Nama : Remina
Tarigan
Nim :
3122122006
Mata Kuliah : Sosiologi
Modern dan Post-Modern
Masyarakat Konsumsi
Jean Baudrillard
Biografi
Jean Baudrillard adalah seorang pakar teori kebudayaan, filsuf, komentator politik, sosiolog
dan fotografer
asal Perancis.
Karya Baudrillard seringkali dikaitkan dengan pascamodernisme dan pascastrukturialisme.Ia
merupakan seorang teoritisi sosial pasca-struktural terpenting. Dalam lingkup
tertentu dekade 1980-an, Baudrillard dikenal sebagai McLuhan baru atau
teoritisi terkemuka tentang media dan masyarakat dalam era yang disebut juga
posmodern. Teorinya mengenai masyarakat posmodern berdasarkan asumsi utama
bahwa media, simulasi, dan apa yang ia sebut ‘cyberblitz’ telah mengkonstitusi
bidang pengalaman baru, tahapan sejarah dan tipe masyarakat yang baru.
Baudrillard lahir dalam keluarga miskin di Reims pada
20 Juni 1929.Ia mempelajari bahasa Jerman di Universitas Sorbonne
di Paris dan
mengajar bahasa Jerman di sebuah lycée (1958-1966). Ia juga pernah
menjadi penerjemah dan terus melanjutkan studinya dalam bidang filsafat
dan sosiologi.
Pada tahun 1966 ia
menyelesaikan tesis Ph.D-nya Le
Système des objets ("Sistem Objek-objek") di bawah arahan Henri Lefebvre.
Dari tahun 1966 hingga 1972 ia bekerja sebagai Asisten Profesor dan Profesor.
Pada tahun 1972 ia
menyelesaikan habilitasinya L'Autre par lui-même dan mulai mengajar
sosiologi di Université de Paris-X Nanterre sebagai
profesor.
Pada awal
kariernya Baudrillard dipengaruhi oleh “kritik kehidupan sehari-hari” dari
Henri Levebre. Beberapa penulis mengatakan ia juga banyak dipengaruhi oleh Nietzsche,
Sigmund Freud, Jacques Lacan, Saussure, Levi Strauss dan tentu saja ‘revolusi
mahasiswa’ pada Mei 1968 yang menggulingkan tahta Presiden De Gaulle. Tapi itu
bukan berarti ia mengkaji secara mendalam sejarah apalagi sejarah ide-ide. Atau
lebih tepatnya ia tidak memiliki persepsi historis tentang suatu peristiwa, dan
sejarah pun cenderung ia ‘mitologisasikan’.
Dalam penilaian Andreas Ehrencrona,
tulisan-tulisan Jean Baudrillard mengingatkan orang lebih kepada puisi daripada
teks-teks filosofis umumnya. Menurutnya Baudrillard terus-menerus bermain
dengan kata-kata dan membuat metafor-metafor liar dari astronomi dan menggoda
pembaca untuk lebih berkonsentrasi pada bahasanya daripada
pendapat-pendapatnya.” Gayanya menulis nampak mengilustrasikan tesisnya bahwa
kita tengah meninggalkan ‘realitas’ dan sedang dalam perjalanan memasuki apa
yang disebutnya ‘hyperreality’; suatu tempat dimana kita bisa bersembunyi dari
ilusi yang kita takutkan. Fondasi filsafat Baudrillard adalah kritisisme
terhadap pemikiran tradisional dan ilmiah yang menurutnya telah mengganti
realitas dengan ilusi tentang kebenaran.
Jean Baudrillard, sosiolog Perancis yang terkenal karena
nama buruknya, kritikus budaya, dan ahli teori postmodernitas, dilahirkan pada
tahun 1929 di sebelah utara kota Reims. Seorang anak pegawai sipil dan cucu
lelaki dari seorang petani, Baudrillard adalah mantan guru sosiologi di sebuah
universitas, dan figur intelektual terkemuka pada saat itu. Disertasi untuk
meraih gelar doktor di bidang sosiologi dikerjakan bersama-sama dengan Henri
Lefebvre. Ia kemudian menjadi asisten pada bulan September 1966 di Universitas
Nanterre Paris. Ia bekerjasama dengan Roland Barthes, dalam analisa semiotik
dalam kebudayaan , dalam pertamanya Obyek Sistem (1968). Ia adalah juga
dipengaruhi oleh Marshall McLuhan yang memperlihatkan pentingnya media massa
dalam pandangan kaum sosiologis. Karena dipengaruhi oleh semangat pemberontakan
mahasiswa di Universitas Nanterre (1968), ia bekerja sama dengan suatu jurnal
yaitu Utopie, yang
dipengaruhi oleh anarcho-situationism, teori media dan Marxisme struktural, di
mana ia menerbitkan sejumlah artikel teoritis pada suasana kemakmuran kapitalis,
dan kritik teknologi.
Pemikiran Baudrillard dipengaruhi oleh pemikiran
filsuf lain yang memiliki pemikiran tentang objectivity
and linguistic-sociological interface (Mauss), Surrealism and Eroticism (Bataille), Psychoanalysis dan Freud, dan terutama
Marxisme. Lalu ia menjadi seorang yang dikagumi sebagai seorang yang mengerti
akan keadaan yang datang pada kondisi posmodernisme. Filosofi Baudrillard
terpusat pada dua konsep “hyperreality”
dan “simulation“. Terminologi
ini mengacu pada alam yang tidak nyata dan khayal dalam kebudayaan kontemporer
pada zaman komunikasi massa dan konsumsi massa.
Jean
Baudrillard adalah salah seorang tokoh intelektual dari masa kini yang telah
menghasilkan banyak karya di bidang filosofi, teori sosial, dan budaya.
Spesifikasi dan ketertarikannya terutama adalah pada post-modernisme dan post-strukturalisme.
Jean Baudrillard juga dikenal sebagai seorang fotografer dan juga merupakan
seorang kritikus politik yang cukup vokal dalam mengomentari berbagai dinamika
terkini di ranah politik dunia. Filsuf asal Perancis ini lahir di sebuah
wilayah yang terletak di timur laut Perancis bernama Reims pada 27 Juli 1929.
Jean Baudrillard terlahir di sebuah keluarga menengah di mana orang tuanya
berprofesi sebagai pegawai negeri. Kakeknya adalah seorang petani.
Jean Baudrillard adalah satu-satunya anak yang bersekolah hingga ke tingkat perguruan tinggi di keluarganya. Dia mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Jerman di Sorbonne University. Selulusnya dari Sorbonne University, Jean mencoba karirnya sebagai seorang pengajar bagi berbagai sekolah menengah di Perancis. Sembari mengajar, Jean juga aktif menerbitkan ulasan sastra dan juga terjemahan karya ilmiah milik beberapa penulis seperti Peter Weiss, Friedrich Engels, Karl Marx, dan sebagainya.
Jean Baudrillard adalah satu-satunya anak yang bersekolah hingga ke tingkat perguruan tinggi di keluarganya. Dia mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Jerman di Sorbonne University. Selulusnya dari Sorbonne University, Jean mencoba karirnya sebagai seorang pengajar bagi berbagai sekolah menengah di Perancis. Sembari mengajar, Jean juga aktif menerbitkan ulasan sastra dan juga terjemahan karya ilmiah milik beberapa penulis seperti Peter Weiss, Friedrich Engels, Karl Marx, dan sebagainya.
Jean
Baudrillard pun lalu melanjutkan studinya ke jenjang doktoral dan menulis tesis
berjudul Le Système des objets.
Selesai dengan pendidikan doktoralnya, Jean pun lalu melanjutkan karir
mengajarnya. Pemikirannya terutama tentang konsep ‘simulakra’, ‘hyperreality’,
dan ilmu simbolisme sangatlah revolusioner dan dianggap membawa sebuah angin
baru bagi dunia filsafat. Dia banyak mengembangkan dan mengkritisi apa yang
telah dikemukakan oleh ahli-ahli terdahulu dan mengemasnya dalam suatu sudut
pandang yang berbeda sehingga memberikan khasanah dan wawasan baru bagi
masyarakat. Pencetus teori terdahulu yang sering menjadi acuannya antara lain
adalah Karl Marx,
Jacques Derrida, Jacques Lacan, Michel Foucault, Ferdinand de Saussure, dan
masih banyak lagi. Jean Baudrillard dianggap memiliki pemikiran yang sangat
penuh dengan visi baru.
Teori
1. Simulasi
Konsep Baudrillard mengenai simulasi
adalah tentang penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang
berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam
kenyataan. Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala
yang dapat menarik minat manusia – seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga
dan lainnya – ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal,
disinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga
menciptakan hyperreality dimana
yang nyata dan yang tidak nyata menjadi tidak jelas.
Kebudayaan industri menyamarkan jarak antara fakta dan
informasi, antara informasi dan entertainment, antara entertainment dan
ekses-ekses politik. Masyarakat tidak sadar akan pengaruh simulasi dan tanda (signs/simulacra),
hal ini membuat mereka kerap kali berani dan ingin – mencoba hal yang baru yang
ditawarkan oleh keadaan simulasi – membeli, memilih, bekerja dan macam
sebagainya.
Teori ekonomi Marx, yang mengandung “nilai guna” digunakan
oleh Baudrillard dalam menelaah teori produksi dan didasarkan pada semiotik
yang menekankan pada “nilai tanda”. Jean Baudrillard membantah bahwa kebudayaan
posmodern kita adalah dunia tanda-tanda yang membuat hal yang fundamental –
mengacu pada kenyataan – menjadi kabur atau tidak jelas.
2. Semiotika
Semiotika
adalah salah satu dari ilmu yang oleh beberapa ahli/pemikir dikaitkan dengan
kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi
terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang
dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang
kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika.
Dalam
semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai
tanda (sign), semata alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu
mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna
tanda adalah para pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah
kedustaan. Dunia hipersemiotika tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas
yang dilukiskan oleh Baudrillard.
3. Hyper-Reality
Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya
kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta
bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta
bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian,
isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu.
“Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang yang
dilihatnya sebagai sangat merasuknya kode dalam masa modern akhir. Kode ini
jelas terkait dengan komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam
fisika, biologi, dan ilmu-ilmu alam lainnya di mana ia memberi kesempatan
berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatu objek atau situasi; inilah
sebabnya kode bisa mem-bypass
sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut
Baudrillard sebagai hyperreality.”
(Lechte, 2001, hal. 352)
Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat
modern ini menjadi berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas
esensinya. Kebanyakan dari masyarakat ini mengkonsumsi bukan karena kebutuhan
ekonominya melainkan karena pengaruh model-model dari simulasi yang menyebabkan
gaya hidup masyarakat menjadi berbeda. Mereka jadi lebih concern dengan gaya hidupnya dan nilai
yang mereka junjung tinggi.
Industri mendominasi banyak aspek kehidupan, industri
tersebut menghasilkan banyak sekali produk-produk mulai dari kebutuhan primer,
sekunder, sampai tertier. Ditemani oleh kekuatan semiotika dan simulasi membuat
distribusi periklanan produk menjadi lebih gencar tambah lagi teknologi
informasi yang memungkinkan pihak pengusaha untuk mendapatkan informasi seperti
apakah masyarakat yang dihadapi, dan pihak konsumen mendapatkan informasi
tentang kebutuhan yang mereka tidak butuhkan tetapi mereka inginkan.
Asumsi-asumsi yang terbentuk dalam pemikiran manusia dan keinginan ini membuat
manusia tidak bisa lepas dari keadaan hiperrealitas ini.
Analisa
Pada saat sekarang
ini jaman sudah semakin modern dan canggih, hal ini merupakan salah satu
pengaruh yang diberikan oleh adanya modernisasi dan globalisasi. Perkembangan
modernisasi dan globalisasi telah menyebabkan adanya perilaku konsumtif yang
dimiliki oleh masyarakat. Sehingga setiap adanya benda-benda maupun
barang-barang yang baru keluar, masyarakat memiliki rasa ingin memiliki dan
dengan adanya rasa ingin memiliki tersebut maka masyarakat akan mengusahakan
berbagai cara untuk dapat membeli benda maupun barang tersebut baik dengan cara
yang halal maupun tidak halal.
Kita ketahui bahwa pada saat
sekarang ini sebenarnya masyarakat membeli barang bukan hanya karena nilai
kegunaaannya bagi kehidupan mereka, tetapi lebih kepada gaya hidup dan trend
yang muncul akibat adanya rasa gengsi dan pamer dalam diri individu ataupun
masyarakat. Dalam hal ini munculnya gaya hidup yang konsumerisme masyarakat
diakibatkan oleh adanya media-media yang memperngaruhi, mengajak dan mengubah
pola pikir maupun perilaku masyarakat. Adapun media yang dimaksudkan adanya
media elektronik maupun media massa.
Dengan
adanya media elektronik dan media massa yang dibawa oleh pengaruh modernisasi
maupun globalisasi telah menciptakan kesadaran palsu dalam kehidupan
masyarakat. Dimana kesadaran palsu tersebut sifatnya berlebihan, khayalan
ataupun tidak kenyataan. Misalnya individu merasa kebutuhan hidupnya telah sepenuhnya
terpuaskan padahal sesungguhnya masih kekurangan, individu juga merasa hidupnya
sudah makmur padahal masih miskin, dan lain sebagainya.
Saat
ini kita tidak sedang hidup dalam masyarakat yang
berkecukupan, akan tetapi kita hidup dalam masyarakat pertumbuhan. Adapun yang
dikatakan ideologi pertumbuhan pada hakekatnya menghasilkan dua hal yakni
kemakmuran dan kemiskinan. Kemakmuran ialah bagi kaum borjuis yang memiliki
modal dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup, sedangkan kemiskinan ialah bagi
kaum proletar yang tidak memiliki modal dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Sehingga pada kenyataannya, pertumbuhan menjadi salah satu alat untuk membatasi
ruang gerak orang-orang miskin dan hal tersebutlah yang membuat ideologi
per-tumbuhan sengaja dilanggengkan untuk menjaga sistem.
Menurut Jean Baudrillard pertumbuhan adalah fungsi kemiskinan.
Menurutnya kebutuhan manusia akan selalu
melampaui produksi barang. Masalah ini terletak pada hubungan sosial atau dalam
logika sosial yang mana manusia tidak hanya mengkonsumsi barang saja, tetapi
juga mengkonsumsi jasa manusia dan hubungan antar manusia. Menurut Jean
Baudrillard hal ini tidak dapat diatasi oleh adanya peningkatan produksi yang
disertai inovasi kekuatan produksi maupun adanya peningkatan daya beli, akan
tetapi solusi dalam mengatasi masalah ini adanya adanya perubahan yang
dilakukan dalam hubungan sosial dan dalam logika sosial. Kita memerlukan logika
sosial untuk dapat menciptakan terjadinya pertukaran simbolik dan bukan nilai
tukar.
Selain itu kita
ketahui bahwa saat ini konsumsi telah beroperasi pada masyarakat yang berbudaya
konsumtif. Dalam hal ini manusia dalam kehidupannya akan menghabiskan waktu
mereka untuk berkonsumsi serta memikirkan apa yang akan mereka konsumsi dan
me-nyiapkan apa yang akan dikonsumsi. Dalam hal ini tentunya manusia dalam
kehidupannya memerlukan pekerjaan untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhannya
menyangkut konsumsi, serta melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
setinggi-tingginya untuk dapat berkonsumsi yang lebih baik lagi dibandingkan
dengan yang sebelumnya.
Menurut Jean Baudrillard konsumsi tidak ada kaitannya atas apa yang secara umum
kita pahami sebagai suatu realitas, tetapi konsumsi berkaitan dengan
kepemilikan yang sistematis dan tidak terbatas sebagai tanda objek konsumsi.
Dan dalam masyarakat konsumen yang dikontrol oleh kode hubungan manusia
ditransformasikan dalam hubungan dengan objek terutama konsumsi objek.
Objek-objek itu tidak memiliki makna karena kegunaan dan keperluan tetapi
memiliki makna sendiri sebagai tanda daripada nilai guna atau nilai tukar dan
konsumsi tanda-tanda objek ini menggunakan bahasa yang kita pahami. Komoditas
dibeli sebagai gaya ekspresi dan tanda, prestise, kemewahan, kekuasaan dan
sebagainya.
Dalam kehidupannya manusia hidup dalam suatu bentuk
relasi subjek-subjek yang baru yakni relasi konsumerisme. Dalam relasi tersebut
masyarakat mempelajari dan menginternalisasi kode-kode sosial dari objek-objek
konsumsi, baik melalui media massa maupun dari lingkungan sosial.
Perkembangan budaya konsumsi yang berjalan seiring perkembangan media massa
menghasilkan dampak yang signifikan dalam kehidupan manusia, terutama berkaitan
dengan relasi sosial berdasarkan rasionalitas konsumsi. Jean Baudrillard mengatakan bahwa hal tersebur
bertujuan untuk mengungkapkan pemahaman tentang makna kebahagiaan dan
kesejahteraan dalam realitas masyarakat dan bagaimana objek konsumsi menjadi
penanda sosial dalam masyarakat.
Iklan, menurut
Baudrillard, adalah penghancur intensitas makna dan tanpa wilayah yang jelas.
Kehadiran iklan di setiap perempatan jalan, televisi, surat kabar, membentuk
kesadaran akan sebuah informasi menjadi di permukaan saja. Namun, masyarakat
tetap terpesona dengan kehadiran tersebut. Keterpesonaan yang dihadirkan dengan
hanya mengkonsumsi tanda tersebut tanpa harus merefleksikannya.
Pengertian
akan konsumsi tidak bisa lagi didasarkan kepada kegiatan yang bersifat
kebendaan. Konsumsi bisa terjadi pada hal yang bersifat metafisis. Konsumsi,
dalam pemikiran Baudrillard, bisa terjadi pada setiap tanda-tanda, yang membawa
kepada pemikiran Saussure terhadap ikatan antara penanda dan tanda.
Keberlimpahan tanda-tanda yang ada berpotensi untuk saling dipertukarkan agar
dapat dikaitkan dengan keberlimpahan komoditas yang ada di dalam masyarakat.
Keterlepasan makna iklan bila
dilihat dari tanda dan penanda pun juga terjadi. Iklan yang ada seringkali
tidak lagi menjadi medium untuk menyampaikan pesan untuk dikonsumsi. Iklan
menjadi berdiri sendiri dan terlepas dari tanda-penanda tersebut sehingga iklan
tersebut dapat dikonsumsi. Iklan sebagai medium menjadi diragukan. Titik di
mana tanda dan penanda lepas inilah, kemudian yang menyebabkan pergerakan makna
menjadi tidak terbatas dan liar. Setiap hal yang ada di dunia berpotensi untuk
berdiri sendiri dan dapat bertukar makna satu sama lain. Orisinalitas kebendaan
menjadi suatu hal yang tidak perlu dikejar lagi.
Makna sebuah iklan yang telah
berdiri bebas ini, menyebabkan sebuah konsekuensi akan pengertian iklan
sendiri. Iklan menjadi suatu aktivitas mendasar dan tidak lagi diartikan dalam
industri ekonomi. Makna beriklan merambah kepada sains, agama maupun ideologi.
Tidak ada lagi definisi untuk iklan yang siap dibenturkan secara anti-tesis
karena pada masa ini.
Dengan
demikian, value of exchange dalam iklan tidak lagi berlaku melainkan symbolic
exchange. Tanda-tanda yang dihadirkan dalam iklan dipertukarkan dengan hal
lain yang lebih dekat dengan lingkungan mereka yang akan mengkonsumsi iklan
tersebut. Hal ini dapat terlihat ketika iklan produk yang satu dengan iklan
produk yang lain saling berkompetisi untuk saling menjatuhkan. Saling
menjatuhkan tersebut bukan berdasarkan atas nama apa yang ditampilkan atau
realitas dari produk itu sendiri, melainkan saling menjatuhkan apa yang
ditampilkan dalam iklan. Sering ditemukan bahwa iklan-iklan yang saling
menjatuhkan tersebut menyinggung jargon-jargon yang dihadirkan semata. Pepsi
Cola dengan Coca Cola adalah contoh yang sangat nyata untuk menggambarkan
Jean
Baudrillard mengatakan bahwa saat ini tatanan masyarakat telah didasari oleh
rasionalitas hedonisme yang bertumpu pada pemuasan kebutuhan dan kesenangan
melalui konsumsi. Artinya bahwa saat ini kehidupan masyarakat yang sudah
terkena pengaruh modernisasi dan globalisassi telah menciptakan masyarakat yang
hedonisme yang mana masyarakat akan melakukan berbagai cara maupun kegiatan
yang bertujuan untuk mengutamakan kesenangan dalam kehidupan mereka. Masyarakat
akan bekerja untuk mencari uang yang nantinya uang tersebut dipergunakan untuk
membeli barang-barang yang menurut mereka dapat memuasakan kebutuhan.
Selain itu bagi mereka yang memiliki uang, mereka akan
menghambur-hamburkan uang yang mereka miliki untuk hal-hal yang tidak berguna,
seperti misalnya membeli minum-minuman keras, melakukan operasi plastik agar
wajah terlihat lebih cantik dan lain sebagainya. Sehingga kehidupan tradisional
yang penuh dengan ajaran-ajaran mengenai kesalehan, kesederhanaan, sifat-sifat altruistic dan pengekangan hasrat
atau nafsu telah mengalami banyak pergeseran menjadi kehidupan yang bertumpu
pada moral hedonistik yang mengedepankan pemborosan yang disebarkan oleh media
massa.
Pola
konsumtif yang diakibatkan kapitalisme memberi dampak terhadap produksi massal
yang kemudian menciptakan suatu budaya. Budaya yang begitu lekat di masyarakat
atas kepemilikan suatu barang yang over production memunculkan budaya
popular. Kemudian, budaya popular tersebut sudah dilihat sebagai tanda yang
beredar . Dalam buku The Consumer Society: Myth and Structures,
Baudrillard mencoba menjelaskan bahwa struktur sosial yang telah berjalan
merujuk kepada struktur sosial yang kolektif tanpa mengabaikan diferensiasi
individual. Hal tersebut terlihat ketika kepemilikan terhadap satu objek
menentukan identitas individu tertentu.
Objek menjadi penentu identitas
tersebut dihadirkan melalui tanda yang telah diciptakan. Maka dari itu, setiap
manusia yang ingin memiliki indentitas, mau tidak mau, melakukan konsumsi atas
barang tersebut untuk mendapatkan tanda yang diciptakan. Tujuan konsumsi bukan
lagi menghabiskan atau memanfaatkan kegunaan barang konsumsi melainkan
memanfaatkan tanda-tanda yang sengaja dimasukkan ke dalam barang konsumsi oleh
produsen melalui sebuah usaha manipulasi kesadaran yang dibantu oleh kecanggihan
media massa.
Logika konsumsi yang dilakukan masyarakat, menurutnya, tidak
lagi disandarkan kepada kebutuhan akan barang dan jasa lagi, melainkan
keinginan akan sesuatu yang melebihi hal tersebut. Kondisi ini menuntun
Baudrillard menemukan sebuah aspek yang baru yang menggerakkan masyarakat dalam
melakukan pola konsumsi. Pada tingkat tertentu, logika konsumsi mengarahkan
individu untuk menghabiskan produksi barang yang ada. Tentu hal ini agak
berbeda dengan pemahaman Marx yang bersandar bahwa produksi menjadi penentu.
Konsumsi yang dilakukan di era saat ini justru menentukan produksi selanjutnya.
Dengan kata lain, masyarakat menjadi faktor bagi fungsi konsumsi tersebut.
Contoh yang sangat sederhana untuk menjelaskan keadaan
mengenai situasi ini adalah saat sebuah produsen alas kaki akan mencari akal
supaya barang-barang yang diproduksinya tetap terbeli. Jika pola pikir
masyarakat masih seperti apa yang dipikirkan oleh Marx, dimana mereka hanya
membeli berdasarkan nilai guna, maka produsen alas kaki tersebut menjadi tidak
akan cepat laku dan memproduksi barang secara lambat. Maka dari itu, perlu
dibangun imaji-imaji yang benar-benar baru mengenai keberadaan sepatu tersebut
agar hasrat untuk membeli konsumen dapat terbentuk kembali. Dengan kata lain,
kegiatan konsumsi ini bukan lagi menjadi keputusan yang tentatif, melainkan
pada tahap selanjutnya, konsumsi adalah sebuah sistem.
Tanda-tanda
yang dihadirkan untuk membentuk imaji-imaji tersebut sudah menjadi komoditas
bagi konsumen. Tanda, imaji, dan pesan dapat diciptakan sehingga mengarahkan
konsumen memperoleh hasrat tidak terbatas, dikondisikan untuk membutuhkan
sesuatu. Dengan kata lain, rasa tidak puas selalu dimunculkan. Berlimpahnya
tanda, pesan dan imaji yang beredar di masyarakat membentuk suatu struktur
tersendiri yang berujung kepada kode kolektif masyarakat tetapi masih dalam
pengertian Growth Society. Berlimpahnya tanda-tanda tersebut tidak
berdiri sendiri. Peranan media massa tentu berpengaruh.
Secara
umum, perkembangan pemikiran Baudrillard telah sampai pada usahanya untuk
menentukan bagaimana budaya dan iklan mengkonstitusi sebuah “kode” yang
memiliki pengaruh yang sangat besar pada individu-individu. Kode ini adalah
esensi dari konsumsi. Individu-individu,
Baudrillard berargumen, mengkonstruksi diri mereka, sebaik-baiknya, identitas
mereka dalam dan melalui respon mereka terhadap iklan dan media. Sangat tidak
berguna untuk meratapi kualitas pertunjukan TV atau konsumerisme dalam
pengertian liberalis dan marxis karena kevulgaran dan eksploitasi tidak relevan
untuk dunia konsumer yang baru. Di dalam mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan,
di radio dan iklan-iklan TV, sebuah budaya dikonstruksi yang akan menangkap
atensi dan imajinasi tidak hanya media massa di masyarakat yang
terindustrialisasi tetapi juga di masyarakat komunis dari eropa timur dan
tentunya di dunia ketiga.
Kondisi
di mana pola konsumtif yang tercipta di dalam masyarakat Kapitalis memungkinkan
ketertarikan terhadap kebendaan itu sendiri berkurang. Kondisi global juga
dikaitkan dengan keberadaan barang atau jasa yang beredar dalam ranah global.
Maka dari itu, iklan di setiap tempat dan budaya mutlak diperlukan. Iklan, pada
akhirnya menyerap semua budaya. Jika mengaitkan iklan dengan informasi dan
komunikasi seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, maka tingkat
penyerapan informasi dalam iklan menjadi tidak mendalam. Semua informasi hanya
menjadi dikonsumsi secara permukaan saja.
Jean Baudrillard mengemukakan analisanya bahwa wacana
tentang semua kebutuhan hidup sebenarnya berakar pada antropologi naif tentang
makna alamiah kebahagiaan. Pemahaman tentang makna kebahagiaan bagi
masing-masing individu dalam masyarakat sekarang tidak serta merta berasal dari
pemikiran alamiah manusia. Arti kebahagiaan bagi masyarakat didapat secara
sosio historis, disebarkan melalui konstruksi sosial secara turun temurun.
Sehingga bisa dikatakan bahwa pemaknaan tentang konsep bahagia adalah bagian
dari mitos sosial.
Dalam kehidupan masyarakat modern, mitos tentang
kebahagiaan menyatu dengan mitos tentang kesetaraan. Dalam hal ini kebahagiaan
harus bisa diukur dalam bentuk objek-objek dan tanda-tanda. Kebahagiaan
haruslah selalu merujuk pada kriteria-kriteria yang berwujud dan bisa
dikalkulasi. Sehingga makna kebahagiaan yang secara mendasar bersumber dari
kebersamaan diantara sesama manusia dan kesenangan-kesenangan psikologis
lainnya dihapuskan dan diisi dengan kebahagiaan yang dimaknai dari terpenuhinya
kebutuhan akan kesetaraan dan kesejahteraan.
Kebutuhan
menjadi salah satu elemen dalam sistem industri, yang berbeda dengan kesenangan
dan kepuasan. Konsumsi yang dilakukan masyarakat konsumen tidak lagi berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan atau bertujuan untuk mendapatkan kesenangan. Dalam
hal ini konsumsi menjadi fungsi dari produksi. Oleh karena itu, semua
barang-barang produksi tidak hanya berfungsi sebagai kebutuhan personal, tetapi
kebutuhan yang langsung dan sepenuhnya kolektif yang artinya konsumsi tersebut
lebih banyak karena faktor dorongan sosial daripada faktor kebutuhan. Sehingga kebutuhan
saat ini menjadi motor atau penggerak dari sistem produksi. Namun bukan berarti
kebutuhan yang mendorong produksi, akan
tetapi kebutuhan dilahirkan, diciptakan dan dimaksimalkan sebagai hasil dari
sistem produksi yang melimpah. Sistem kebutuhan dihasilkan dari sistem
produksi.
Jean
Baudrillard (1998:75) mengemukakan genealogi konsumsi dalam menjelaskan
bagaimana kebutuhan merupakan produk dari produksi pada era industrialisasi
ini, yaitu:
1. Tatanan produksi menghasilkan kekuatan produktif,
suatu sistem teknis yang secara radikal berbeda dengan peralatan tradisional
2. Tatanan produksi meghasilkan kekuatan produksi
yang rasional/modal, suatu sistem investasi dan kalkulasi yang rasional, yang
secara radikal berbeda dengan kekayaan dan dengan model pertukaran yang
sebelumnya.
3. Tatanan produksi memberi upah kepada tenaga buruh,
suatu kekuatan produktif yang abstrak, yang tersistematisasi, yang secara
radikal berbeda dengan buruh kongkret dan karyawan tradisional.
4. Tatanan produksi juga menghasilkan
kebutuhan-kebutuhan, sistem kebutuhan, kekuatan permintaan sebagai suatu
keseluruhan yang rasional, terintegrasi, terkontrol yang melengkapi tiga yang
lain dalam suatu proses kontrol total atas kekuatan produktif dan proses-proses
produksi. Kebutuhan sebagai suatu sistem juga berbeda secara radikal dengan
kegembiraan dan kepuasan. Mereka diproduksi sebagai elemen-elemen sistem, bukan
sebagai suatu hubungan dari individu kepada objek.
Selain itu Jean Baudrillard
mengatakan bahwa masyarakat konsumsi berkaitan dengan apa yang mereka miliki
sebagai tanda objek konsumsi dan masyarakat konsumsi di control oleh tanda
karena objek yang di pergunakan yakni sebagai tanda bukan sebagai bagian yang
di konsumsi. Contohnya ialah ketika kita membeli makanan yang ada di pinggir
jalan dengan yang ada di restoran. Dalam
hal ini yang membedakannya bukan kepada makanannya tetapi lebih kepada tanda
objeknya. Orang yang membeli makanan di pinggir jalan menunjukkan tanda bahwa
orang tersebut memiliki ekonomi yang rendah yang tergabung ke dalam kaum
proletar, sedangkan orang yang membeli makanan di restoran akan menunjukkan
tanda bahwa orang tersebut termasuk orang yang memiliki ekonomi tinggi yang
tergabung ke dalam kaum borjuis. Dari gambaran tersebut tanda pada akhirnya menunjukkan
adanya status sosial dalam masyarakat.
Dalam masyarakat konsumsi
Jean Baudrillard menyelidiki tentang masalah dunia fashion sebagai sebuah
paradigma kode. Dalam dunia fashion semua yang kita lihat adalah permainan
sederhana penanda-penanda dan akibatnya hilanglah setiap sistem rujukan.
Fashion tidak menciptakan apa-apa, juga
tidak merujuk pada sesuatu yang nyata bahkan tidak menggiring kemanapun tetapi
hanya menciptakan suatu kode. Fashion juga tidak memiliki nilai moralitas dan
cenderung menyebar laksana virus dan kanker. Meskipun fashion menggambarkan
dominasi kode dan juga komoditas dan simulasi ia juga dalam satu pengertian
merupakan ancaman bagi sistem. Fashion adalah salah satu bidang yang bercirikan
permainan ketimbang kerja dan dia adalah dunia ilusi. Ia bermain dengan sesuatu
misalnya kebaikan dan kejahatan, rasionalitas dan irrasionalitas. Fashion ini
mengendalikan orang muda zaman sekarang sebagai perlawanan bagi setiap bentuk
perintah, perlawanan tanpa ideologi, dan tanpa tujuan.
Jean Baudrillard mengatakan bahwa dalam masyarakat konsumsi banyak
masyarakat yang melakukan konsumsi tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka yang mendesak dan tidak terbatas, akan tetapi lebih kepada untuk
membuktikan dan untuk menunjukkan kemampuan dan kepemilikan mereka yang lebih
dalam mengkonsumsi sesuatu. Dalam masyarakat konsumsi jika kita memiliki uang
maka kita bebas mengkonsumsi apa yang kita inginkan. Namun dalam hal ini kita
bebas untuk mengkonsumsi hanya semata-mata pada objek dan tanda yang
berbeda-beda. Selain itu dalam masyarakat kapitalis modern saat ini orang
mengkonsumsi sesuatu tidak hanya menyangkut masalah kesenangan hidup saja
tetapi juga lebih kepada persoalan perbedaan dimana individu dalam kehidupan
masyarakat ingin tampil beda dari yang lain dan ingin dianggap lebih mampu dari
pada yang lain.
Selain itu Jean Baudrillard mengatakan
bahwa masyarakat konsumer merupakan tempat dimana segala sesuatu
diperjual-belikan. Dalam hal ini tidak hanya semua tanda komoditas akan tetapi
semua tanda adalah komoditas. Dalam masyarakat konsumer yang dimaksud
diperjual-belikan yakni semua objek termasuk pelayanan seks, kebudayaan,
pengetahuan dan lain sebagainya.
Bagi Jean Baudrillard konsumsi adalah salah satu
struktur yang bersifat eksternal dan bersifat memaksa individu dalam kehidupan
masyarakat. Artinya media-media informasi maupun media elektronik seperti
iklan-iklan di radio maupun televisi secara tidak langsung telah mempengaruhi
pikiran masyarakat untuk mengkonsumsi benda-benda yang ditawarkan. Sehingga
dalam hal ini masyarakat mau tidak mau memiliki keinginan untuk memiliki barang-barang
yang ditawarkan oleh iklan tersebut. Dalam hal ini terlihat bahwa ada kalanya
konsumsi tersebut memaksa individu untuk segera memiliki barang-barang yang
dimaksud-kan. Akan tetapi dengan catatan apabila individu tersebut melakukan
berbagai cara untuk dapat memiliki barang yang di tawarkan oleh iklan tersebut
seperti misalnya dengan cara mencuri untuk mendapatkan uang. Dimana nantinya
uang yang dia peroleh dari hasil curian
tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang yang ingin dia konsumsi.
Sumber Pustaka
§ Dikutip dalam :
nurriest.wordpress.com/2013/04/11/konsumsi-sebagai-penanda-kesejahteraan-dan-stratifikasi-sosial-dalam-bingkai-pemikiran-jean-baudrillard/
Diakses pada tanggal 18 Desember 2013 pada pukul 3:12
§ Dikutip dalam :
http://semakbelular.blogspot.com/2012/11/jean-baudrillardide-ide-teori-dasar.html Diakses pada tanggal 18 Desember 2013 pada
pukul 3:15
§ Dikutip dalam :
http://febriyandiys.blogspot.com/2012/06/jean-baudrillard.html
Diakses pada tanggal 18 Desember
2013pada pukul 3:28
§ Dikutip dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Jean_Baudrillard
Diakses pada tanggal 18 Desember 2013pada pukul 12:48
§ Dikutip dalam http://aprillins.com/2009/577/jean-baudrillard-tentang-simulacra-dan-hiperrealitas/
Diakses pada tanggal 18 Desember 2013pada pukul 13:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar