme
dinamik yang pada dasarnya secara global strukturalisme menganut paham penulis
paris yang dikembangkan oleh Ferdinand de Sausessure, yang memunculkan konsep
bentuk dan makna ( sign and meaning).
§
Strukturalisme Formalis
Istilah
Formalisme (dari kata Latin forma yang berarti bentuk, wujud) berarti
cara pendekatan dalam ilmu dan kritik sastra yang mengesampingkan data
biografis, psikologis, ideologis, sosiologis dan mengarahkan perhatian pada
bentuk karya sastra itu sendiri. Para Formalis meletakkan perhatiannya pada
ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lainnya. Istilah
Strukturalisme acap kali digunakan pula untuk menyebut model pendekatan ini
karena mereka memandang karya sastra sebagai suatu keseluruhan struktur yang
utuh dan otonom berdasarkan paradigma struktur kebahasaannya. Tokoh; Kaum Formalis Rusia tahun
1915-1930 dengan tokoh-tokohnya seperti Roman Jakobson, Rene Wellek, Sjklovsky,
Eichenhaum, dan Tynjanov .Rene Wellek dan Roman Jakobson beremigrasi ke Amerika
Serikat .
Sumbangan penting kaum formalis
bagi ilmu sastra adalah secara prinsip mereka mengarahkan perhatian kita kepada
unsur-unsur kesastraan dan fungsi puitik. Sampai sekarang masih banyak
dipergunakan istilah teori sastra dan analisis sastra yang berasal dari kaum
Formalis. Karya sastra merupakan sesuatu yang otonom atau berdiri sendiri
.Karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun
karya sastra.Makna sebuah karya sastra hanya dapat diungkapkan atas jalinan atau
keterpaduan antar unsur .
§
Strukturalisme Dinamik
Secara
Etimologis struktur berasal dari kata Structure, bahasa latin yang
berarti bentuk atau bangunan. Struktur berasal dari kata Structura (Latin)
= bentuk, bangunan (kata benda). System (Latin)= cara (kata kerja). asal usul
strukturalis dapat dilacak dengan Poetica Aristoteles, dalam
kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam pembicaraannya mengenai plot.
Plot memiliki ciri-ciri: kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan
(Teeuw, 1988: 121-134).
Menurut Mukarovsky dalam
(Rene Wellek, 1970: 275-276), sejarah Strukturalisme mulai diperkenalkan tahun
1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti
bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak yang lain, metode berarti prosedur
ilmiah yang relativ baik. Sebagai sudut pandang epistimologi, sebagian sistem
tertentu dengan mekanisme antarhubungannya.
§
Strukrutalisme Genetik
Merupakan
jembatan penghubung antara teori struktural formalis dan teori semiotik .Hampir
sama dengan struktural genetik (mengaitkan dengan asal-usul teks) tetapi
penekanannya berbeda, Struktural Dinamik menekankan pada struktur, tanda, dan
realitas. Tokoh-tokohnya : Julia Cristeva dan Roland Bartes (Strukturalisme
Prancis)
d. Filsafat Strukturalis
Secara
garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan
strukturalisme sebagai aliran filsafat.
1. Strukturalisme
adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu
kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik yang dirintis
oleh Ferdinandde Saussure.
2. Strukturalisme
merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam
sejarah filsafat. Di sini metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang
manusia, sejarah, kebudayan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik
struktur-struktur kekerabatan dan struktur-struktur yang lebih luas dalam
kesusasteraan dan dalam pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan
tindakan manusia.
Ciri khas strukturalisme ialah
pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan,
penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan
penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui
pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari
suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap
tingkat) (Bagus, 1996: 1040)
Gagasan-gagasan strukturalisme
juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner
tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan
dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam bermacam
bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat
strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040)
2.2 Pengertian Post-Strukturalis
Post-strukturalisme adalah sebutan kepada sekian banyak kaum
intelektual Perancis yang terkenal sekitar tahun 1960-an sampai dengan
1970-an, yang menkritisi analisa struturalis yang mendominasi Perancis pada
saat itu. Tokoh - tokohnya antara lain Jacques Derrida, Michel Foucault, Gilles Deleuze, Judith Butler dan Julia Kristeva. Sebagaimana istilahnya
post-sturkturalisme adalah bentuk perlawanan pada Strukturalisme. Beberapa
berpendapat bahwa istilah "post-strukturalisme" muncul di Anglo-Amerika
sebagai alat pengelompokan bersama filsuf yang menolak metode dan asumsi -
asumsi filsafat analitis. Meskipun ide - ide tersebut umumnya hanya berhubungan
dengan metafisik (misalnya, metanarasi kemajuan sejarah, seperti orang - orang
dari materialisme dialektik),
banyak komentator mengkritik gerakan ini sebagai relativis dan nihilis.
Gerakan pasca-strukturalis sulit untuk diringkas,
tetapi mungkin secara luas dipahami sebagai respon tubuh berbeda untuk
Strukturalisme. Sebuah gerakan intelektual yang dikembangkan di Eropa dari awal
hingga pertengahan abad ke-20, Strukturalisme berpendapat bahwa budaya manusia
dapat dipahami dengan cara struktur - model pada bahasa (linguistik struktural)
yang berbeda baik dari organisasi realitas dan organisasi ide dan imajinasi.
Sifat yang tepat dari revisi atau kritik strukturalisme berbeda dengan masing -
masing penulis post-strukturalis, meskipun tema umum termasuk penolakan
terhadap swasembada dari struktur yang strukturalisme berpendapat dan
interogasi dari oposisi biner yang merupakan struktur-struktur.
Dua tokoh kunci dalam gerakan post-strukturalis awal
Jacques Derrida dan Roland
Barthes. Meskipun awalnya Barthes strukturalis, selama tahun 1960-an ia semakin
menyukai pandangan post-strukturalis. Pada tahun 1967, Barthes menerbitkan
"The Death of Author" di mana ia mengumumkan acara metaforis:
"kematian" dari penulis sebagai sumber otentik makna untuk teks yang
diberikan. Barthes berpendapat bahwa setiap teks sastra memiliki banyak arti,
dan bahwa penulis bukanlah sumber utama isi semantik atas karya tersebut. The
"Kematian Pengarang," yang dipertahankan Barthes, "Kelahiran
Pembaca," adalah sebagai sumber proliferasi makna dari teks.
Sebuah
teori utama
yang terkait dengan Strukturalisme adalah oposisi
biner. Teori ini mengusulkan adanya teori tertentu dan konsep yang berlawanan, yang
seringkali disusun
dalam hirarki,
logika manusia yang telah diberikan kepada teks. Dapat mencakup Pencerahan / Romantis, pria / wanita, berbicara / menulis, rasional / emosional, penanda / signified, simbolik / imajiner.
Post-strukturalisme
menolak gagasan kualitas penting dari hubungan yang dominan dalam hirarki, dan lebih memilih untuk mengekspos hubungan - hubungan dan ketergantungan istilah dominan padanya tampak tunduk pada pasangannya. Satu - satunya cara untuk benar memahami makna adalah mendekonstruksi
asumsi dan sistem pengetahuan yang menghasilkan ilusi makna tunggal. Tindakan dekonstruksi menerangi bagaimana laki - laki
dapat menjadi perempuan dan bagaimana
rasional dapat menjadi emosional.
Post-strukturalisme dalam kesusasteraan Strukturalisme
dibangun atas prinsip saussure, bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus
dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni
bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai
bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir
sementara menjadi hal yang utama. Post-strukturalis
berpendapat bahwa
konsep "diri" sebagai entitas yang terpisah,
tunggal, dan koheren membangun fiksi. Sebaliknya, individu terdiri dari ketegangan antara klaim-klaim pengetahuan
yang saling bertentangan (misalnya jenis
kelamin, ras, kelas, profesi, dll).
Post-Strukturalisme mulai hadir
dan berkembang dalam ranah Hubungan Internasional sebagai sebuah perspektif
pada tahun 1980. Perspektif ini dipelopori oleh beberapa aktor seperti Richard
Ashley, James Der Derian, Michael Shapiro, dan R.B.J. Walker. Post-Strukturlisme
tidak hadir sebagai suatu teori beru mengenai ilmu hubungan internasional,
namun sebagai suatu pendekatan yang fokus pada aspek abstraksi, representasi
dan interpretasi. Post-Strukturalisme fokus terhadap kritik atas teori-teori
yang telah ada dalam ilmu hubungan internasional sebelumnya. Mereka menganggap
kritik sebagai sebuah hal yang dibutuhkan, suatu hal yang positif, demi
tercapainya alternatif-alternatif baru sehingga keadaan yang lebih baik dapat
tercapai.
Post-Strukturalisme
memulai dengan etika perhatian untuk memasukkan semua yang telah diabaikan atau
disisihkan oleh mainstream dalam Hubungan Internasional (David,
2007). Mereka fokus dengan mengartikulasi
kritik meta-theoritical pada realis dan neorealis untuk mendemonstrasikan
bagaimana asumsi teoritikal dari perspektif tradisional tentang politik
internasional. Mereka tidak setuju dengan realisme dan neo-relisme yang hanya
berfokus pada power dan negara. Realisme dan neo-realisme dianggap telah
memarginalisasikan hal-hal penting seperti aktor-aktor transnasional, isu dan
hubungan, serta tidak mendengarkan suara-suara yang berasa dari luar
orang-orang realis dan perspektif mereka. Namun tidak berarti bahwa
post-strukturalis menolak negara, mereka juga mengkaji aspek-aspek historisis
negara, formasi politik, ekonomi, dan sosial.
Post-Srtukuralisme hadir setelah
adanya strukturalisme. Dapat dikatakan bahwa post-strukturalisme hadir sebagai
dekonstruksi dari Strukturalisme (David, 2007). Strukturalisme beranggapan
bahwa struktur akan membentuk individu, sementara post-strukturalisme meyakini
bahwa individulah yang menciptakan suatu struktur. Dari struktur tersebutlah
kemudian tercipta identitas. Bagi kaum post-strukturalis, identitas merupakan
hal yang sangat penting dalam hubungan internasional. Post-strukturalisme juga
membahas keterkaitan antara teori dan praktek. Mereka memandang teori juga
merupakan sebuah praktek.
Postrukturalisme juga menekankan
hubungan antara ilmu pengetahuan dan power. Hubungan antar ilmu
pengetahuan dan power semkin kuat dengan adanya perkembangan ilmu
pengetahuan yang kita kenal sebagai masa Enlightenment. Masa
Enlightenment membawa ilmu pengetahuan pada tiga asumsi dasar. Pertama, epistemic realism menyadarkan akan adanya dunia di luar sana
yang keberadaan dan tidak bergantung pada peneliti. Kedua,universal scientific language
yaitu anggapan bahwa dunia luar dapat dideskripsikan melalui bahasa yang
tidak mengisyaratkan apapun. Ketiga, correspondence
theory of truth bahwa peneliti dapat mengatakan bahwa sesuatu itu
benar jika cocok dengan faktanya. Bahasa sains yang objektif dan ketiga asumsi
empiris di atas ditujukan untuk memberikan interpretasi dan representasi yang
valid atas suatu fenomena. Dalam ilmu Hubungan Internasional setiap
interpretasi dan kondisi dibangun untuk membentuk sudut pandang, posisi, dan
perspektif yang akan mengarahkan aktor dalam mengatakan dan melakukan sesuatu
lalu kemudian memaknai kejadian-kejadian. (Ashley, Richard. 1996)
Kaum post-strukturalis membagi
negara-negara didunia kedalam tiga kelompok besar, yaitu first world, second
world, dan third world. First World atau negara dunia pertama terdiri dari
negara-negara maju dan kaya yang terletak di bagian utara dan barat dunia.
Mereka ialah negara-negara dengan ekonomi tinggi yang mendominasi negara
lainnya didunia. Second World atau negara dunia kedua ialah negara komunis yang
muncul ketika perang dingin berakhir. Mereka ialah negara-negara di Eropa
bagian timur yang sering juga disebut sebagai negara timur. Third World atau
negara dunia ketiga ialah negara-negara yag memiliki sumber daya namun tidak
mampu mengelolanya. Negara dunia ketiga sering disebut kelompok selatan dalam
peta ekonomi politik. Label ini diberikan oleh negara-negara utara. Mereka
menyebut negara dunia ketiga sebagai underdeveloped, former colonized,
political powerless ness, economic property, social marginalization, dan
political space antara negara dunia pertama dan negara dunia ketiga (Wardhani,
2013).
Terdapat suatu teori yang dikenal
dengan teori modernisasi. Teori ini merupakan dikotomi negara maju dan negara
berkembang (Wardhani). Teori ini diciptakan oleh negara-negara dunia pertama.
Teori ini mengungkapkan bahwa negara dunia ketiga membutuhkan transformasi kultural
untuk membangkitkan mereka menjadi negara dunia pertama. Menurut negara dunia
pertama, mereka telah melakukan banyak hal bagi negara dunia ketiga seperti
transfer modal, sumberdaya, dan teknologi, namun negara dunia ketiga tetap
tidak dapat menyamai mereka, karena memang sudah dikonstruksikan seperti itu,
bahkan sebelum masa penjajahan juga sudah demikian (Wardhani, 2013).
§
Post-Strukturalisme; Struktur yang Dinamis
Jika struktrualisme melihat
struktur sebagi sesuatu yang order dan stabil serta memiliki fungsi membentuk
fenomena sosial. Pada perkembangan selanjutnya pemikiran ini dikritik karena
adanya fakta-fakta yang melihat bahwa struktur merupakan sesuatu yang dinamis
dan tidak stabil. Salah satu tokoh yang muncul mengeritik hal tersebut adalah Michel
Foucault. Dalam hal ini, ia melihat bahwa dalam setiap layer atau konteks ruang
dan waktu ada kekuasaan yang mendominasi pengetahuan dan berdampak kepada
realitas sosial empirik. Sehingga diperlukan upaya mengungkap kebenaran tentang
situasi yang sedang berkembang itu, baik dimasa lalu mapun di masa kini, itulah
yang menurut Foucalut disebut dengan ‘diskursus’. Untuk membahas mengenai
struktur tersebut, Ia membaginya menjadi dua level; arkeologi pengenathuan dan
geanologi kekuasaan.
Dalam arkeologi pengetahuan,
Foucault memberikan metode dalam memahami pengetahuan yaitu dengan melalui
analisis diskursus (discourse analyses). Foucault mencetuskan kajian
mengenai arkheologi ilmu pengetahuan sebagai upaya memahami kondisi-kondisi
dasar sebuah diskursus tercipta. Diskursus di sini diterjemahkan oleh
Foucault sebagai ‘kelompok pernyataan yang memiliki sisitem formasi tunggal”
(Ritzer, 2008; 70-71). Atau dengan kata lain, telaah historis yang komprehensif
dalam membahas suatu pemikiran yang berkembang pada waktu tersebut. Sehingga,
setiap diskursus memiliki kekhasannya tersendiri karena konteks yang berbeda
satu sama lainnya. Lewat arkeologi ilmu pengetahuan inilah, kita akan melihat
diskursus secara objektif dan tidak salah dalam memahami makna dari diskursus
tersebut. Menurut Foucault, diskursus berfungsi untuk “shows the
historically specific relations between disciplines (defined as bodies of
knowledge) and disciplinary practices (forms of social control and social
possibility)” (Mchoul and Grace, 2002; 26).
Sedangkan dalam genaologi
kekuasaan, Foucault melihat bahwa kuasa (power) sesungguhnya memiliki lintasan
sejarah intelektual yang pada giliranya menentukan diskursus yang ada. Dengan
demikian dapatlah diketahui kuasa yang dominan yang dapat menentukan diskurus
di setiap layer atau konteks ruang dan waktu. Genealogi kekuasaan ini
membuktikan bahwa stuktur pengetahuan yang dipahami oleh masyarakat tidaklah
statis dan juga stabil, namun struktur sesungguhnya dinamis dan sangat tidak
stabil.
Di sisi lain, pemikir
post-stukturalis lainya adalah Derrida. Pemikir sosial asa Perancis itu muncul
dengan konsep intinya ‘dekonstruksi’. Dalam hal ini Derrida berkontribusi dalam
memberikan metode dekonsrtuksi dalam melihat imagi, simbol, ataupun tanda dan
juga institusi sosial yang ada. Sebagaimana Foucault, Derrida juga berpendapat
bahwa stuktur merupakan hal yang tidak stabil dan teratur. Ia pun menilik
perkembangan dunia teater yang cukup dinamis di Perancis, menurutnya hal ini
disebabkan karena adanya kebebasan sutradara dan penulis skrip untuk berkarya
di dunia tersebut. Begitupun di dalam realitas sosial yang ada, sesungguhnya
setiap individu merupakan ‘penulis yang bebas’ bebas berkreasi dan berinovasi
untuk membentuk dunia sosialnya. Dengan demikian, maka masa depan haruslah
ditemukan dan itu merupakan proses yang kontinyu untuk menjadi, bukan sebagai
refleksi statis atas masa lalu yang memperlihatkan kebekuan dan kekolotan.
2.3 Hubungan secara konseptual antara
Strukturalis dan Pos-strukturalis
Berdasarkan namanya,
post-strukturalisme dibangun diatas gagasan strukturalisme, namun bergerak
keluar dan menciptakan mode berpikirnya sendiri. Strukturalisme dipengaruhi
oleh ilmu bahasa, bahwa bahasa sebagai simbol dapat menciptakan makna yang
berlaku secara universal, sedangkan pos-strukturalisme tidak melihat adanya
kestabilan dan universalitas makna dalam bahasa. Bahkan Derrida berupaya untuk
melakukan “dekonstruksi logosentrisme”. Dia ingin melihat masyarakat terbebas
dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah menciptakan pemikiran
dominan. Sedangkan Foucoult mengemukakan pandangannya tentang
pengetahuan/kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Bahwa orang
yang memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa.
Kenyataan empiris yang terjadi saat ini, dapat diambil contoh penggunaan kartu
kredit sebagai sarana untuk pembayaran dan pembelian suatu produk barang atau
jasa. Pendekatan Strukturalis melihat bahwa ada pemaknaan bahasa dalam kartu kredit yang dikeluarkan oleh sistem
perbankan dan berlaku universal. Pemohon kartu kredit harus memiliki
persyaratan tertentu untuk mendapatkannya. Simbol yang ada di kartu dimaknai
bersama, baik oleh pembeli maupun penjual, bahwa penggunaannya
hanya dengan “menggesekkan” kartu ke alat terentu dan bank akan
mengeluarkan kredit pinjaman kepada pemegang kartu. Kata-kata dalam bahasa
“tinggal gesek” dimaknai secara strukturalis sebagai alat kemudahan membayar.
Post-strukturalis melihatnya bahwa kartu kredit tersebut kurang atau tidak
bermanfaat, simbol kartu yang dimaknai sebagai alat tukar bergengsi justru
dimaknai oleh post-strukturalis sebagai penciptaan masalah baru. Ada unsur
ketidakstabilan. Makna “kewajiban” membayar berbeda pemaknaannya oleh pemakai
kartu, karena ketidakmapunannya untuk membayar atau karena ketidakdisiplinannya
dalam membayar cicilan. Bila kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang kartu
kredit untuk melunasi atau mencicil hutang tidak dijalankan, maka ada sanksi
tertentu terhadap pemegang kartu, baik denda maupun sanksi hukum, bila tidak
sanggup membayar.
Bila dilihat dari
sudut pandang pengetahuan/kekuasaan, maka orang-orang yang mengetahui
kebaikan dan keburukan kartu, tentu akan “menguasai” kartu tersebut, dalam arti
dapat memanfaatkan sebaik-baiknya. Dia akan mempelajari, berapa beban bunganya
dalam sebulan atau setahun, berapa biaya adiministrasinya, berapa dendanya bila
terlambat, berapa iuran anggotanya pertahun, dan setiap tanggal berapa dia
harus membayar tagihan serta berapa yang harus dibayar. Pengetahuan ini yang
menurut pandangan Foucoult berkaitan dengan kekuasaan. Bila nasabah/pemegang
kartu memiliki pengetahuan, maka dia akan berkuasa (kartu tersebut
bermanfaat) namun bila tidak, maka pihak bank yang akan berkuasa (beruntung).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Strukturalis atau Strukturalisme
merupakan suatu pendekatan ilmu humanis yang mencoba untuk menganalisis bidang
tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem kompleks yang saling berhubungan.
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dianggap sebagai salah satu tokoh penggagas
aliran ini, meskipun masih banyak intelektual Perancis lainnya yang dianggap
memberi pengaruh lebih luas. Aliran ini kemudian diterapkan pula pada bidang
lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, psikoanalisis , teori
sastra dan arsitektur. Ini menjadikan strukturalisme tidak hanya sebagai
sebuah metode, tetapi juga sebuah gerakan intelektual yang datang untuk mengambil
alas eksistensialisme di Perancis tahun 1960-an.
Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik
maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil
menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya,
post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna
melalui pasanan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang
tidak stabil, yang selelu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi
pada kata, kalimat atau teks tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil
hubungan antar teks. Sama seperti pendahulunya, bersifat antihumanis dalam
upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu dan koheren sebagai asal
muasal makna stabil.
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan bagi para pembaca
agar lebih mengenal dan lebih mengetahui tentang teori beserta tokoh
strukturalis dan post-strukturalis. Sehingga kita bisa sama-sama mendapatkan
ilmu tentang perkembangan strukturalis sampai kepada post strukturalis.
DAFTAR PUSTAKA
§ Dikutip dalam http://nerys2.wordpress.com/strukturalisme/
Diakses pada 15 Desember 2013 Pukul 23:03
§ Dikutip dalam http://sociolovers-ui.blogspot.com/2012/06/strukutralisme-bahasan-dalam-topik-ini.html
Diakses pada 15 Desember 2013 Pukul 23:14
§ Dikutip dalam http://patahpensil.blogspot.com/2012/01/post-strukturalisme.html
Diakses pada 15 Desember 2013 Pukul 23:21
§ Dikutip dalam http://yudomahendro.wordpress.com/2012/04/18/strukturalisme-dan-post-strukturalisme/
Diakses pada 15 Desember 2013 Pukul 23:27
§ Dikutip dalam http://elizabethlouise-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-81937-Teori%20Hubungan%20InternasionalPostStrukturalisme%20dan%20PostKolonialisme.html
Diakses pada 15 Desember 2013 Pukul 23:30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar