Nama : Remina Tarigan
Nim
: 3122122006
Mata
Kuliah : Sosiologi Korupsi &
Sosiologi Hukum
ANALISIS JURNAL :
KERENTANAN KEJAKSAAN AGUNG TERHADAP KORUPSI
Analisis
Jurnal dari Perspektif Sosiologi Korupsi
Korupsi sudah
menjadi kata yang sudah tidak asing lagi didengar, dilihat, dibaca, bahkan
dalam bentuk tertentu dianggap lazim ketika dilakukan. Praktik penyuapan
terjadi di semua level birokrasi pemerintahan, mulai dari level terendah hingga
level tertinggi. Di level birokrasi terendah dapat terlihat dari
praktik-praktik yang terjadi di kelurahan, misalnya ketika pembuatan
surat-surat resmi, seperti KTP, kartu keluarga dan lain sebagainya.
Dimana
ketika ada warga masyarakat yang mengurus surat-surat resmi tersebut terkadang
mau tidak mau harus melakukan penyuapan terhadap orang-orang yang bersangkutan,
sebab bila tidak maka yang sering terjadi adalah lambatnya proses penyelesaian
surat-surat yang diperlukan. Hal ini dikarenakan birokrasi yang bekerja dalam
bidang kelurahan tersebut belum menjalankan tugas dan tanggungjawabnya
sebagaimana mestinya dan bahkan mereka sering mengulur-ngulur waktunya untuk
mengurus surat tersebut, karena mereka berpikir bahwa surat-surat tersebut pasti
akan selesai.
Seperti yang kita ketahui bahwa
selama ini penanganan korupsi masih sulit untuk dilakukan karena korupsi juga
dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari lembaga yang seharusnya
menindaklanjuti masalah korupsi tersebut, seperti misalnya lembaga-lembaga
bagian dari Sistem Peradilan Pidana (SPP). Adapun Lembaga-lembaga tersebut
adalah Kepolisian, Kejaksaan, Badan Peradilan dan Lembaga Penghukuman. Praktik
korupsi didalam lembaga peradilan ini memiliki berbagai modus, seperti
penyuapan yang dilakukan untuk mengurangi hukuman, perubahan pasal dengan
ancaman hukuman berat menjadi pasal yang lebih ringan, dan sebagainya.
Adapun modus mafia peradilan korupsi
seperti yang dikatakan yakni ibarat transaksi jual-beli, dimana penjual
merupakan pihak yang mempunyai kewenangan sedangkan pembeli merupakan kelompok
yang membutuhkan kemenangan dalam suatu proses hukum. Persoalan korupsi di
kalangan aparat penegak hukum sebenarnya bukan masalah baru. Ada korupsi yang
dilakukan sejak lama tetapi sukar mengungkapkannya. Di satu pihak, si penegak
hukum menegakkan hukum, di lain pihak penegakan hukum akan membongkar aib
lembaga itu sendiri. Fakta membuktikan bahwa mafia peradilan sulit diberantas
karena maraknya rasa kasihan dari atasan pada bawahan yang sudah terbukti
terlibat, birokrasi penanganan yang panjang dan rendahnya integritas pimpinan
sehingga pengawasan menjadi tidak efektif.
Menurut beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa orang yang paling rentan terhadap korupsi adalah Kejaksaan Agung. Seperti yang
diketahui bahwa Kejaksaan Agung sebagai pengendali proses perkara mempunyai
kedudukan dan peran sentral dalam penegakan hukum karena hanya institusi
kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan
atau tidak berdasarkan bukti-bukti yang sah sebagaimana ditentukan menurut
hukum acara pidana Indonesia .
Selain
itu, Kejaksaan Agung mempunyai peran yang penting karena pengawasan dan kontrol
merupakan suatu hal yang utama di dalam suatu lembaga. Hal ini juga berkaitan
dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di dalam lembaga itu sendiri
karena jika hal ini dapat dilakukan dengan baik dan benar, maka korupsi di
dalam Kejaksaan Agung setidaknya dapat dikurangi karena adanya sikap preventif.
Tetapi pada kenyataannya, Kejaksaan Agung tidak menjalankan perannya
sebagaimana mestinya karena masih adanya jaksa-jaksa nakal yang
melakukan pelanggaran dan penyimpangan ketika melaksanakan tugasnya. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh
atasan terhadap bawahannya terutama terhadap jaksa yang sedang menangani suatu
kasus. Padahal, pengawasan dari teknis penanganan suatu kasus merupakan
tanggung jawab dari setiap bidang yang bersangkutan.
Seperti instansi pemerintah pada
umumnya, di Kejaksaan Agung terdapat bagian pengawasan yang disebut pengawasan
internal. Akan tetapi pada kenyataannya menunjukkan bahwa, fungsi pengawasan
dalam Kejaksaan Agung dianggap belum mampu mencegah terjadinya korupsi di
lembaga tersebut dikarenakan lemahnya pengawasan dalam penanganan perkara di Kejaksaan
Agung.
Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa, penyuapan menjadi salah satu yang termasuk dalam
korupsi. Penyuapan merupakan tindakan yang salah karena berupaya mempengaruhi
lembaga secara vital. Penyuapan terjadi ketika adanya tawaran keuntungan properti
atau personal kepada petugas publik dengan tujuan petugas publik tersebut
bertindak sesuai dengan keinginan si pemberi suap ketika petugas publik
tersebut menjalankan tugasnya. Umumnya penyuapan berpusat pada orang-orang yang
memiliki posisi sebagai pembuat keputusan atau orang-orang yang memiliki
kewenangan diskresi. Penyuapan adalah kejahatan yang melawan kepercayaan,
kepercayaan terhadap para pembuat keputusan yang memiliki diskresi, penyuapan
secara esensial bersifat menghancurkan bagi birokrasi dan struktur pemerintah.
Adapun contoh kasus yang dijelaskan dalam Jurnal ini yakni
penyuapan yang dilakukan oleh Artalyta
Suryani terhadap Jaksa Urip Tri
Gunawan. Kasus penyuapan yang dilakukan oleh Artalyta Suryani terhadap Urip
Tri Gunawan tersebut merupakan kompensasi atas penyelidikan BLBI II yang
hasilnya menyebutkan tidak ada tindak pidana korupsi dalam perkara BDNI milik
Sjamsul Nursalim. Karena tidak ditemukan tindak pidana, Kejaksaan Agung
menghentikan penyelidikan BLBI.
Kasus ini termasuk salah satu contoh
korupsi, hal ini karena adanya masalah penegakan hukum yaitu Urip sebagai jaksa
tidak melaksanakan tugasnya untuk menegakkan hukum yang ditujukan untuk
menyelesaikan kasus BLBI II. Penyuapan ini juga dilakukan untuk tidak
melanjutkan penyelidikan terhadap kasus BLBI II. Selain itu, hal ini juga
melibatkan pekerjaan yang sah yaitu profesi Urip sebagai jaksa yang memiliki
peran penting dalam menentukan dilanjutkannya suatu kasus atau tidak.
Kasus
Artalyta Suryani terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan bisa dikatakan sebagai
penyuapan karena perbuatan yang dilakukan oleh Artalyta merupakan transaksi
yang bersifat timbal-balik yaitu Artalyta memberikan uang sebesar US$ 660.000
sebagai kompensasi agar Urip menghentikan penyelidikan terhadap kasus BLBI II,
sehingga perkara BDNI milik Sjamsul Nursalim tidak mendapatkan hukuman pidana.
Adapun penyuapan yang dilakukan oleh Artalyta Suryani
terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan terjadi karena adanya kesempatan untuk
melakukan kejahatan. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Artalyta Suryani dan Urip
Tri Gunawan untuk mencapai tujuannya. Artalyta sebagai individu melakukan
tindakan suap terhadap Urip Gunawan selaku Jaksa untuk kepentingan pribadinya, yaitu
menghentikan penyelidikan kasus BLBI II, sementara itu Urip Gunawan menggunakan
profesinya sebagai Jaksa untuk menghentikan penyidikan kasus Sjamsul Nursalim.
Selain
itu, hal ini juga berkaitan dengan kontrol dan pengawasan yang lemah dari
atasan kepada para bawahannya serta sikap toleransi bisa disebabkan oleh adanya
tindakan melindungi sesama pegawai karena merupakan satu institusi, seperti
didalam kasus penyuapan Artalyta
terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan
dimana Jampidsus Kemas Yahya Rahman mengetahui adanya penyimpangan dalam
penanganan kasus BLBI II tersebut tetapi ia tidak mencegah terjadinya tindakan
itu. Jampidsus Kemas Yahya Rahman memberi keterangan bahwa tidak ada kaitan
antara perbuatan Urip Tri Gunawan dengan Kejaksaan Agung dan jika tidak
terbukti maka kejaksaan siap membela Urip Tri Gunawan.
Jampidsus Kemas Yahya Rahman membantah kasus
dugaan suap yang menjerat mantan jaksa penyelidik kasus BLBI, Urip Tri Gunawan,
melibatkan institusi kejaksaan. Jika terbukti bersalah, Kemas bersedia
merekomendasikan pemecatan kepada Urip. Namun jika KPK tidak bisa membuktikan
dugaan suap, maka kejaksaan siap membela Urip. Seharusnya Kemas Yahya Rahman
melakukan pengawasan melekat kepada Urip Tri Gunawan untuk tidak menemui
orang-orang yang berkaitan dengan kasus yang sedang ditangani oleh Urip Tri
Gunawan, termasuk mencegah menemui Artalyta Suryani yang mempunyai hubungan
dengan Sjamsul Nursjalim.
Analisis
Jurnal dari Perspektif Sosiologi Hukum
Pemberantasan
tindak pidana korupsi tentunya tidak terlepas dari upaya aparat Penegak Hukum
dalam melakukan upaya penegakan hukum di bidang tindak pidana Korupsi. Salah
satu lembaga yang diberikan kewenangan dalam melakukan penegakan hukum dalam
hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Lembaga Kejaksaan RI. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang.
Dalam
Pasal 39 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi disebutkan bahwa Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Dalam Pasal ini
dimaksudkan Jaksa Agung yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan dan melakukan penuntutan serta melakukan eksekusi terhadap putusan
hakim dalam perkara tindak pidana korupsi.
Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam bidang
pidana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia yang tertulis :
1)
Melakukan penuntutan;
2)
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3)
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
4)
Melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
5)
Melengkapi berkas perkara tertentu dan
untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat
(1) dapat kita lihat bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan memang sangat
menentukan dalam membuktikan apakah seseorang atau korporasi terbukti melakukan
suatu tindak pidana atau tidak.
Dari analisis Undang-undang yang mengatur
tentang Kejaksaan tersebut, bila dikaitkan dengan kasus penyuapan
yang dilakukan oleh Artalyta Suryani
terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan menunjukkan
bahwa kasus korupsi dapat terjadi karena Urip Gunawan selaku jaksa tidak
menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 39
Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 30 ayat (1) Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam bidang pidana.
Selain itu,
sebagaimana yang dikatakan Peraturan Jaksa No. PER-067/A/JA/07/2007 Tentang
Kode Perilaku Jaksa, cenderung masih melindungi kepentingan orang-orang atau
citra lembaga tersebut sehingga berdampak pada pemberian sanksi kepada jaksa
dan pegawai Kejaksaan Agung lainnya ketika melakukan pelanggaran.
Hal
ini sama seperti contoh kasus penyuapan tersebut, yakni ketika Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman memberi keterangan bahwa
tidak ada kaitan antara perbuatan Urip Tri Gunawan dengan Kejaksaan Agung dan
jika tidak terbukti maka kejaksaan siap membela Urip Tri Gunawan. Jampidsus
Kemas Yahya Rahman membantah kasus dugaan suap yang menjerat mantan jaksa
penyelidik kasus BLBI, Urip Tri Gunawan, melibatkan institusi kejaksaan. Jika
terbukti bersalah, Kemas bersedia merekomendasikan pemecatan kepada Urip. Namun
jika KPK tidak bisa membuktikan dugaan suap, maka kejaksaan siap membela Urip (KPK
harus tuntas, 2008).
Pernyataan
Kemas Yahya Rahman menunjukkan adanya tindakan melindungi Urip Tri Gunawan dan
citra Kejaksaan Agung itu sendiri dengan mengatakan akan membela Urip Tri
Gunawan jika tidak terbukti dan menunjukkan sikap yang tegas untuk memecat Urip
Tri Gunawan jika terbukti bersalah. Tetapi seperti yang telah diketahui bahwa
Kemas Yahya Rahman terbukti mengetahui tindakan penyuapan ini melalui rekaman
pembicaraannya dengan Artalyta Suryani sehingga ia pun dicopot dari jabatannya.
Ismail Saleh (mantan Jaksa Agung 1981-1983) berpendapat
tentang kasus Urip Tri Gunawan bahwa jangan hanya Jaksa Urip saja yang
disalahkan, tetapi perlu diteliti sampai sejauh mana Jaksa Agung telah
mewujudkan tugas pengawasan secara nyata kepada bawahannya, terutama pada
kasus-kasus besar yang ditangani jaksa bawahannya. Dalam melaksanakan
pengawasan harus mempunyai kemampuan teknis dan keberanian moral. Ia
berpendapat bahwa pengawasan melekat dan pengawasan fungsional hanya dapat
berjalan efektif, apabila pimpinan mempunyai keberanian moral untuk menegakkan
ketentuan yang berlaku, menerapkan sanksi-sanksi yang tegas terhadap segala
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sebenarnya
aturan dan peraturan hukum sudah jelas tercantum dalam Undang-Undang. Mulai
dari peraturan yang ditetapkan sampai kepada sanksi yang diberikan jika
melanggar suatu aturan yang terdapat dalam hukum. Termasuk Undang-undang yang
mengatur tentang kasus Tindak Pidana Korupsi. Hanya saja aturan dan peraturan
tersebut masih tetap di langgar oleh pihak-pihak yang melakukan korupsi. Hal
ini dikarenakan karena adanya kesempatan dalam memanfaatkan posisi atau jabatan
sebagai Jaksa seperti dalam contoh kasus tersebut.
Oleh karena itu untuk mengatasi masalah kasus tersebut
agar tidak terulang kembali sebagaiknya para penegak hukum seperti Kejaksaan
Agung menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana mestinya. Jangan mudah
tergoda dengan banyaknya uang yang disuap seseorang untuk melakukan tindak
pidana korupsi. Karena hal ini berdampak pada kejaksaan itu sendiri, memang
awal ketika dia melakukan korupsi hal tersebut bisa saja belum ada yang
mengetahui, akan tetapi lama-kelamaan hal tersebut pasti akan terungkap. Sebab
sebagaimana sebuah peribahasa mengatakan ‘sepandai-pandainya tupai melompat,
lama-lama akan jatuh juga’. Demikian halnya dengan kasus korupsi tersebut,
sepandai-pandainya kita menyimpan kejahatan korupsi maka lama-lama akan tercium
dan ketahuan juga.
Selain
itu, untuk mengatasi hal tersebut yakni dengan cara memberikan sanksi yang
tepat sesuai dengan kesalahan korupsi yang telah dilakukan. Sehingga hal ini
dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi. Dan yang paling utama
diperlukan pelaksanaan dan kepastian hukuman yang jelas untuk diberikan kepada
para pelaku dengan tidak adanya toleransi baik itu terhadap Kejaksaan Agung
maupun pelaku itu sendiri.
Pandangan
Teori
1. Teori Fungsional Struktural - Talcott Parsons
Dalam teorinya Talcott Parson mengatakan bahwa
korupsi dapat terjadi apabila terdapat sebuah sistem yang tidak menjalankan
fungsinya sebagaimana mestinya. Dalam kaitannya dengan kasus tersebut jelas
bahwa kasus korupsi dapat terjadi karena Urip
Tri Gunawan selaku Kejasaan
Agung tidak menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana mestinya, seperti
yang terdapat dalam Pasal 39 Undang Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 30 ayat (1) Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam bidang pidana.
Oleh
karena itu untuk mengatasi kasus korupsi tersebut yakni sebagaiknya Kejaksaan
Agung menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana mestinya. Selain itu,
sebaiknya hukum lebih ditegakkan dan ditegaskan lagi agar tidak terjadi keberpihakan
terhadap para kaum kapitalis yang memiliki kekuasaan. Dan sebagai jaksa
hendaklah tidak melindungi orang yang bersalah, karena kalau orang bersalah
maka haruslah dihukum sesuai dengan perbuatan yang dia lakukan, bukan malah
melindunginya dari kasus hukum yang menjeratnya.
2. Teori
Strukturasi - Anthony Giddens
Dalam
teori strukturasi gidden mengatakan bahwa korupsi dapat terjadi karena adanya
kapitalisme dan matrealisme yang mendorong pelaku dan struktur untuk melakukan
korupsi. Hal ini sama halnya dengan kasus korupsi tersebut yakni Artalyta
memanfaatkan uang yang dia miliki untuk melakukan penyuapan terhadap Jaksa Urip
Tri Gunawan untuk kepentingan pribadinya yakni menghentikan penyelidikan kasus
BLBI II, sabaliknya Urip Tri Gunawan juga memanfaatkan profesinya sebagai Jaksa
untuk menghentikan penyidikan kasus Sjamsul Nursalim.
Hal ini dapat terjadi tentu karena
adanya kapitalisme yang dimiliki oleh Artalyta untuk melakukan penyuapan terhadap
Urip Tri Gunawan, demikian halnya juga Urip Tri Gunawan yang memiliki sifat
Materialisme dan merasa belum puas terhadap apa yang dia miliki selama ini
sehingga dia mau menerima suap yang diberikan oleh Artalyta dengan jabatan yang
dia miliki yakni sebagai jaksa. Oleh karena itu untuk kasus ini sebenarnya
diperlukan Political Will dari masing-masing individu baik pemberi suap maupun
penerima suap untuk tidak melakukan hal yang demikian halnya dan ada baiknya
bersyukurlah atas apa yang dimiliki. Jangan ingin cepat kaya tetapi dengan
melakukan cara yang salah yang menguntungkan bagi dirinya sendiri tetapi
merugikan bagi orang lain.
Kesimpulan
Kasus
korupsi menjadi kasus yang sampai saat ini masih sulit untuk diatasi. Korupsi
sendiri dapat terjadi di semua lembaga pemerintahan, mulai dari lembaga
tertinggi hingga kepada lembaga terendah. Berdasarkan beberapa hasil
penyelidikan menunjukkan bahwa lembaga yang paling rentan terhadap korupsi
adalah Lembaga Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung sendiri sebagai pengendali
proses perkara mempunyai kedudukan dan peran sentral dalam penegakan hukum
karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat
diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan bukti-bukti yang sah sebagaimana
ditentukan menurut hukum acara pidana Indonesia . Akan tetapi posisi ataupun
jabatan sebagai seorang Jaksa sering disalahgunakan yakni untuk melindungi
orang yang terjerat dalam sebuah kasus kejahatan. Hal inilah yang menjadi
permasalahan yang dihadapi oleh bangsa dewasa ini dan dalam hal ini diperlukan
political will dari masing-masing struktur.
Sumber Jurnal :
§ Dikutip
dalam : http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1112/1020
Diakses pada 24 Mei 2014 pada pukul 22:18
Sumber Bacaan :
§ Dikutip
dalam : http://andhika16.blogspot.com/2011/12/kewenangan-jaksa-penyelidik-dalam.html
Diakses pada 24 Mei 2014 pada pukul 22:31
§ Dikutip
dalam :
http://www.kontras.org/uu_ri_ham/UU%20Nomor%2016%20Tahun%202004%20tentang%20Kejaksaan%20RI.pdf
Diakses pada 24 Mei 2014 pada pukul 22:47
Dikutip dalam : http://annisampuuy.blogspot.com/2012/12/tugas-dan-wewenang-kejaksaan.html
Diakses pada 24 Mei 2014 pada pukul 23:12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar