Selasa, 04 November 2014

Strukturalis & Post- Strukturalis



BAB l
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
                Strukturalis atau Strukturalisme merupakan suatu pendekatan ilmu humanis yang mencoba untuk menganalisis bidang tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem kompleks yang saling berhubungan. Ferdinand de Saussure (1857-1913) dianggap sebagai salah satu tokoh penggagas aliran ini, meskipun masih banyak intelektual Perancis lainnya yang dianggap memberi pengaruh lebih luas. Aliran ini kemudian diterapkan pula pada bidang lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, psikoanalisis , teori sastra dan arsitektur. Ini menjadikan strukturalisme tidak hanya sebagai sebuah metode, tetapi juga sebuah gerakan intelektual yang datang untuk mengambil alas eksistensialisme di Perancis tahun 1960-an.
                Menurut Alison Assiter, ada empat ide umum mengenai strukturalisme sebagai bentuk ‘kecenderungan intelektual’. Pertama, struktur menentukan posisi setiap elemen dari keseluruhan. Kedua, kaum strukturalis percaya bahwa setiap sistem memiliki struktur. Ketiga, kaum strukturalis tertarik pada ‘struktural’ hukum yang berhubungan dengan hidup berdampingan bukan perubahan. Dan terakhir struktur merupakan ‘hal nyata’ yang terletak di bawah permukaan atau memiliki makna tersirat.
                Strukturalisme muncul sekitar paruh kedua abad ke-20 dan berkembang menjadi salah satu pendekatan yang paling populer di bidang akademik berkaitan dengan analisis bahasa, budaya, dan masyarakat.  Aktivitas Ferdinand de Saussure yang menggeluti bidang  linguistik inilah yang dianggap sebagai titik awal dari strukturalisme. Istilah Strukturalisme itu sendiri muncul dalam karya-karya antropolog Perancis Claude Lévi-Strauss, yang menyebabkan gerakan strukturalis di Perancis. Hal ini pula yang mendorong para pemikir seperti Louis Althusser, psikoanalis Jacques Lacan, serta Nicos Poulantzas untuk mengembangkannya sebagai Marxisme struktural. 
                Sebagian besar anggota aliran strukturalisme ini tidak menggambarkan diri sebagai bagian dari setiap gerakan tersebut. Strukturalisme berkaitan erat dengan semiotika. Tidak lama kemudian, aliran baru post strukturalisme muncul dan mencoba untuk membedakan diri dari aliran struktural. Dengan cara memunculkan hal-hal yang kontradiktiv (dekonstruksi), para pengikut aliran ini berusaha untuk menjauhkan diri dari pikiran stukturalis. Beberapa kaum intelektual seperti Julia Kristeva, mengambil strukturalisme (dan formalisme Rusia) untuk titik awal kiprahnya yang kemudian menjadikannya menonjol sebagai salah satu tokoh post strukturalis. Strukturalisme memiliki berbagai tingkat pengaruh dalam ilmu sosial, dan pengaruh sangat kuat dapat terlihat di bidang sosiologi.
                Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasanan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selelu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.
1.2Rumusan Masalah
 Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah untuk membahas tentang strukturalis dan neostrukturalis.
1.3 Tujuan penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana yang dikatakan dengan strukturalis dan neostrukturalis. Sehingga melalui pembahsan tersebut kita bisa memperoleh ilmu pengetahuan serta pemahaman tentang apa sebenarnya strukturalis dan neostrukturalis tersebut.











BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Strukturalis
                Strukturalis atau Strukturalisme merupakan suatu pendekatan ilmu humanis yang mencoba untuk menganalisis bidang tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem kompleks yang saling berhubungan. Ferdinand de Saussure (1857-1913) dianggap sebagai salah satu tokoh penggagas aliran ini, meskipun masih banyak intelektual Perancis lainnya yang dianggap memberi pengaruh lebih luas. Aliran ini kemudian diterapkan pula pada bidang lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, psikoanalisis , teori sastra dan arsitektur. Ini menjadikan strukturalisme tidak hanya sebagai sebuah metode, tetapi juga sebuah gerakan intelektual yang datang untuk mengambil alas eksistensialisme di Perancis tahun 1960-an.
Bahasan dalam topik ini berkaitan denan kemunculan pemikiran setelah adanya teori sosial modern dengan diawali strukturalisme hingga post-strukturalisme dan akhirnya dikenal sebagai teori post-modern. Strukturalisme merupakan praktik signifikansi yang membangun makna sebagai hasil struktur atau regularitas yang dapat diperkirakan dan berada diluar diri individu. Bersifat antihumanis karena mengesampingkan agen manusia dari inti penyelidikannya. Fenomena hanya memiliki makna ketika dikaitkan dengan sutruktur sistematis yang sumbernya bukan terletak pada individu. Pemahaman strukutalis terhadap kebudayaan memusatkan perhatian pada sistem relasi struktur yang mendasarinya.
          Strukturalisme memusatkan perhatian pada struktur, namun tidak sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teori fungsionalisme struktural. Strukturalisme lebih memusatkan perthatian pada struktur linguistik. Terjadi pergeseran dari struktur sosial dan struktur bahasa. Seperti dalam teori sebelumnya, Etnometodolgi yang memusatkan pada teori percakapan dan komunikasi secara umum, makas struturalisme lebih kepada bermacam-macam gerak isyarat. F. De Saussure yang merupakan tokoh strukturalisme memberikan pembedaan antara langue dan parole. Menurutnya, Langue adalah sistem tata bahasa formal, sistem elemen phonic yang hubungannya ditentukan oleh hukum yang tetap. Langue memungkinkan adalanya parole yang merupakan percakapan sebenarnya, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengatakan dirinya sendiri.           
                Strukturalisme muncul di tahun 1960an berbasis karya Ferdinand de Saussure yang diorientasikan untuk memahami struktur-struktur yang mendasari bahasa. Basis teorinya berasal dari linguistik. Menurut aliran ini, setiap orang di masyarakat mengetahui bagaimana caranya menggunakan bahasa meskipun mereka tidak peduli akan aturan-aturan berkenaan dengan tata bahasa. Strukturalisme didasarkan pada kepercayaan bahwa obyek budaya itu seperti literatur, seni dan arsitektur. Harus dipahami dalam konteks-konteks yang lebih besar dimana mereka berada dan berkembang. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengemukakan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia.
          Telah dikemukakan sebelumnya bahwa strukturalisme melihat makna sebagai hasil struktur atau regularitas, bersifat anti humanis dan berada diluar individu. Hal ini dapat ditelusuri dari penggunaan bahasa berdasarkan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia. Sebagai contoh, penggunaan sistem tanda pengaturan lampu lalu lintas. Ada peraturan yang dimaknai bersama, bahwa warna merah kendaraan harus berhenti, kuning, harus hati-hati dan hijau boleh jalan. Hal tersebut dimaknai secara konsisten dan hampir semua masyarakat mengetahuinya. Bahasa manusia disini merupakan hasil rancangan dari pemikiran dan tindakan-tindakannya yang membentuk pola universal yang menghasilkan realitas sosial
                Menurut Alison Assiter, ada empat ide umum mengenai strukturalisme sebagai bentuk ‘kecenderungan intelektual’. Pertama, struktur menentukan posisi setiap elemen dari keseluruhan. Kedua, kaum strukturalis percaya bahwa setiap sistem memiliki struktur. Ketiga, kaum strukturalis tertarik pada ‘struktural’ hukum yang berhubungan dengan hidup berdampingan bukan perubahan. Dan terakhir struktur merupakan ‘hal nyata’ yang terletak di bawah permukaan atau memiliki makna tersirat.
Strukturalisme muncul sekitar paruh kedua abad ke-20 dan berkembang menjadi salah satu pendekatan yang paling populer di bidang akademik berkaitan dengan analisis bahasa, budaya, dan masyarakat.  Aktivitas Ferdinand de Saussure yang menggeluti bidang  linguistik inilah yang dianggap sebagai titik awal dari strukturalisme. Istilah Strukturalisme itu sendiri muncul dalam karya-karya antropolog Perancis Claude Lévi-Strauss, yang menyebabkan gerakan strukturalis di Perancis. Hal ini pula yang mendorong para pemikir seperti Louis Althusser, psikoanalis Jacques Lacan, serta Nicos Poulantzas untuk mengembangkannya sebagai Marxisme struktural. Sebagian besar anggota aliran strukturalisme ini tidak menggambarkan diri sebagai bagian dari setiap gerakan tersebut. Strukturalisme berkaitan erat dengan semiotika. Tidak lama kemudian, aliran baru post strukturalisme muncul dan mencoba untuk membedakan diri dari aliran struktural. Dengan cara memunculkan hal-hal yang kontradiktiv (dekonstruksi), para pengikut aliran ini berusaha untuk menjauhkan diri dari pikiran stukturalis. Beberapa kaum intelektual seperti Julia Kristeva, mengambil strukturalisme (dan formalisme Rusia) untuk titik awal kiprahnya yang kemudian menjadikannya menonjol sebagai salah satu tokoh post strukturalis. Strukturalisme memiliki berbagai tingkat pengaruh dalam ilmu sosial, dan pengaruh sangat kuat dapat terlihat di bidang sosiologi.
                Aliran Strukturalis menyatakan bahwa budaya manusia harus dipahami sebagai sistem tanda (system of signs). Robert Scholes mendefinisikannya sebagai reaksi terhadap keterasingan modernis dan keputusasaan. Para kaum strukturalis berusaha mengembangkan semiologi (sistem tanda). Ferdinand de Saussure adalah penggagas strukturalisme abad ke-20, dan bukti tentang hal ini dapat ditemukan dalam Course in General Linguistics, yang ditulis oleh rekan-rekan Saussure setelah kematiannya dan berdasarkan catatan para muridnya. Saussure tidak memfokuskan diri pada penggunaan bahasa (parole, atau ucapan), melainkan pada sistem yang mendasari bahasa (langue). Teori ini lalu muncul dan disebut semiologi. Namun, penemuan sistem ini harus terlebih dahulu melalui serangkaian pemeriksaan parole (ucapan). 
                Dengan demikian, Linguistik Struktural sebenarnya bentuk awal dari linguistik korpus (kuantifikasi). Pendekatan ini berfokus pada  bagaimana sesungguhnya kita dapat mempelajari unsur-unsur bahasa yang terkait satu sama lain  ’sinkronis’ daripada ‘diakronis’. Akhirnya, dia menegaskan bahwa tanda-tanda linguistik terdiri atas dua bagian, sebuah penanda (pola suara dari sebuah kata, baik dalam proyeksi mental – seperti pada saat kita membaca puisi untuk diri kita sendiri dalam hati – atau sebenarnya, realisasi fisik sebagai bagian dari tindak tutur) dan signified (konsep atau arti kata). Ini sangat berbeda dari pendekatan sebelumnya yang berfokus pada hubungan antara kata dan hal-hal di dunia dengan referensinya (Roy Harris dan Talbot Taylor, [1989], hal 178-179).
                Pemikiran Saussure ternyata mempengaruhi banyak linguis pada kurun waktu terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Di Amerika Serikat, misalnya, Leonard Bloomfield mengembangkan linguistik structural versinya sendiri. Selain itu, ada pula linguis lainnya seperti Louis Hjlemslev dari Denmark dan Alf Sommerfelt dari Norwegia. Di Perancis, Antoine Meillet dan Émile Benveniste melanjutkan pemikiran Saussure ini. Tapi yang paling penting dan masih tetap relevan hingga saat ini adalah Mahzab Praha dengan tokoh sentralnya seperti Roman Jakobson dan Nikolai Trubetzkoy, melalui penelitian yang telah dilakukannya.
                Salah satu contoh yang dianggap penting adalah dalam hal fonemik.Mahzab Praha ini tidak seperti halnya mahzab yang lain yang hanya menyusun daftar suara yang ada dalam suatu bahasa, melainkan berusaha meneliti bagaimana mereka ada keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Mereka menyatakan, bahwa suara dalam bahasa tertentu hanya dapat dianalisis jika ada pembandingnya. Contohnya adalah dalam bahasa Inggris, bunyi / p / dan / b / dilafalkan berbeda, seperti pada kata « Bat » dan « Pat ». Menganalisis suara dalam hal fitur kontrastif juga membuka ruang lingkup komparatif yang dapat memperjelas kita. Misalnya, kesulitan orang Jepang dalam hal membedakan fonem / r / dan / l / dalam bahasa Inggris. Ini diakibatkan karena kedua fonem ini tidak kontrastif dalam bahasa Jepang. Pendekatan semacam ini pada saat itu menjadi hal yang aktual. Fonologi dapat menjadi dasar paradigmatik untuk strukturalisme dalam sejumlah bidang yang berbeda.
a.    Pendekatan Strukturalisme
            Strukturalisme merupakan studi analitis tentang generalisasi pikiran manusia dewasa melalui metode introspeksi. Dalam hal ini psikologi dimaksudkan untuk mempelajari isi (konten) pikiran, sehingga sistem ini kadang juga disebut dengan psikologi konten. Pendekatan stukturalisme berasal dari Wilhelm Wundt yang dipelopori di amerika oleh muridnya Edward Bradford Titchener. Perlu ditekankan bahwa psikologi strukturalisme ditemukan oleh Wundt sedangkan Titchener hanyalah satu dari sekian banyak murid yang dimiliki oleh Wundt, tetapi Titchener-lah yang berupaya membawa psikologi Wundt ke amerika dengan mempertahankan konsep aslinya.
b.    Konsep Strukturalisme
Dalam konsep dan sistem ini. Psikologi strukturalisme dari Wundt dan Titchener memiliki 3 tujuan :
1.      Menggambarkan komponen-komponen kesadaran sebagai elemen-elemen dasar,
2.      Menggambarkan kombinasi kesadaran sebagai elemen-elemen dasar tersebut, dan
3.      Menjelaskan hubungan elemen-elemen kesadaran dengan sistem saraf
                Kesadaran diatas diartikan sebagai pengalaman langsung. Pengalaman langsung yaitu pengalaman sebagaimana hal itu dialami. Hal ini berbeda dengan pengalaman antara. Pengalaman antara yaitu diwarnai oleh isi yang sudah ada dalam pikiran, seperti asosiasi sebelumnnya dan kondisi emosional serta motivasional seseorang. Dengan demikian, pengalaman langsung diasumsikan tidak dipengaruhi oleh pengalaman antara. Psikologi strukturalisme berupaya mempertahankan integritas psikologi dengan membedakannya dari fisika. Fisika mempelajari dunia fisik atau materi, tanpa merujuk pada manusia dan melalui metode observasional berupa inspeksi yang dikendalikan dengan hati-hati. Psikologi mempelajari dunia, dengan merujuk pada manusia yang mengalami sesuatu, melalui metode observasional berupa introspeksi terkontrol atas isi kesadaran.
                Subjek pembahasan yang tepat bagi psikologi struktural adalah proses kesadaran dan bebas dari asosiasi. Sehingga Wundt dan Titchener berpendapat, psikologi harus terbebas dari kekuatan metafisika, pikiran awam dan kepentingan kegunaan atau terapan yang akan merusak intergritasnya. Sedangkan metode eksperimental yang digunakan untuk memastikan ketepatan analisis isi mental adalah introspeksi. Teknik pelaporan diri ini merupakan pendekatan klasik untuk menggambarkan pengalaman pribadi. Sehingga introspeksi hanya akan dianggap valid jika dilakukan oleh para ilmuwan yang sangat terlatih, bukan oleh pengamat awam.
                Disamping kelemahan psikologi struktural dalam pandangan fungsionalisme yaitu hanya sekedar mempelajari isi dan struktur yang terlibat dalam proses-proses mental, psikologi struktural memiliki kontribusi positif dalam bidang ilmu psikologi. Sistem ini mendorong psikologi menjadi ilmu pengetahuan. Wundt mendeklarasikan sebuah disiplin formal yakni psikologi yang didasarkan pada formulasi-formulasi ilmiah sehingga psikologi diakui sebagai ilmu pengetahuan.
c.    Sejarah Pengembangan Teori
              Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup panjang  dan berkembang secara dinamis. Strukturalisme menentang teori mimetic (yang berpandangan bahwa karya sastra adalah tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang), dan menentang teori-teoriyang dianggap satra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.  Dalam perkembangannya, terdapat  banyak konsep dan istilah yang berbeda, bahkan saling bertentanga. Misalnya strukturalisme perancis yang terutama diwakili oleh Roland Barthes dan Julia Kristeva, mengembangkan seni penafsiran structural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. melalui kode bahasa itu, diungkap kode-kode reptorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan  bahwa sebuah karya sastra harus di pandang secara otonom.   Puisi khususnya dan sastra umumnya  harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrisiknya). keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasa yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-aspek ekstrisik seperti idiologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.
Dengan adanya perbedaan pendapat dalam teori  strukturalisme sendiri dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu strukturalisme formalis , strukturalisme genetik, strukturalisme dinamik yang pada dasarnya secara global strukturalisme menganut paham penulis paris yang dikembangkan oleh Ferdinand de Sausessure, yang memunculkan konsep bentuk dan makna ( sign and meaning). 
§  Strukturalisme Formalis
                Istilah Formalisme (dari kata Latin forma yang berarti bentuk, wujud) berarti cara pendekatan dalam ilmu dan kritik sastra yang mengesampingkan data biografis, psikologis, ideologis, sosiologis dan mengarahkan perhatian pada bentuk karya sastra itu sendiri. Para Formalis meletakkan perhatiannya pada ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lainnya. Istilah Strukturalisme acap kali digunakan pula untuk menyebut model pendekatan ini karena mereka memandang karya sastra sebagai suatu keseluruhan struktur yang utuh dan otonom berdasarkan paradigma struktur kebahasaannya. Tokoh; Kaum Formalis Rusia tahun 1915-1930 dengan tokoh-tokohnya seperti Roman Jakobson, Rene Wellek, Sjklovsky, Eichenhaum, dan Tynjanov .Rene Wellek dan Roman Jakobson beremigrasi ke Amerika Serikat .
                Sumbangan penting kaum formalis bagi ilmu sastra adalah secara prinsip mereka mengarahkan perhatian kita kepada unsur-unsur kesastraan dan fungsi puitik. Sampai sekarang masih banyak dipergunakan istilah teori sastra dan analisis sastra yang berasal dari kaum Formalis. Karya sastra merupakan sesuatu yang otonom atau berdiri sendiri .Karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun karya sastra.Makna sebuah karya sastra hanya dapat diungkapkan atas jalinan atau keterpaduan antar unsur .
§  Strukturalisme Dinamik
                Secara Etimologis struktur berasal dari kata Structure, bahasa latin yang berarti bentuk atau bangunan. Struktur berasal dari kata Structura (Latin) = bentuk, bangunan (kata benda). System (Latin)= cara (kata kerja). asal usul strukturalis dapat dilacak dengan Poetica  Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam pembicaraannya mengenai plot. Plot memiliki ciri-ciri: kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 121-134).
              Menurut Mukarovsky dalam (Rene Wellek, 1970: 275-276), sejarah Strukturalisme mulai diperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak yang lain, metode berarti prosedur ilmiah yang relativ baik. Sebagai sudut pandang epistimologi, sebagian sistem tertentu dengan mekanisme antarhubungannya.
§  Strukrutalisme Genetik
              Merupakan jembatan penghubung antara teori struktural formalis dan teori semiotik .Hampir sama dengan struktural genetik (mengaitkan dengan asal-usul teks) tetapi penekanannya berbeda, Struktural Dinamik menekankan pada struktur, tanda, dan realitas. Tokoh-tokohnya : Julia Cristeva dan Roland Bartes (Strukturalisme Prancis)
d.  Filsafat Strukturalis
            Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat.
1.      Strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik yang dirintis oleh Ferdinandde Saussure.
2.      Strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Di sini metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik struktur-struktur kekerabatan dan struktur-struktur yang lebih luas dalam kesusasteraan dan dalam pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia.
                Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040)
                Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040) 
2.2 Pengertian Post-Strukturalis
            Post-strukturalisme adalah sebutan kepada sekian banyak kaum intelektual Perancis yang  terkenal sekitar tahun 1960-an sampai dengan 1970-an, yang menkritisi analisa struturalis yang mendominasi Perancis pada saat itu. Tokoh - tokohnya antara lain Jacques Derrida, Michel Foucault, Gilles Deleuze, Judith Butler dan Julia Kristeva. Sebagaimana istilahnya post-sturkturalisme adalah bentuk perlawanan pada Strukturalisme. Beberapa berpendapat bahwa istilah "post-strukturalisme" muncul di Anglo-Amerika sebagai alat pengelompokan bersama filsuf yang menolak metode dan asumsi - asumsi filsafat analitis. Meskipun ide - ide tersebut umumnya hanya berhubungan dengan metafisik (misalnya, metanarasi kemajuan sejarah, seperti orang - orang dari materialisme dialektik), banyak komentator mengkritik gerakan ini sebagai relativis dan nihilis.
                Gerakan pasca-strukturalis sulit untuk diringkas, tetapi mungkin secara luas dipahami sebagai respon tubuh berbeda untuk Strukturalisme. Sebuah gerakan intelektual yang dikembangkan di Eropa dari awal hingga pertengahan abad ke-20, Strukturalisme berpendapat bahwa budaya manusia dapat dipahami dengan cara struktur - model pada bahasa (linguistik struktural) yang berbeda baik dari organisasi realitas dan organisasi ide dan imajinasi. Sifat yang tepat dari revisi atau kritik strukturalisme berbeda dengan masing - masing penulis post-strukturalis, meskipun tema umum termasuk penolakan terhadap swasembada dari struktur yang strukturalisme berpendapat dan interogasi dari oposisi biner yang merupakan struktur-struktur.
                Dua tokoh kunci dalam gerakan post-strukturalis awal Jacques Derrida dan Roland Barthes. Meskipun awalnya Barthes strukturalis, selama tahun 1960-an ia semakin menyukai pandangan post-strukturalis. Pada tahun 1967, Barthes menerbitkan "The Death of Author" di mana ia mengumumkan acara metaforis: "kematian" dari penulis sebagai sumber otentik makna untuk teks yang diberikan. Barthes berpendapat bahwa setiap teks sastra memiliki banyak arti, dan bahwa penulis bukanlah sumber utama isi semantik atas karya tersebut. The "Kematian Pengarang," yang dipertahankan Barthes, "Kelahiran Pembaca," adalah sebagai sumber proliferasi makna dari teks. 
                Sebuah teori utama yang terkait dengan Strukturalisme adalah oposisi biner. Teori ini mengusulkan adanya teori tertentu dan konsep yang berlawanan, yang seringkali disusun dalam hirarki, logika manusia yang telah diberikan kepada teks. Dapat mencakup Pencerahan / Romantis, pria / wanita, berbicara / menulis, rasional / emosional, penanda / signified, simbolik / imajiner. 
                Post-strukturalisme menolak gagasan kualitas penting dari hubungan yang dominan dalam hirarki, dan lebih memilih untuk mengekspos hubungan - hubungan dan ketergantungan istilah dominan padanya tampak tunduk pada pasangannya. Satu - satunya cara untuk benar memahami makna adalah mendekonstruksi asumsi dan sistem pengetahuan yang menghasilkan ilusi makna tunggal. Tindakan dekonstruksi menerangi bagaimana laki - laki dapat menjadi perempuan dan bagaimana rasional dapat menjadi emosional.
                Post-strukturalisme dalam kesusasteraan Strukturalisme dibangun atas prinsip saussure, bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama. Post-strukturalis berpendapat bahwa konsep "diri" sebagai entitas yang terpisah, tunggal, dan koheren membangun fiksi. Sebaliknya, individu terdiri dari ketegangan antara klaim-klaim pengetahuan yang saling bertentangan (misalnya jenis kelamin, ras, kelas, profesi, dll).
                Post-Strukturalisme mulai hadir dan berkembang dalam ranah Hubungan Internasional sebagai sebuah perspektif pada tahun 1980. Perspektif ini dipelopori oleh beberapa aktor seperti Richard Ashley, James Der Derian, Michael Shapiro, dan R.B.J. Walker. Post-Strukturlisme tidak hadir sebagai suatu teori beru mengenai ilmu hubungan internasional, namun sebagai suatu pendekatan yang fokus pada aspek abstraksi, representasi dan interpretasi. Post-Strukturalisme fokus terhadap kritik atas teori-teori yang telah ada dalam ilmu hubungan internasional sebelumnya. Mereka menganggap kritik sebagai sebuah hal yang dibutuhkan, suatu hal yang positif, demi tercapainya alternatif-alternatif baru sehingga keadaan yang lebih baik dapat tercapai.
Post-Strukturalisme memulai dengan etika perhatian untuk memasukkan semua yang telah diabaikan atau disisihkan oleh mainstream dalam Hubungan Internasional (David, 2007). Mereka fokus dengan mengartikulasi kritik meta-theoritical pada realis dan neorealis untuk mendemonstrasikan bagaimana asumsi teoritikal dari perspektif tradisional tentang politik internasional. Mereka tidak setuju dengan realisme dan neo-relisme yang hanya berfokus pada power dan negara. Realisme dan neo-realisme dianggap telah memarginalisasikan hal-hal penting seperti aktor-aktor transnasional, isu dan hubungan, serta tidak mendengarkan suara-suara yang berasa dari luar orang-orang realis dan perspektif mereka. Namun tidak berarti bahwa post-strukturalis menolak negara, mereka juga mengkaji aspek-aspek historisis negara, formasi politik, ekonomi, dan sosial.
                Post-Srtukuralisme hadir setelah adanya strukturalisme. Dapat dikatakan bahwa post-strukturalisme hadir sebagai dekonstruksi dari Strukturalisme (David, 2007). Strukturalisme beranggapan bahwa struktur akan membentuk individu, sementara post-strukturalisme meyakini bahwa individulah yang menciptakan suatu struktur. Dari struktur tersebutlah kemudian tercipta identitas. Bagi kaum post-strukturalis, identitas merupakan hal yang sangat penting dalam hubungan internasional. Post-strukturalisme juga membahas keterkaitan antara teori dan praktek. Mereka memandang teori juga merupakan sebuah praktek.
                Postrukturalisme juga menekankan hubungan antara ilmu pengetahuan dan power. Hubungan antar ilmu pengetahuan dan power  semkin kuat dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan yang kita kenal sebagai masa Enlightenment. Masa Enlightenment membawa ilmu pengetahuan pada tiga asumsi dasar.  Pertama, epistemic realism menyadarkan akan adanya dunia di luar sana yang keberadaan dan tidak bergantung pada peneliti. Kedua,universal scientific language  yaitu anggapan bahwa dunia luar dapat dideskripsikan melalui bahasa yang tidak mengisyaratkan apapun. Ketiga, correspondence theory of truth bahwa peneliti dapat mengatakan bahwa sesuatu itu benar jika cocok dengan faktanya. Bahasa sains yang objektif dan ketiga asumsi empiris di atas ditujukan untuk memberikan interpretasi dan representasi yang valid atas suatu fenomena. Dalam ilmu Hubungan Internasional setiap interpretasi dan kondisi dibangun untuk membentuk sudut pandang, posisi, dan perspektif yang akan mengarahkan aktor dalam mengatakan dan melakukan sesuatu lalu kemudian memaknai kejadian-kejadian. (Ashley, Richard. 1996)
                Kaum post-strukturalis membagi negara-negara didunia kedalam tiga kelompok besar, yaitu first world, second world, dan third world. First World atau negara dunia pertama terdiri dari negara-negara maju dan kaya yang terletak di bagian utara dan barat dunia. Mereka ialah negara-negara dengan ekonomi tinggi yang mendominasi negara lainnya didunia. Second World atau negara dunia kedua ialah negara komunis yang muncul ketika perang dingin berakhir. Mereka ialah negara-negara di Eropa bagian timur yang sering juga disebut sebagai negara timur. Third World atau negara dunia ketiga ialah negara-negara yag memiliki sumber daya namun tidak mampu mengelolanya. Negara dunia ketiga sering disebut kelompok selatan dalam peta ekonomi politik. Label ini diberikan oleh negara-negara utara. Mereka menyebut negara dunia ketiga sebagai underdeveloped, former colonized, political powerless ness, economic property, social marginalization, dan political space antara negara dunia pertama dan negara dunia ketiga (Wardhani, 2013).
                Terdapat suatu teori yang dikenal dengan teori modernisasi. Teori ini merupakan dikotomi negara maju dan negara berkembang (Wardhani). Teori ini diciptakan oleh negara-negara dunia pertama. Teori ini mengungkapkan bahwa negara dunia ketiga membutuhkan transformasi kultural untuk membangkitkan mereka menjadi negara dunia pertama. Menurut negara dunia pertama, mereka telah melakukan banyak hal bagi negara dunia ketiga seperti transfer modal, sumberdaya, dan teknologi, namun negara dunia ketiga tetap tidak dapat menyamai mereka, karena memang sudah dikonstruksikan seperti itu, bahkan sebelum masa penjajahan juga sudah demikian (Wardhani, 2013).
§  Post-Strukturalisme; Struktur yang Dinamis
                Jika struktrualisme melihat struktur sebagi sesuatu yang order dan stabil serta memiliki fungsi membentuk fenomena sosial. Pada perkembangan selanjutnya pemikiran ini dikritik karena adanya fakta-fakta yang melihat bahwa struktur merupakan sesuatu yang dinamis dan tidak stabil. Salah satu tokoh yang muncul mengeritik hal tersebut adalah Michel Foucault. Dalam hal ini, ia melihat bahwa dalam setiap layer atau konteks ruang dan waktu ada kekuasaan yang mendominasi pengetahuan dan berdampak kepada realitas sosial empirik. Sehingga diperlukan upaya mengungkap kebenaran tentang situasi yang sedang berkembang itu, baik dimasa lalu mapun di masa kini, itulah yang menurut Foucalut disebut dengan ‘diskursus’. Untuk membahas mengenai struktur tersebut, Ia membaginya menjadi dua level; arkeologi pengenathuan dan geanologi kekuasaan.
                Dalam arkeologi pengetahuan, Foucault memberikan metode dalam memahami pengetahuan yaitu dengan melalui analisis diskursus (discourse analyses). Foucault mencetuskan kajian mengenai arkheologi ilmu pengetahuan sebagai upaya memahami kondisi-kondisi dasar sebuah diskursus tercipta. Diskursus di sini diterjemahkan oleh Foucault sebagai ‘kelompok pernyataan yang memiliki sisitem formasi tunggal” (Ritzer, 2008; 70-71). Atau dengan kata lain, telaah historis yang komprehensif dalam membahas suatu pemikiran yang berkembang pada waktu tersebut. Sehingga, setiap diskursus memiliki kekhasannya tersendiri karena konteks yang berbeda satu sama lainnya. Lewat arkeologi ilmu pengetahuan inilah, kita akan melihat diskursus secara objektif dan tidak salah dalam memahami makna dari diskursus tersebut. Menurut Foucault, diskursus berfungsi untuk “shows the historically specific relations between disciplines (defined as bodies of knowledge) and disciplinary practices (forms of social control and social possibility)” (Mchoul and Grace, 2002; 26).
                Sedangkan dalam genaologi kekuasaan, Foucault melihat bahwa kuasa (power) sesungguhnya memiliki lintasan sejarah intelektual yang pada giliranya menentukan diskursus yang ada. Dengan demikian dapatlah diketahui kuasa yang dominan yang dapat menentukan diskurus di setiap layer atau konteks ruang dan waktu. Genealogi kekuasaan ini membuktikan bahwa stuktur pengetahuan yang dipahami oleh masyarakat tidaklah statis dan juga stabil, namun struktur sesungguhnya dinamis dan sangat tidak stabil.
                Di sisi lain, pemikir post-stukturalis lainya adalah Derrida. Pemikir sosial asa Perancis itu muncul dengan konsep intinya ‘dekonstruksi’. Dalam hal ini Derrida berkontribusi dalam memberikan metode dekonsrtuksi dalam melihat imagi, simbol, ataupun tanda dan juga institusi sosial yang ada. Sebagaimana Foucault, Derrida juga berpendapat bahwa  stuktur merupakan hal yang tidak stabil dan teratur. Ia pun menilik perkembangan dunia teater yang cukup dinamis di Perancis, menurutnya hal ini disebabkan karena adanya kebebasan sutradara dan penulis skrip untuk berkarya di dunia tersebut. Begitupun di dalam realitas sosial yang ada, sesungguhnya setiap individu merupakan ‘penulis yang bebas’ bebas berkreasi dan berinovasi untuk membentuk dunia sosialnya. Dengan demikian, maka masa depan haruslah ditemukan dan itu merupakan proses yang kontinyu untuk menjadi, bukan sebagai refleksi statis atas masa lalu yang memperlihatkan kebekuan dan kekolotan.
2.3 Hubungan secara konseptual antara Strukturalis dan Pos-strukturalis
          Berdasarkan namanya, post-strukturalisme dibangun diatas gagasan strukturalisme, namun bergerak keluar dan menciptakan mode berpikirnya sendiri. Strukturalisme dipengaruhi oleh ilmu bahasa, bahwa bahasa sebagai simbol dapat menciptakan makna yang berlaku secara universal, sedangkan pos-strukturalisme tidak melihat adanya kestabilan dan universalitas makna dalam bahasa. Bahkan Derrida berupaya untuk melakukan “dekonstruksi logosentrisme”. Dia ingin melihat masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah menciptakan pemikiran dominan. Sedangkan Foucoult mengemukakan pandangannya tentang pengetahuan/kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Bahwa orang yang memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa.
          Kenyataan empiris yang terjadi saat ini, dapat diambil contoh penggunaan kartu kredit sebagai sarana untuk pembayaran dan pembelian suatu produk barang atau jasa. Pendekatan Strukturalis melihat bahwa ada pemaknaan bahasa dalam kartu kredit yang dikeluarkan oleh sistem perbankan dan berlaku universal. Pemohon kartu kredit harus memiliki persyaratan tertentu untuk mendapatkannya. Simbol yang ada di kartu dimaknai bersama, baik oleh pembeli maupun penjual, bahwa penggunaannya hanya dengan “menggesekkan” kartu ke alat terentu dan bank akan mengeluarkan kredit pinjaman kepada pemegang kartu. Kata-kata dalam bahasa “tinggal gesek” dimaknai secara strukturalis sebagai alat kemudahan membayar. Post-strukturalis melihatnya bahwa kartu kredit tersebut kurang atau tidak bermanfaat, simbol kartu yang dimaknai sebagai alat tukar bergengsi justru dimaknai oleh post-strukturalis sebagai penciptaan masalah baru. Ada unsur ketidakstabilan. Makna “kewajiban” membayar berbeda pemaknaannya oleh pemakai kartu, karena ketidakmapunannya untuk membayar atau karena ketidakdisiplinannya dalam membayar cicilan. Bila kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang kartu kredit untuk melunasi atau mencicil hutang tidak dijalankan, maka ada sanksi tertentu terhadap pemegang kartu, baik denda maupun sanksi hukum, bila tidak sanggup membayar. 
          Bila dilihat dari sudut pandang  pengetahuan/kekuasaan, maka orang-orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan kartu, tentu akan “menguasai” kartu tersebut, dalam arti dapat memanfaatkan sebaik-baiknya. Dia akan mempelajari, berapa beban bunganya dalam sebulan atau setahun, berapa biaya adiministrasinya, berapa dendanya bila terlambat, berapa iuran anggotanya pertahun, dan setiap tanggal berapa dia harus membayar tagihan serta berapa yang harus dibayar. Pengetahuan ini yang menurut pandangan Foucoult berkaitan dengan kekuasaan. Bila nasabah/pemegang kartu  memiliki pengetahuan, maka dia akan berkuasa (kartu tersebut bermanfaat) namun bila tidak, maka pihak bank yang akan berkuasa (beruntung).









BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
                Strukturalis atau Strukturalisme merupakan suatu pendekatan ilmu humanis yang mencoba untuk menganalisis bidang tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem kompleks yang saling berhubungan. Ferdinand de Saussure (1857-1913) dianggap sebagai salah satu tokoh penggagas aliran ini, meskipun masih banyak intelektual Perancis lainnya yang dianggap memberi pengaruh lebih luas. Aliran ini kemudian diterapkan pula pada bidang lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, psikoanalisis , teori sastra dan arsitektur. Ini menjadikan strukturalisme tidak hanya sebagai sebuah metode, tetapi juga sebuah gerakan intelektual yang datang untuk mengambil alas eksistensialisme di Perancis tahun 1960-an.
Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasanan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selelu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.
3.2 Saran
                Dengan adanya makalah ini diharapkan bagi para pembaca agar lebih mengenal dan lebih mengetahui tentang teori beserta tokoh strukturalis dan post-strukturalis. Sehingga kita bisa sama-sama mendapatkan ilmu tentang perkembangan strukturalis sampai kepada post strukturalis.






DAFTAR PUSTAKA
§  Dikutip dalam http://nerys2.wordpress.com/strukturalisme/ Diakses pada 15 Desember 2013 Pukul 23:03
§  Dikutip dalam http://sociolovers-ui.blogspot.com/2012/06/strukutralisme-bahasan-dalam-topik-ini.html Diakses pada 15 Desember 2013 Pukul 23:14
§  Dikutip dalam http://patahpensil.blogspot.com/2012/01/post-strukturalisme.html Diakses pada 15 Desember 2013 Pukul 23:21
§  Dikutip dalam http://yudomahendro.wordpress.com/2012/04/18/strukturalisme-dan-post-strukturalisme/ Diakses pada 15 Desember 2013 Pukul 23:27















Tidak ada komentar:

Posting Komentar