Nama : Remina Tarigan
Nim : 3122122006
Mata Kuliah : Masalah-Masalah Sosial
Homoseksualitas
Pengertian
Homoseksualitas
Ada
beberapa pengertian homoseksualitas menurut para ahli, diantaranya adalah :
1. Kartono, homoseksual adalah relasi seks
jenis kelamin yang sama, atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang sama.
2. Dede Oetomo, homoseksual adalah
orientasi atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseorang yang berjenis
kelamin sama atau ketertarikan orang secara emosional dan seksual kepada
seseorang dari jenis kelamin yang sama.
3. Barley, Carroll, dan Knox , homoseksual adalah laki-laki dan
perempuan yang secara emosional dan seksual tertarik terhadap sesama jenisnya.
4. Deti Riyanti dan Sinly Evan
Putra, homoseksual adalah kelainan terhadap orientasi seksual yang
ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai kelamin
sejenis atau identitas gender yang sama.
5. Kaplan, homoseksual adalah penyimpangan
psikoseksual di mana seseorang dewasa tertarik gairah seksualnya dengan teman
sejenis.
6. Dali Gulo, homoseksual adalah
kecenderungan untuk memiliki hasrat seksual atau mengadakan hubungan seksual
dengan jenis kelamin yang sama.
Dari beberapa pengertian para ahli
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, homo-seksualitas adalah suatu kelainan
seksual di dalam diri seseorang yang memiliki rasa ketertarikan terhadap
individu yang berjenis kelamin atau gender yang sama.
Ciri-Ciri Homoseksualitas
Jenis-Jenis Homoseksualitas
Homoseksualitas dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu:
1.
Gay
Gay atau "Homo" adalah
istilah untuk yang memiliki kecenderungan seksual kepada sesama pria atau
disebut juga pria yang mencintai pria baik secara fisik, seksual, emosional
atau pun secara spiritual. Mereka juga rata-rata agak memedulikan penampilan,
dan sangat memperhatikan apa-apa saja yang terjadi pada pasangannya. Biasanya
mereka melakukan hubungan sesama jenis melalui seks oral atau seks anal.
Hubungan melalui anal seks disebut juga sodomi.
Secara umum, ciri-ciri gay yang
dapat dilihat adalah sebagai berikut:
- Sebagian besar para gay secara fisik merupakan sosok-sosok pria dengan ketampanan diatas rata-rata pria pada umumnya, bahkan tampil cenderung macho dan gagah.
- Sebagian besar gay menandai dirinya dengan tindik pada bagian kuping “biasanya” yang sebelah kanan, namun sebagian lagi bahkan ada yang menindik kedua bagian kupingnya, oleh karena itu baiknya bagi pria yang berniat untuk melakukan tindik sebaiknya dipertimbangkan kembali agar jangan sampai salah memberikan simbol.
- Sebagian dari mereka cenderung menyukai memakai perhiasan seperti kalung (biasanya kalung emas baik kuning maupun emas putih) layaknya seorang lelaki metroseksual.
- Sebagian besar gay, secara sifat adalah jenis lelaki yang sopan santun, terkesan sangat rapi namun tetap menampilkan kesan feminisme dalam gerak-geriknya, tapi sebagian lagi sangat tidak kentara ketika berinteraksi.
- Sebagian besar gay, termasuk jenis pria-pria yang sensitif dan dalam kehidupan sehari-hari cukup supel dalam pergaulan, namun mereka sangat perfeksionis dalam bidangnya.
- Sebagian besar pria gay biasanya berkarier dibidang-bidang seperti artis, penyanyi, desainer, penata rambut bahkan para model, namun secara garis besarnya mereka pada umumnya bergiat dibidang yang membutuhkan detil dengan perasaaan dengan tingkat perfeksionisme yang tinggi.
2.
Lesbian
Lesbian adalah istilah bagi perempuan
yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga
perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau
secara spiritual. Istilah ini dapat digunakan sebagai kata benda
jika merujuk pada perempuan yang menyukai sesama jenis, atau sebagai kata sifat
apabila bermakna ciri objek atau aktivitas yang terkait dengan hubungan sesama
jenis antar perempuan.
Selain
itu menurut Coleman, dkk (1980) dalam Supraptiknya (1990) menggolongkan
homoseksualitas ke dalam beberapa jenis yakni:
- Homoseksual tulen yaitu gambaran streotiptik popular tentang laki-laki yang keperempuan-perempuanan atau sebaliknya perempuan yang kelelaki-lakian.
- Homoseksual malu-malu yaitu kaum laki-laki yang suka mendatangi WC-WC umum atau tempat-tempat mandi uap terdorong oleh hasrat homoseksual namun tidak mampu dan tidak berani menjalin hubungan personal yang cukup intim dengan orang lain untuk mempraktikkan homoseksualitas.
- Homoseksual tersembunyi yaitu kelompok ini biasanya berasal dari kelas menengah dan memiliki status sosial yang mereka rasa perlu dengan menyembunyikan homoseksualitas mereka. Homoseksualitas mereka biasanya hanya diketahui oleh sahabat-sahabat karib, kekasih mereka, atau orang lain tertentu yang jumlahnya sangat terbatas.
- Homoseksual situasional yaitu Terdapat aneka jenis situasi yang dapat mendorong orang mempraktikkan homoseksualitas tanpa disertai komitmen yang mendalam, misalnya penjara dan medan perang. Akibatnya, biasanya mereka kembali mempraktikkan heteroseksualitas sesudah keluar dari situasi tersebut
- Biseksual yaitu orang yang mempraktikkan baik homoseksualitas maupun heteroseksualitas sekaligus.
- Homoseksual mapan yaitu sebagian besar kaum homoseksual menerima homoseksualitas mereka, memenuhi aneka peran kemasyarakatan secara bertangggung jawab dan mengikatkan diri dengan komunitas homoseksual setempat. Secarakeseluruhan, kaum homoseksual tidak menunjukkan gejala gangguan kepribadian yang lebih di bandingkan kaum heteroseksual. Banyak kaum homoseksual menjalin hubngan intim yang stabil dengan seorang pasangan, khususnya dikalangan kaum lesbian. Ada kecenderungan bahwa kaum lesbian lebih mengutamakan hubungan mereka, bukan pada aspek-aspek seksualnya, sedangkan kaum homoseksual lelaki cenderung mengutamakan aspek-aspek seksual dalam hubungan mereka
Penyebab Homoseksualitas
Banyak hal yang melatarbelakangi seseorang menjadi
homoseksual itu, diantaranya dilihat dari :
a.
Faktor Sosial atau Pergaulan
Faktor
sosial atau pergaulan merupakan faktor terbesar yang menjadi penyebab
homoseksual, faktor sosial atau
pergaulan merupakan faktor terbesar yang menjadi penyebab homoseksual, sekali
pernah merasakan hubungan seksual menjadi ketularan tapi faktor ini juga bisa
menyebabkan biseksual.
b.
Faktor Trauma atau Korban Perkosaan pada Masa Kecil
Latar
belakang riwayat pada mereka yang mengalami homoseksualitas menceritakan bahwa
mereka pernah disiksa atau memiliki ayah yang suka menyiksa, atau pernah
diperkosa oleh orang-orang terdekat. Untuk mereka yang pernah diperkosa dengan mereka menjadi homo dikarenakan
mereka membalas dendam kepada orang lain dengan menjadi atau berperilaku homo,
kebanyakan dari kasus trauma masa kecil atau diperkosa ini memerlukan
penanganan atau terapi dari psikolog yang bisa menanggani kasus-kasus seperti
ini dan memakan waktu yang tidak sebentar.
c.
Faktor Keturunan
Faktor
penyebab homoseksualitas berasal dari keturunan alias bawaan, dimana secara
garis keturunan ada keluarganya yang punya riwayat homo kasus homoseksualitas
karena prosesnya genetis.
d.
Faktor Sosialisasi
Seorang
pria dapat menjadi homoseksual ataupun gay dikarenakan
terjadi proses sosialisasi dalam masyarakatnya. Pada dasarnya sosialisasi
adalah proses pembelajaran pranata sosial masyarakat yang akan membentuk
karakter dan perilaku seseorang. Ketika seorang pria tersosialisasikan oleh
lingkungannya untuk menjadi seorang homoseksual maka ia akan memiliki orientasi
seksual sebagai homoseksual pula. Meskipun seseorang dapat menjadi homoseksual
karena lingkungannya, namun dalam ruang lingkup masyarakat yang lebih besar
dimana masih terdapat norma dan nilai yang menentang homoseksual maka segala
bentuk perilaku homoseksual tetap dikategorikan tindakan yang menyimpang.
Selain itu ada beberapa penyebab
dari homoseksualitas menurut para ahli, yaitu :
Menurut
Kartini
Menurut Kartini
(1989:248) sebab-sebab perilaku homoseksualitas, antara lain :
a.
Faktor dalam berupa ketidakseimbangan hormon-hormon
seks di dalam tubuh seseorang.
b.
Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak
menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual yang normal.
c.
Seseorang selalu mencari kepuasan relasi homoseksual
karena pernah menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa
remaja.
Menurut
Deti Rianti dan Sinly Evan Putra
Deti Rianti dan Sinly Evan Putra mengungkapkan
faktor-faktor penyebab seseorang menjadi homoseksual berdasarkan kajian biologis, antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Susunan
Kromosom
Perbedaan
homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat susunan kromosomnya yang berbeda.
Pada dasarnya seorang wanita memiliki satu kromosom (x) dari ibu dan kromosom
(x) dari ayah, sedangkan pria memiliki kromosom (x) dari ibu dan kromosom (y)
dari ayah. Kromosom (y) adalah penentu orientasi seks untuk pria, jika seorang
pria memiliki lebih banyak kromosom (x) dibanding (y) maka ia dapat
berorientasi seks sebagai homoseksual karena kromosom (x) akan mendorong
seorang pria untuk berperilaku dan berorientasi seksual seperti wanita.
2. Ketidakseimbangan
Hormon
Seorang
pria memiliki hormon testosteron, namun ia juga meiliki hormon estrogen dan
progesteron yang dimiliki oleh perempuan. Jika hormonestrogen dan progesteron
lebih banyak dibanding testosteron maka pria tersebut akan memiliki
perkembangan seksual yang mendekati karakteristik perempuan.
3.
Struktur Otak
Struktur
otak pada straight females dan straight males serta gay
females dan gay males terdapat perbedaan. Otak bagian
kiri dan kanan dari straight males sangat jelas terpisah
dengan membran yang cukup tebal dan tegas. Straight females, otak
antara bagian kiri dan kanan tidak begitu tegas dan tebal. Dan pada gay
males, struktur otaknya sama dengan straight females, serta
pada gay females struktur otaknya sama dengan straight
males, dan gay females ini biasa disebut lesbian.
4.
Kelainan Susunan Syaraf
Berdasarkan
hasil penelitian terakhir, diketahui bahwa kelainan susunan syaraf otak dapat
mempengaruhi prilaku seks heteroseksual maupun homoseksual. Kelainan susunan
syaraf otak ini disebabkan oleh radang atau patah tulang dasar tengkorak.
Menurut Kartono (1989:248)
Lingkungan
dapat memengaruhi perkembangan seseorang untuk menjadi homoseksual. Penjara dan
asrama-asrama putra, tempat para pemuda dan kaum pria berdiam terpisah dengan
kaum wanita, banyak menghasilkan peristiwa homoseksual.
Menurut Dagun (1990:104-105)
Ayah
mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan peran seksual anak. Jika peran ayah
kecil atau tidak berperan sama sekali dalam perkembangan anak, terutama dalam
hal pola asuh, maka akan muncul kesimpangsiuran peran jenis kelamin anak.
Menurut Mavis Hetherington (1990:105)
Anak
laki-laki yang ditinggalkan ayahnya sejak dini berperilaku tidak maskulin.
Selain itu anak menjadi kurang mandiri, ketergantungan, kurang tegas, dan tidak
menyukai permainan yang melibatkan fisik. Keadaan tersebut bagi anak laki-laki
akan mengakibatkan kurang memperlihatkan sikap sebagai seorang laki-laki.
Menurut Adelsa (2009)
Faktor lingkungan
keluarga yang dapat memengaruhi terbentuknya homoseksual, yaitu:
(1) pola asuh, dan
(2) figur orang yang berjenis kelamin sama dan
relasinya dengan lawan jenis.
Dalam
proses pembentukan identitas seksual, seorang anak pertama-tama akan melihat
pada orang tua mereka sendiri yang berjenis kelamin sama dengannya. Anak
laki-laki melihat pada ayahnya, dan anak perempuan melihat pada ibunya, dan
kemudian mereka juga melihat pada teman bermain yang berjenis kelamin sama
dengannya.
Menurut Freud (2007)
Semua manusia pada
dasarnya adalah mahluk biseksual atau penggabungan homoseksual dan heteroseksual, ia kemudian mengemukakan
bahwa individu menjadi homoseksual ataupun heteroseksual didapat sebagai hasil
dari pengalamannya berhubungan dengan orang tua dan yang lainnya. menurut Freud
pada dasarnya individu sudah memiliki potensi sejak lahir untuk menjadi
homoseksual dan heteroseksual. Terjadinya orientasi seks homoseksual,
heteroseksual, atapun biseksual tersebut dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya
lingkungan masa kecilnya bersama kedua orangtua. Orientasi seksual merupakan
variasi yang terjadi dalam perkembangan seksual individu yang akan berkembang
sesuai dengan kondisi lingkungan sehingga homoseksual bukanlah sebuah penyakit.
Menurut Sandor Rado ( 2007)
Homoseksual
diakibatkan hanya oleh pengalaman individu bersama kedua orangtuanya, yang
dimulai sejak masa oedipal period (sejak umur 4-5 tahun).
Menurut Charles Socarides (2007)
Perkembangan
homoseksual individu dimulai sejak masa pre-oedipal dan sesuadahnya.Seorang
laki-laki dapat menjadi seorang gay bila memiliki hubungan yang terlalu erat
dengan ibunya atau karena kurang dan hilangnya figur kebapakan dalam
keluarga, sehingga bapak yang terlalu disiplin yang pada perkembangan
selanjutnya memunculkan kebencian pada laki-laki secara umum. Hal ini berlaku
terbalik pada kasus perempuan lesbian dimana posisi ibu hilang atau terlalu
disiplin dan ayah yang terlalu dekat dengan anak perempuannya.
Tahapan Pembentukan Identitas Diri Homoseksualitas
Perilaku Homoseksual tidak muncul begitu saja, tetapi
perilaku homoseksual merupakan adaptasi dan penyesuaian diri akan tuntutan diri
dan ingkungan. Penyesuaian diri terhadap lingkungan terhadap perilaku
homoseksual berlangsung secara bertahap. Vivienne Cass (1984) mengemukakan
model enam tahapan dalam pembentukan identitas gay dan lesbian. Tidak semua gay
dan lesbian mencapai tahap keenam; tergantung, di dalam masing-masing tahapan,
pada seberapa nyaman seseorang dengan orientasi seksualnya.
1.
Identity Confusion
Individu mulai percaya bahwa perilakunya bisa
didefinisikan sebagai gay atau lesbian. Mungkin saja timbul keinginan
untuk mendefinisikan kembali konsep orang tersebut terhadap perilaku gay dan lesbian, dengan informasi salah yang dimiliki sebagian besar orang.
Orang tersebut bisa menerim peran tersebut dan mencari informasi, menekan dan menghalangi
semua perilaku gay dan lesbian, atau menyangkal kemiripan
dengan semua identitasnya
2.
Identity Comparison
Individu menerima potensi identitas dirinya gay; menolak model heteroseksual tetapi
tidak menemukan penggantinya. Orang tersebut mungkin merasa berbeda dan bahkan
kehilangan. Orang yang berada dalam tahapan ini masih menyangkal
homoseksualitasnya. Ia berpura-pura sebagai seorang heteroseksual.
3.
Identity Tolerance
Pada tahap ini, individu mulai berpindah pada
keyakinan bahwa dirinya mungkin gay
atau lesbian dan mulai mencari
komunitas homoseksual sebagai kebutuhan sosial, seksual dan emosional.
Kebingungan menurun, tapi identitas diri masih pada tahap toleransi, bukan
sepenuhnya diterima. Biasanya, individu masih tidak membeberkan identitas barunya
pada dunia heteroseksual dan tetap menjalankan gaya hidup ganda.
4.
Identity Acceptance
Pandangan positif tentang identitas diri mulai
dibentuk, hubungan dan jaringan gay
dan lesbian mulai berkembang.
Pembukaan jati diri selektif kepada teman dan keluarga mulai dibuat, dan
individu sering membenamkan dirinya sendiri dalam budaya homo-seksual.
5.
Identity Pride
Kebanggaan sebagai homoseksual mulai dikembangkan, dan
kemarahan terhadap pengobatan bisa mengakibatkan penolakan heteroseksual karena
dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Individu merasa cukup bernilai dan cocok
dengan gaya hidupnya.
6.
Identity Synthesis
Ketika individu benar-benar merasa nyaman dengan gaya
hidupnya dan ketika kontak dengan orang nonhomoseksual meningkat, seseorang
menyadari ketidakbenaran dalam membagi dunia mengkotak-kotakkan dunia dalam ”gay dan lesbian yang baik” dan ”heteroseksual yang buruk.” Individu
menjalani gaya hidup gay yang terbuka
sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi sebuah isu dan menyadari bahwa ada
banyak sisi dan aspek kepribadian yang mana orientasi seksual hanya salah satu
aspek tersebut. Proses pembentukan identitas telah selesai.
Cara Mengatasi Homoseksualitas
Beberapa
langkah praktis berikut dapat membantu orangtua dalam mengatasi ke-cenderungan homoseksual
pada anak :
1)
Menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis, ayah dan
ibu yang saling mengasihi dan masing-masing menjalankan fungsinya dalam
keluarga.
2)
Tidak mengolok-olok kelemahan anak tetapi justru
memberi dukungan pada anak dengan perkataan yang membangun.
3)
Hindari pemberian “label” banci kepada anak
laki-laki atau tomboy kepada anak perempuan.
4)
Menjadi teman bicara yang baik untuk anak-anak.Sebagian
besar pelaku homoseksual pernah melewati suatu masa kesepian di mana mereka
ingin mengungkapkan pergumulan mereka kepada seseorang yang dapat mereka
percayai, tapi mereka tidak menemukannya.
5)
Para ayah perlu terlibat langsung dalam membina
hubungan dengan anak-anaknya. Menjadi figur teladan seorang pria bagi anak
laki-laki dan memiliki kepekaan untuk berinteraksi dengan anak perempuannya.
Para ibu perlu menyadari bahwa anak-anak laki-laki harus melepaskan diri dari
keserupaan dan kedekatan dengan ibunya, untuk bertumbuh menjadi seperti
ayahnya. Pergeseran ini tidak dialami oleh anak-anak wanita.
6)
Orangtua perlu untuk terus menerus membina
komunikasi dengan anak-anak mereka pada setiap tahap kehidupannya.
7)
Ajarkan pada anak-anak sejak usia dini bahwa tubuh
mereka adalah bait Roh Kudus dan seharusnya diperlakukan secara
terhormat. Ajari mereka untuk melindungi diri dari pelecehan seksual dan
berbicara terbuka tentang perlakuan yang mereka anggap aneh atau tidak wajar
dari seseorang.
8)
Berhati-hati dalam mempercayakan anak-anak pada
pengawasan orang lain. Beberapa kasus pelecehan seksual dilakukan oleh “orang
dekat” atau orang “kepercayaan”, bahkan di dalam lingkungan yang dianggap cukup
rohani.
Pandangan Teori Sosiologi tentang Homoseksualitas
Robert M. Z. Lawang
Homoseksualitas sebagai perilaku
menyimpang
Dalam
konteks penyimpangan sosial, homoseksualitas dikatakan menyimpang karena
fenomena tersebut tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam banyak
kelompok masyarakat. Homoseksualitas dianggap sebagai sebuah media yang tidak
wajar demi mendapatkan kepuasan seksual. Dalam kehidupan sosial, ada beberapa
pandangan mengenai homoseksualitas. Sebagian masyarakat membolehkan interaksi
homoseksualitas meskipun lebih banyak masyarakat yang mengutuk perilaku
homoseksualitas tersebut. Dalam kaitannya sebagai bentuk perilaku menyimpang,
secara sosiologis maupun umum, gay dan lesbian dapat diartikan sebagai perilaku yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai kesusilaan dalam sudut pandang masyarakat luas maupun masyarakat
tempat pelaku penyimpangan berada.
Robert
M. Z. Lawang mengartikan perilaku menyimpang sebagai semua tindakan yang
menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial (masyarakat)
dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang untuk memperbaiki hal
tersebut. Gay dan Lesbian merupakan
salah satu bentuk perilaku menyimpang yang bukan hanya secara gamblang telah
menyalahi norma-norma yang ada dalam banyak masyarakat namun juga turut
mendorong terciptanya upaya sadar dari sebagian elemen masyarakat yang
berwenang untuk menekan perkembangan komunitas gay dan lesbian dalam suatu masyarakat.
Norma
merupakan salah satu tolak ukur yang menentukan suatu perilaku dinyatakan
menyimpang atau tidak. Norma yang ada dalam masyarakat adalah berupa tata
aturan atau peraturan yang mengikat kelompok individu dalam suatu daerah atau
wilayah sebagai bentuk representasi kontrol sosial yang akan mengendalikan
tingkah laku anggota masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan pemahaman dan
penerapan orientasi seksual anggotanya, kontrol sosial yang ada dalam
masyarakat berperan sebagai pembatas orientasi seksual agar tidal menyalahi
norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Ketika muncul pandangan orientasi
seksual maka kontrol sosial yang ada dalam masyarakat akan membatasinya untuk
berkembang, dan dalam konteks yang lebih ekstrim maka setiap pandangan
orientasi seksual yang tidak sesuai dengan norma akan diusahakan untuk
dilenyapkan.
Tallcot Parsons
Homoseksualitas terjadi Karena Adanya Sistem yang tidak Berjalan dengan
Baik
Dalam memahami perilaku individu, sosiologi
memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang individu
terhadap lingkungan dan dampak lingkungan terhadap individu itu sendiri.
Lingkungan merupakan tempat perilaku seorang individu dikembangkan, namun
perilaku individu itu sendiri juga mempengaruhi lingkungan tempat si individu
itu berada. Sosiologi melihat sosialisasi yang muncul pada masa lalu
seorang gay dan lesbian akan
menentukan perilaku individu tersebut, hal inilah yang mempengaruhi perubahan
orientasi seksualnya.
Dalam konsep fungsionalisme struktural yang
dijelaskan oleh Tallcot Parsons, masyarakat dilihat sebagai sebuah hal yang
terdiri dari sistem maupun unsur dalam sistem (sub-sistem) yang akan menentukan
bagaimana kehidupan sosial dalam suatu masyarakat dapat berjalan dengan baik.
Menurut teori fungsionalisme struktural, maka ketika salah satu sistem maupun
sub-sistem dalam masyarakat tidak berfungsi sebagaimana mestinya dapat
menyebabkan terciptanya penyimpangan dalam diri seorang individu yang terkait
dengan sistem maupun sub-sistem tersebut. Perilaku menyimpang yang muncul dalam
diri seorang gay dan lesbian
diakibatkan oleh sosialisasi dari sistem maupun sub-sistem dalam masyarakat
yang berjalan tidak semestinya. Beberapa unsur masyarakat yang dapat dikatakan
sebagai sistem yang membentuk masyarakat antara lain adalah lingkungan keluarga
dan pergaulan.
Dalam sudut pandang sosiologi, penyimpangan
dimungkinkan terjadi karena seseorang menerapkan peranan sosial yang menunjukan
perilaku menyimpang. Bagaimana seseorang dapat memainkan peran sosial yang
menyimpang sangat terkait dengan sosialisasi yang ia dapat dalam sistem
masyarakat tempat ia berada. Keluarga dan lingkungan pergaulan akan sangat
mempengaruhi pembentukan peranan sosial seorang individu, hal ini dikarenakan
keluarga dan lingkungan pergaulan merupakan salah satu sistem penopang
masyarakat dimana seorang individu memiliki intensitas interaksi yang tinggi
terhadapnya. Dalam konteksnya sebagai salah satu bentuk penyimpangan sosial gay dan
lesbian pada awalnya memperoleh
sosialisasi untuk menjadi homoseksualitas dari lingkungan dan keluarganya.
Salah satu fenomena yang saat ini terjadi dalam
kajian homoseksualitas adalah bergesernya pandangan dan reaksi masyarakat
terhadap kaum homoseksualitas secara keseluruhan. Seiring dengan berkembangnya
perubahan sosial kontemporer seperti kampanye hak asasi manusia dan kesetaraan
gender maka keseluruhan hal tersebut turut mempengaruhi perspektif masyarakat
terhadap kaum homoseksualitas. Beberapa negara saat ini mulai melegalkan
homoseksualitas serta pernikahan sesama jenis, hal ini dilandasi oleh gagasan
anti-diskriminasi sebagai wujud perlindungan hak asasi manusia.
Namun dalam ruang lingkup yang lebih luas, hingga
saat ini masih muncul banyak perdebatan mengenai moralitas seorang homoseksualitas.
Perdebatan ini dipicu oleh kenyataan bahwa homoseksualitas telah melanggar
mayoritas nilai dan norma yang ada dalam agama, budaya, maupun hukum yang
dianut dan diterapkan oleh mayoritas masyarakat dunia saat ini. Namun diluar
segala kontroversinya, hingga saat ini kaum gay dan lesbian telah terbukti mampu menunjukkan
eksistensi ditengah masyarakat yang menentangnya. Kaum gay dan
lesbian yang telah terorganisir dalam
banyak kelompok homoseksualitas mampu menemu-kan solidaritas yang didasari
persamaan sebagai kaum gay dan
lesbian. Solidaritas yang muncul tersebut selanjutnya menjadi
media sosialisasi mereka yang bertujuan agar kaum gay dan lesbian dapat diterima oleh
masyarakat.
Edwin M.Lemeret
Homoseksualitas Terjadi Karena adanya Pemberian Labelling
Menurut
Edwin M.Lemeret, seseorang yang menjadi penyimpang karena proses labelling yang
di berikan masyarakat kepadanya. Proses labelling dilakukan dengan memberikan
julukan cap, atau stigma (biasanya negatif) kepada seseorang, sebagai tanggapan terhadap julukan cap atau
stigma tersebut, pelaku kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai penyimpangan
yang mengulang lagi tindakannya. Pelaku akhirnya menganut suatu gaya hidup
menyimpang dan penyimpangan tersebut menjadi suatu kebiasaan.
Sama halnya dengan homoseksualitas, dimna
sebenarnya seseorang yang melakukan nya bukan atas kemauan sendiri tapi karena
paksaan dari pihak lain, dimana hal tersebut menjadi cap oleh masyarakat yang
akan mempengaruhinya untuk melakukan homoseksua-litas lagi alasannya karena sudah
diberi labeling oleh masyarakat.
Masyarakat memberikan label buruk pada gay dan lesbian karena mereka secara
jelas-jelas melakukan penyimpangan seksual, yaitu menyukai sesama jenis. Pada
umumnya kita mengetahui bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda – beda agar
mereka bisa menemukan pasangan masing – masing yakni laki –laki dan perempuan. Meskipun
undang – undang tidak secara jelas menyebutkan akan larangan menyukai sesama
jenis namun norma – norma lain yang hidup di masyarakat tentu akan menjadi
patokan. Seperti dalam norma kesusilaan, kesopanan dan agama. Sehingga
merupakan hal yang sangat wajar bila masyarakat akan melakukan pelabelan
bagi mereka yang menyimpang.
Basil Bernstein
Homoseksualitas terjadi Karena Adanya Konflik yang Memberi Pengaruh
Positif Maupun Negatif dalam Interaksi Manusia
Menurut
Berstein (1965), konflik merupakan suatu pertentangan atau perbedaan yang tidak
dapat dicegah. Konflik ini mempunyai potensi yang memberikan pengaruh positif
dan negatif dalam interaksi manusia. Seperti
halnya homoseksual, awal mula adanya homoseksualitas ini muncul ketika adanya
suatu konflik dalam keluarga, dimana pihak orang tua yakni ayah ataupun ibu
memberi tekanan berupa otoritas dan tindakan semena-mena pada seorang anak, ayah
ataupun ibu tersebut selalu bersifat menghakimi pada anak terhadap semua
kesalahan, alhasil anak setelah dewasa akan takut terhadap laki-laki ataupun
wanita, karena menganggap semua laki-laki ataupun wanita jahat setelah
perlakuan yang diberikan ayah ataupun ibunya, hal inilah yang membuat sang anak
mencoba menyukai sesama jenis karena dinilainya sesama jenis bukan ancaman
pribadinya sendiri.
Durant & Barlow, Glasser & Zunin, B.F Skinner, Masters & Johnson
Homoseksualitas Terjadi Karena Adanya Proses Belajar Behavioral dan
Kognitif
Durant dan
Barlow (2006), menjelaskan bahwa
perilaku manusia, termasuk disfungsinya, berdasarkan prinsip-prinsip belajar
dan adaptasi yang diambil dari psikologi eksperimen. Itu artinya pendekatan
behavioristik lebih condong kepada teori belajar sosial (social learning theory)
atau juga disebut observational learning dan teori pengondisian untuk
menjelaskan perilaku menyimpang.
Menurut pandangan kedua teori tersebut, fenomena homoseksualitas
yakni gay dan lesbian cenderung lebih dikarenakan oleh proses sosialisasi yang
salah. Mereka yang gay dan lesbian pada awalnya hidup di lingkungan
yang memang menerima keberadaan mereka. Mereka beradaptasi dengan lingkungan
yang ada dengan menginternalisasi nilai-nilai yang dianut lingkungan ke dalam
dirinya (modeling). Sehingga dalam hal ini peran serta reference
group sangat berpengaruh. Bisa saja pada kelompok bermain di sekolahnya,
kelompok arisan, kelompok belanja, ataupun perilaku keluarganya yang dijadikan
sebagai kelompok acuan.
Teori tersebut akan lebih pas jika diperkuat dengan
pendapat B.F Skinner tentang teori operant
conditioning-nya. Bahwa perilaku modeling yang terjadi akan
diperkuat dengan adanya pengakuan dan penerimaan dari lingkungannya. Sehingga
seseorang akan lebih yakin bahwa apa yang ia lakukan (baik feeling, perilaku,
maupun identifikasi diri homoseksualitas) adalah benar. Seandainya ketika
proses identifikasi orientasi seksual kepada kelompok referensi tersebut
mendapat penolakan dari lingkungan sosialnya yang lain, tentu pilihan menjadi
seorang gay atau lesbian akan sedikit demi sedikit akan hilang. Analisa dari
teori ini tentunya akan mengembangkan mitos bahwa jika seorang anak hidup
dengan orang tua yang homoseks, tentunya jika mereka besar mereka juga akan
menjadi homoseks.
Jika keberadaan gay
dan lesbian dipandang dari perspektif
kognitif—terutama dalam hal ini akan digunakan pendekatan menurut pencetus
terapi realitas, William Glasser; maka sebenarnya perilaku tersebut hanyalah
sebuah pencapaian prestasi seseorang. Karena menurut Glasser dan Zunin (1973 dalam Corey, 2007), bahwa setiap individu
memiliki kekuatan ke arah kesehatan atau pertumbuhan. Pada dasarnya orang-orang
ingin puas hati dan menikmati suatu identitas keberhasilan, menunjukkan tingkah
laku yang bertanggung jawab dan memiliki hubungan interpersonal yang penuh
makna.
Gay dan lesbian
menurut pandangan ini secara sengaja membuat keputusan menjadi seorang gay atau lesbian untuk memenuhi kebutuhan dirinya akan identitas (mencakup
kebutuhan untuk merasakan keunikan). Dalam prosesnya, pembentukan identitas
sebagai seorang gay maupun lesbian tentu tidak lepas dari cinta dan
penerimaan dari orang lain. Pandangan kognitif dari Glasser ini dibangun atas
asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Bahwa
masing-masing orang berhak mengambil keputusan dan bertanggung jawab menerima
konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya.
Teori
behavioral tentang homoseksualitas menganggap bahwa perilaku homoseksualitas
adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan perilaku tersebut yang
mendatangkan hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian hukuman atau
penguat negatif terhadap perilaku heteroseksual. Sebagai contoh, seseorang bisa
saja memiliki hubungan dengan sesama
jenis menyenangkan, dan berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang
menakutkan, dalam fantasinya, orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan
sesama jenis, menguatkan kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa
dewasa, beberapa pria dan wanita bergerak menuju perilaku dan hubungan sesama
jenis jika mereka mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan
homoseksual yang menyenangkan (Masters
& Johnson, 1979, dalam Carroll, 2005).
Sumber Pustaka :
§
Dikutip dalam :
http://nicofergiyono.blogspot.com/2013/09/masalah-sosial-budaya-tentang.html
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul 17:13
§
Dikutip dalam :
http://justinlase.blogspot.com/2012_04_01_archive.html
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul
17:21
§
Dikutip dalam : http://itha.wordpress.com/2007/08/27/menyikapi-masalah-homoseksualitas/
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul 17:29
§
Dikutip dalam :
http://justinlase.blogspot.com/2012/04/masalah-sosial-gay-dan-lesbian.html
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul 17:37
§
Dikutip dalam :
http://srirahayu03.blogspot.com/2012/12/teori-yang-relevan-meneganai-homo.html
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul 17:58
§
Dikutip dalam : http://trisnasunawar.blogspot.com/2014/01/teori-labeling-dalam-kriminologi.html
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul 18:23
§
Dikutip dalam : http://reginasosiology.blogspot.com/2012/12/masalah-sosial-budaya.html
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul 18:58
§
Dikutip dalam :
http://putriwahyu1993.blogspot.com/2013/01/homoseksual.html
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul 19:11
§
Dikutip dalam :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17706/4/Chapter%20I.pdf
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul 19:27
§
Dikutip dalam : http://wardiantomuhammad.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul 19:55
§
Dikutip dalam :
http://luthfis.wordpress.com/2008/03/11/homoseksual-pada-remaja/
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul 19:56
§
Dikutip dalam : http://edisudrajat.blogspot.com/2009/03/definisi-homosexsual-secara-sosiologis.html
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul 20:34
§
Dikutip dalam : http://psychologymania.com
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul 20:54
§
Dikutip dalam : http://azdidahlan.wordpress.com/2010/12/06/homoseksual-sebuah-tinjauan-terhadap-penyakit-sosial/
Diakses pada 26 Februari 2014 pada pukul 21:31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar