Selasa, 04 November 2014

ANALISIS JURNAL : KERENTANAN KEJAKSAAN AGUNG TERHADAP KORUPSI



Nama               : Remina Tarigan
Nim                 : 3122122006
Mata Kuliah    : Sosiologi Korupsi & Sosiologi Hukum


ANALISIS JURNAL :
KERENTANAN KEJAKSAAN AGUNG TERHADAP KORUPSI
*      Analisis Jurnal dari Perspektif Sosiologi Korupsi
            Korupsi sudah menjadi kata yang sudah tidak asing lagi didengar, dilihat, dibaca, bahkan dalam bentuk tertentu dianggap lazim ketika dilakukan. Praktik penyuapan terjadi di semua level birokrasi pemerintahan, mulai dari level terendah hingga level tertinggi. Di level birokrasi terendah dapat terlihat dari praktik-praktik yang terjadi di kelurahan, misalnya ketika pembuatan surat-surat resmi, seperti KTP, kartu keluarga dan lain sebagainya.
            Dimana ketika ada warga masyarakat yang mengurus surat-surat resmi tersebut terkadang mau tidak mau harus melakukan penyuapan terhadap orang-orang yang bersangkutan, sebab bila tidak maka yang sering terjadi adalah lambatnya proses penyelesaian surat-surat yang diperlukan. Hal ini dikarenakan birokrasi yang bekerja dalam bidang kelurahan tersebut belum menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagaimana mestinya dan bahkan mereka sering mengulur-ngulur waktunya untuk mengurus surat tersebut, karena mereka berpikir bahwa surat-surat tersebut pasti akan selesai.
            Seperti yang kita ketahui bahwa selama ini penanganan korupsi masih sulit untuk dilakukan karena korupsi juga dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari lembaga yang seharusnya menindaklanjuti masalah korupsi tersebut, seperti misalnya lembaga-lembaga bagian dari Sistem Peradilan Pidana (SPP). Adapun Lembaga-lembaga tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Badan Peradilan dan Lembaga Penghukuman. Praktik korupsi didalam lembaga peradilan ini memiliki berbagai modus, seperti penyuapan yang dilakukan untuk mengurangi hukuman, perubahan pasal dengan ancaman hukuman berat menjadi pasal yang lebih ringan, dan sebagainya.
            Adapun modus mafia peradilan korupsi seperti yang dikatakan yakni ibarat transaksi jual-beli, dimana penjual merupakan pihak yang mempunyai kewenangan sedangkan pembeli merupakan kelompok yang membutuhkan kemenangan dalam suatu proses hukum. Persoalan korupsi di kalangan aparat penegak hukum sebenarnya bukan masalah baru. Ada korupsi yang dilakukan sejak lama tetapi sukar mengungkapkannya. Di satu pihak, si penegak hukum menegakkan hukum, di lain pihak penegakan hukum akan membongkar aib lembaga itu sendiri. Fakta membuktikan bahwa mafia peradilan sulit diberantas karena maraknya rasa kasihan dari atasan pada bawahan yang sudah terbukti terlibat, birokrasi penanganan yang panjang dan rendahnya integritas pimpinan sehingga pengawasan menjadi tidak efektif.
            Menurut beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang paling rentan terhadap korupsi adalah Kejaksaan Agung. Seperti yang diketahui bahwa Kejaksaan Agung sebagai pengendali proses perkara mempunyai kedudukan dan peran sentral dalam penegakan hukum karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan bukti-bukti yang sah sebagaimana ditentukan menurut hukum acara pidana Indonesia .
            Selain itu, Kejaksaan Agung mempunyai peran yang penting karena pengawasan dan kontrol merupakan suatu hal yang utama di dalam suatu lembaga. Hal ini juga berkaitan dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di dalam lembaga itu sendiri karena jika hal ini dapat dilakukan dengan baik dan benar, maka korupsi di dalam Kejaksaan Agung setidaknya dapat dikurangi karena adanya sikap preventif. Tetapi pada kenyataannya, Kejaksaan Agung tidak menjalankan perannya sebagaimana mestinya karena masih adanya jaksa-jaksa nakal yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan ketika melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya terutama terhadap jaksa yang sedang menangani suatu kasus. Padahal, pengawasan dari teknis penanganan suatu kasus merupakan tanggung jawab dari setiap bidang yang bersangkutan.
            Seperti instansi pemerintah pada umumnya, di Kejaksaan Agung terdapat bagian pengawasan yang disebut pengawasan internal. Akan tetapi pada kenyataannya menunjukkan bahwa, fungsi pengawasan dalam Kejaksaan Agung dianggap belum mampu mencegah terjadinya korupsi di lembaga tersebut dikarenakan lemahnya pengawasan dalam penanganan perkara di Kejaksaan Agung.
            Sebagaimana yang kita ketahui bahwa, penyuapan menjadi salah satu yang termasuk dalam korupsi. Penyuapan merupakan tindakan yang salah karena berupaya mempengaruhi lembaga secara vital. Penyuapan terjadi ketika adanya tawaran keuntungan properti atau personal kepada petugas publik dengan tujuan petugas publik tersebut bertindak sesuai dengan keinginan si pemberi suap ketika petugas publik tersebut menjalankan tugasnya. Umumnya penyuapan berpusat pada orang-orang yang memiliki posisi sebagai pembuat keputusan atau orang-orang yang memiliki kewenangan diskresi. Penyuapan adalah kejahatan yang melawan kepercayaan, kepercayaan terhadap para pembuat keputusan yang memiliki diskresi, penyuapan secara esensial bersifat menghancurkan bagi birokrasi dan struktur pemerintah.
            Adapun contoh kasus yang dijelaskan dalam Jurnal ini yakni penyuapan yang dilakukan oleh Artalyta Suryani terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan. Kasus penyuapan yang dilakukan oleh Artalyta Suryani terhadap Urip Tri Gunawan tersebut merupakan kompensasi atas penyelidikan BLBI II yang hasilnya menyebutkan tidak ada tindak pidana korupsi dalam perkara BDNI milik Sjamsul Nursalim. Karena tidak ditemukan tindak pidana, Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan BLBI.
            Kasus ini termasuk salah satu contoh korupsi, hal ini karena adanya masalah penegakan hukum yaitu Urip sebagai jaksa tidak melaksanakan tugasnya untuk menegakkan hukum yang ditujukan untuk menyelesaikan kasus BLBI II. Penyuapan ini juga dilakukan untuk tidak melanjutkan penyelidikan terhadap kasus BLBI II. Selain itu, hal ini juga melibatkan pekerjaan yang sah yaitu profesi Urip sebagai jaksa yang memiliki peran penting dalam menentukan dilanjutkannya suatu kasus atau tidak.
            Kasus Artalyta Suryani terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan bisa dikatakan sebagai penyuapan karena perbuatan yang dilakukan oleh Artalyta merupakan transaksi yang bersifat timbal-balik yaitu Artalyta memberikan uang sebesar US$ 660.000 sebagai kompensasi agar Urip menghentikan penyelidikan terhadap kasus BLBI II, sehingga perkara BDNI milik Sjamsul Nursalim tidak mendapatkan hukuman pidana.
Adapun penyuapan yang dilakukan oleh Artalyta Suryani terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan terjadi karena adanya kesempatan untuk melakukan kejahatan. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Artalyta Suryani dan Urip Tri Gunawan untuk mencapai tujuannya. Artalyta sebagai individu melakukan tindakan suap terhadap Urip Gunawan selaku Jaksa  untuk kepentingan pribadinya, yaitu menghentikan penyelidikan kasus BLBI II, sementara itu Urip Gunawan menggunakan profesinya sebagai Jaksa untuk menghentikan penyidikan kasus Sjamsul Nursalim.
            Selain itu, hal ini juga berkaitan dengan kontrol dan pengawasan yang lemah dari atasan kepada para bawahannya serta sikap toleransi bisa disebabkan oleh adanya tindakan melindungi sesama pegawai karena merupakan satu institusi, seperti didalam kasus penyuapan Artalyta terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dimana Jampidsus Kemas Yahya Rahman mengetahui adanya penyimpangan dalam penanganan kasus BLBI II tersebut tetapi ia tidak mencegah terjadinya tindakan itu. Jampidsus Kemas Yahya Rahman memberi keterangan bahwa tidak ada kaitan antara perbuatan Urip Tri Gunawan dengan Kejaksaan Agung dan jika tidak terbukti maka kejaksaan siap membela Urip Tri Gunawan.
             Jampidsus Kemas Yahya Rahman membantah kasus dugaan suap yang menjerat mantan jaksa penyelidik kasus BLBI, Urip Tri Gunawan, melibatkan institusi kejaksaan. Jika terbukti bersalah, Kemas bersedia merekomendasikan pemecatan kepada Urip. Namun jika KPK tidak bisa membuktikan dugaan suap, maka kejaksaan siap membela Urip. Seharusnya Kemas Yahya Rahman melakukan pengawasan melekat kepada Urip Tri Gunawan untuk tidak menemui orang-orang yang berkaitan dengan kasus yang sedang ditangani oleh Urip Tri Gunawan, termasuk mencegah menemui Artalyta Suryani yang mempunyai hubungan dengan Sjamsul Nursjalim.   
*      Analisis Jurnal dari Perspektif Sosiologi Hukum
            Pemberantasan tindak pidana korupsi tentunya tidak terlepas dari upaya aparat Penegak Hukum dalam melakukan upaya penegakan hukum di bidang tindak pidana Korupsi. Salah satu lembaga yang diberikan kewenangan dalam melakukan penegakan hukum dalam hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Lembaga Kejaksaan RI. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
            Dalam Pasal 39 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Dalam Pasal ini dimaksudkan Jaksa Agung yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan melakukan penuntutan serta melakukan eksekusi terhadap putusan hakim dalam perkara tindak pidana korupsi.             
Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam bidang pidana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang tertulis :
1)      Melakukan penuntutan;
2)      Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3)      Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
4)      Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
5)      Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) dapat kita lihat bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan memang sangat menentukan dalam membuktikan apakah seseorang atau korporasi terbukti melakukan suatu tindak pidana atau tidak.
Dari analisis Undang-undang yang mengatur tentang Kejaksaan tersebut, bila dikaitkan dengan kasus penyuapan yang dilakukan oleh Artalyta Suryani terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan menunjukkan bahwa kasus korupsi dapat terjadi karena Urip Gunawan selaku jaksa tidak menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 39 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 30 ayat (1) Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam bidang pidana.
            Selain itu, sebagaimana yang dikatakan Peraturan Jaksa No. PER-067/A/JA/07/2007 Tentang Kode Perilaku Jaksa, cenderung masih melindungi kepentingan orang-orang atau citra lembaga tersebut sehingga berdampak pada pemberian sanksi kepada jaksa dan pegawai Kejaksaan Agung lainnya ketika melakukan pelanggaran.
            Hal ini sama seperti contoh kasus penyuapan tersebut, yakni ketika Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman memberi keterangan bahwa tidak ada kaitan antara perbuatan Urip Tri Gunawan dengan Kejaksaan Agung dan jika tidak terbukti maka kejaksaan siap membela Urip Tri Gunawan. Jampidsus Kemas Yahya Rahman membantah kasus dugaan suap yang menjerat mantan jaksa penyelidik kasus BLBI, Urip Tri Gunawan, melibatkan institusi kejaksaan. Jika terbukti bersalah, Kemas bersedia merekomendasikan pemecatan kepada Urip. Namun jika KPK tidak bisa membuktikan dugaan suap, maka kejaksaan siap membela Urip (KPK harus tuntas, 2008).
            Pernyataan Kemas Yahya Rahman menunjukkan adanya tindakan melindungi Urip Tri Gunawan dan citra Kejaksaan Agung itu sendiri dengan mengatakan akan membela Urip Tri Gunawan jika tidak terbukti dan menunjukkan sikap yang tegas untuk memecat Urip Tri Gunawan jika terbukti bersalah. Tetapi seperti yang telah diketahui bahwa Kemas Yahya Rahman terbukti mengetahui tindakan penyuapan ini melalui rekaman pembicaraannya dengan Artalyta Suryani sehingga ia pun dicopot dari jabatannya.  
Ismail Saleh (mantan Jaksa Agung 1981-1983) berpendapat tentang kasus Urip Tri Gunawan bahwa jangan hanya Jaksa Urip saja yang disalahkan, tetapi perlu diteliti sampai sejauh mana Jaksa Agung telah mewujudkan tugas pengawasan secara nyata kepada bawahannya, terutama pada kasus-kasus besar yang ditangani jaksa bawahannya. Dalam melaksanakan pengawasan harus mempunyai kemampuan teknis dan keberanian moral. Ia berpendapat bahwa pengawasan melekat dan pengawasan fungsional hanya dapat berjalan efektif, apabila pimpinan mempunyai keberanian moral untuk menegakkan ketentuan yang berlaku, menerapkan sanksi-sanksi yang tegas terhadap segala penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sebenarnya aturan dan peraturan hukum sudah jelas tercantum dalam Undang-Undang. Mulai dari peraturan yang ditetapkan sampai kepada sanksi yang diberikan jika melanggar suatu aturan yang terdapat dalam hukum. Termasuk Undang-undang yang mengatur tentang kasus Tindak Pidana Korupsi. Hanya saja aturan dan peraturan tersebut masih tetap di langgar oleh pihak-pihak yang melakukan korupsi. Hal ini dikarenakan karena adanya kesempatan dalam memanfaatkan posisi atau jabatan sebagai Jaksa seperti dalam contoh kasus tersebut.
Oleh karena itu untuk mengatasi masalah kasus tersebut agar tidak terulang kembali sebagaiknya para penegak hukum seperti Kejaksaan Agung menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana mestinya. Jangan mudah tergoda dengan banyaknya uang yang disuap seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Karena hal ini berdampak pada kejaksaan itu sendiri, memang awal ketika dia melakukan korupsi hal tersebut bisa saja belum ada yang mengetahui, akan tetapi lama-kelamaan hal tersebut pasti akan terungkap. Sebab sebagaimana sebuah peribahasa mengatakan ‘sepandai-pandainya tupai melompat, lama-lama akan jatuh juga’. Demikian halnya dengan kasus korupsi tersebut, sepandai-pandainya kita menyimpan kejahatan korupsi maka lama-lama akan tercium dan ketahuan juga.
Selain itu, untuk mengatasi hal tersebut yakni dengan cara memberikan sanksi yang tepat sesuai dengan kesalahan korupsi yang telah dilakukan. Sehingga hal ini dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi. Dan yang paling utama diperlukan pelaksanaan dan kepastian hukuman yang jelas untuk diberikan kepada para pelaku dengan tidak adanya toleransi baik itu terhadap Kejaksaan Agung maupun pelaku itu sendiri.
*      Pandangan Teori
1.      Teori Fungsional Struktural - Talcott Parsons
  Dalam teorinya Talcott Parson mengatakan bahwa korupsi dapat terjadi apabila terdapat sebuah sistem yang tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Dalam kaitannya dengan kasus tersebut jelas bahwa kasus korupsi dapat terjadi karena Urip Tri Gunawan  selaku Kejasaan Agung tidak menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana mestinya, seperti yang terdapat dalam Pasal 39 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 30 ayat (1) Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam bidang pidana.
            Oleh karena itu untuk mengatasi kasus korupsi tersebut yakni sebagaiknya Kejaksaan Agung menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana mestinya. Selain itu, sebaiknya hukum lebih ditegakkan dan ditegaskan lagi agar tidak terjadi keberpihakan terhadap para kaum kapitalis yang memiliki kekuasaan. Dan sebagai jaksa hendaklah tidak melindungi orang yang bersalah, karena kalau orang bersalah maka haruslah dihukum sesuai dengan perbuatan yang dia lakukan, bukan malah melindunginya dari kasus hukum yang menjeratnya.
2.      Teori Strukturasi - Anthony Giddens
            Dalam teori strukturasi gidden mengatakan bahwa korupsi dapat terjadi karena adanya kapitalisme dan matrealisme yang mendorong pelaku dan struktur untuk melakukan korupsi. Hal ini sama halnya dengan kasus korupsi tersebut yakni Artalyta memanfaatkan uang yang dia miliki untuk melakukan penyuapan terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan untuk kepentingan pribadinya yakni menghentikan penyelidikan kasus BLBI II, sabaliknya Urip Tri Gunawan juga memanfaatkan profesinya sebagai Jaksa untuk menghentikan penyidikan kasus Sjamsul Nursalim.
            Hal ini dapat terjadi tentu karena adanya kapitalisme yang dimiliki oleh Artalyta untuk melakukan penyuapan terhadap Urip Tri Gunawan, demikian halnya juga Urip Tri Gunawan yang memiliki sifat Materialisme dan merasa belum puas terhadap apa yang dia miliki selama ini sehingga dia mau menerima suap yang diberikan oleh Artalyta dengan jabatan yang dia miliki yakni sebagai jaksa. Oleh karena itu untuk kasus ini sebenarnya diperlukan Political Will dari masing-masing individu baik pemberi suap maupun penerima suap untuk tidak melakukan hal yang demikian halnya dan ada baiknya bersyukurlah atas apa yang dimiliki. Jangan ingin cepat kaya tetapi dengan melakukan cara yang salah yang menguntungkan bagi dirinya sendiri tetapi merugikan bagi orang lain.
*      Kesimpulan
            Kasus korupsi menjadi kasus yang sampai saat ini masih sulit untuk diatasi. Korupsi sendiri dapat terjadi di semua lembaga pemerintahan, mulai dari lembaga tertinggi hingga kepada lembaga terendah. Berdasarkan beberapa hasil penyelidikan menunjukkan bahwa lembaga yang paling rentan terhadap korupsi adalah Lembaga Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung sendiri sebagai pengendali proses perkara mempunyai kedudukan dan peran sentral dalam penegakan hukum karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan bukti-bukti yang sah sebagaimana ditentukan menurut hukum acara pidana Indonesia . Akan tetapi posisi ataupun jabatan sebagai seorang Jaksa sering disalahgunakan yakni untuk melindungi orang yang terjerat dalam sebuah kasus kejahatan. Hal inilah yang menjadi permasalahan yang dihadapi oleh bangsa dewasa ini dan dalam hal ini diperlukan political will dari masing-masing struktur.



Sumber Jurnal :
§  Dikutip dalam : http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1112/1020 Diakses pada 24 Mei 2014 pada pukul 22:18
Sumber Bacaan :
§  Dikutip dalam : http://andhika16.blogspot.com/2011/12/kewenangan-jaksa-penyelidik-dalam.html Diakses pada 24 Mei 2014 pada pukul 22:31
§  Dikutip dalam :
Dikutip dalam : http://annisampuuy.blogspot.com/2012/12/tugas-dan-wewenang-kejaksaan.html Diakses pada 24 Mei 2014 pada pukul 23:12


Tidak ada komentar:

Posting Komentar