Nama
: Remina Tarigan
Nim : 3122122006
Mata
Kuliah : Sosiologi Agraria
1.
Inti
Plasma, Perusahaan Inti Rakyat – Perkebunan (PIRBUN)
a.
Inti
Plasma
Kebun Plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun
oleh perusahaan Inti dengan tanaman perkebunan. Kebijakan
plasma mulai diperkenalkan di indonesia dengan nama PIR (perusahaan inti
rakyat) khusus sejak tahun 1977, dengan nama nucleus estate small holding
(NES), yang diujicobakan pertama kali di daerah Alue merah (D.I. Aceh) dan
Tabalong (Sumatra selatan).
Kemudian pada tahun 1986 mengalami perkembangan
menjadi PIR- transmigrasi, dan terus berlanjut sampai dengan KKPA (Koperasi
Kredit Primer Anggota) pada tahun 1995. Semua pola PIR tersebut merupakan
proyek yang didanai dari pinjaman Bank Dunia, yang mencontoh dari program
kemitraan yang diterapkan di Amerika selatan.
Pemerintah menetapkan bahwa konversi
kebun plasma pada petani setelah tanaman menghasilkan (empat tahun), luasan
kebun 2 ha/kk dan sekarang diperbarui jadi 4 ha/kk, kebun plasma harus sama
standar teknisnya dengan kebun inti. Pada kenyataannya cenderung terjadi
pelanggaran terhadap regulasi pemerintah. Konversi dilakukan setelah lewat umur
antara 6-7 tahun bahkan ada yang belasan tahun.
Di bisnis kelapa sawit pola inti–plasma
perlu berkembang pesat, dan perlu mengembangkan pola inti-plasma yang lebih
harmonis yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Di samping itu dengan
pengusaha nasional sebagai aktor kegiatan agribisnis industri kelapa sawit
diharapkan kebun plasma yang semakin meluas, sehingga nantinya Indonesia akan
menjadi penghasil finished product dan bukan raw material.
Adapun tujuan dan manfaat pembinaan
petani melalui inti plasma bagi perkebunan kelapa sawit,yaitu :
a)
Tujuan
Pembinaan Petani Melalui Inti Plasma
Bagi Perkebuan Kelapa Sawit
ü Tumbuhnya semangat “kebersamaan
ekonomi” petani program kemitraan/petani plasma dalam wadah kelompok kerja
produktif untuk melaksanakan kegiatan yang berkaitan denan pengembangan
agribisnis dan kegiatan ekonomi lainnya di wilayah kebun plasma/kebun
kemitraan.
ü Meningkatkan kemampuan sumber daya
manuasia petani kebun kemitraan/petani plasma dalam aspek teknis budidaya atau
menyerap alih teknologi budidaya kelapa sawit dari Perusahaan Inti.
ü Tumbuhnya kesadaran dan semangat
untuk meningkatkan produktivitas kebun kemitraan, baik hasil maupun rendemen
ü Mempersiapkan organisasi petani
(Kelompok, Koperasi, baik Koperasi Primer maupun Koperasi Sekunder) dalam
mengelola kebun kemitraan/kebun plasma, dan kegiatan perekonomian masyarakat
perkebunan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan di pedesaan dan mampu
berperan secara aktif dalam sistem agribisnis di wilayah perkebunan pola
kemitraan.
b)
Manfaat
Pembinaan Petani Melalui Inti Plasma Bagi Perkebuan Kelapa Sawit
ü Kegiatan budidaya kebun, antara lain
: pemupukan , deteksi hama, pemeliharaan jalan, drainase dan lainnya dapat
diatur dan dikontrol dengan mudah, karena setiap petani saling bekerjasama,
saling percaya dan saling mengawasi antar sesama petani dan menanamkan rasa kebersamaan,
dimana kelemahan seseorang harus ditutupi oleh yang lain agar produksi TBS
optimal dapat dicapai secara bersama.
ü Kegiatan panen dapat diatur dengan
mudah sehingga kualitas buah yang dipanen dapat memenuhi standar dan dapat
menghindari pencurian buah antar sesama petani.
ü Terakumulasinya untuk pemeliharaan
kebun (pupuk, hama dan penyakit, pemeliharaan jalan dan replanting) secara
bersama sehingga menjamin terlaksanannya program pemeliharaan kebun secara
berkelanjutan.
ü Transportasi TBS ke pabrik lancar
karena jadwal panen diatur sedemikian rupa antar kelompok dan jalan dipelihara
secara terus menerus dengan pembiayaan bersama.
ü Pembayaran cicilan kredit akan lebih
merata setiap petani dalam kelompok karena terciptanya kebersamaan ekonomi,
yang menjadi tanggungjawab bersama terhadap seluruh pembiayaan kebun.
b.
Perusahaan
Inti Rakyat (PIR)
Perusahaan Inti adalah perusahaan perkebunan besar,
baik milik swasta maupun milik negara yang ditetapkan sebagai pelaksana proyek
PIR. Sedangkan Perusahaan Inti Rakyat adalah pola
untuk mewujudkan suatu perpaduan usaha dengan sasaran perbaikan keadaan sosial
ekonomi peserta dan didukung oleh suatu sistem pengelolaan usaha dengan
memadukan berbagai kegiatan produksi, pengelolaan dan pemasaran dengan
menggunakan perusahaan besar sebagai inti dalam suatu system kerjasama yang saling menguntungkan (Ditjen Perkebunan,
1986).
Pola Perusahaan Inti Rakyat memanfaatkan perkebunan besar milik negara
dan swasta sebagai inti pengembangan perkebunan rakyat dan dilaksanakan pada areal
bukaan baru, pada areal yang terpencil (remote) dan masih jarang penduduknya.
Pada pola tersebut, perusahaan inti disamping mengusahakan kebunnya sendiri,
berkewajiban membantu petani peserta dalam membangun kebunnya dengan teknologi
maju, melakukan pengolahan serta melakukan pemasaran hasil.
Beberapa masalah yang mengganggu
kelancaran pelaksanaan Perusahaan Inti Rakyat, antara lain sering terjadinya
pelanggaran perjanjian, baik dilakukan oleh perusahaan inti maupun petani
plasma, tidak jelasnya aturan main yang harus disepakati, dan mandulnya fungsi
kontrol lembaga yang ditugaskan untuk hal itu. Masalah alih teknologi yang
berjalan setengah-setengah menyebabkan tingkat produktivitas kebun rendah.
Masalah lain dalam program Perusahaan
Inti Rakyat , terutama pada tahap persiapan dan pembukaan lahan. Ketidakpuasan
masyarakat atas luas dan pembagian lahan dapat melahirkan kecemburuan sosial
dan memicu konflik diantara masyarakat sendiri, serta mepertajaman kesenjangan
ekonomi di masyarakat.
Ditambah lagi latar belakang petani
plasma yang beragam sehingga sering terjadi kejutan dan loncatan budaya, petani
tidak menguasai teknologi produksi, turut menentukan kultur teknis produksi dan
tingkat produktivitas lahan. Pilihan komoditas yang didasari oleh kepentingan
pasar internasional tanpa melihat kepentingan dan keinginan petani.Pada
kenyataannya banyak petani yang terpaksa menjadi petani plasma karena tanah
mereka masuk dalam areal perkebunan besar, sehingga opsi ini terpaksa diambil
ketimbang tidak punya lahan.
c.
Perkebunan
(BUN)
Perkebunan
adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman
tertentu pada tanah
dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem
yang sesuai; mengolah, dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut,
dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
permodalan
serta manajemen
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
Tanaman yang ditanam bukanlah tanaman yang menjadi makanan pokok
maupun sayuran
untuk membedakannya dengan usaha ladang dan hortikultura sayur mayur dan bunga, meski usaha
penanaman pohon buah masih disebut usaha perkebunan. Tanaman yang ditanam
umumnya berukuran besar dengan waktu penanaman yang relatif lama, antara kurang
dari setahun hingga tahunan.
Perkebunan
dibedakan dari agroforestri dan silvikultur
(budidaya hutan) karena sifat intensifnya. Dalam perkebunan pemeliharaan
memegang peranan penting; sementara dalam agroforestri dan silvikultur, tanaman
cenderung dibiarkan untuk tumbuh sesuai kondisi alam. Karena sifatnya intensif,
perkebunan hampir selalu menerapkan cara budidaya monokultur,
kecuali untuk komoditas tertentu, seperti lada dan vanili. Penciri sekunder,
yang tidak selalu berlaku, adalah adanya instalasi pengolahan atau pengemasan
terhadap hasil panen dari lahan perkebunan itu, sebelum produknya dipasarkan.
Perkebunan dibedakan dari usaha tani pekarangan
terutama karena skala usaha dan pasar produknya.
Ukuran
luas perkebunan sangat relatif dan tergantung volume komoditas yang dihasilkan.
Namun demikian, suatu perkebunan memerlukan suatu luas minimum untuk menjaga
keuntungan melalui sistem produksi yang diterapkannya. Kepemilikan lahan bukan
merupakan syarat mutlak dalam perkebunan, sehingga untuk beberapa komoditas berkembang
sistem sewa-menyewa lahan atau sistem pembagian usaha, seperti Perkebunan Inti Rakyat
(PIR).
2.
Politik
Kehutanan
Pengelolaan
hutan di Indonesia secara lebih terarah dan terencana, dimulai dengan
dikeluarkan UU No.5 Tahun 1967 tentang Undang-undang Pokok Kehutanan atau
disingkat UUPK. Akan tetapi sebenarnya politik dan kebijakan kehutanan sudah dimulai
jauh sebelum kemerdekaan tahun 1945, yakni zaman kolonia Belanda, yang arah
politik dan kebijakan mengarah pada kepentingan penguasa colonial..
Penguasaan
sumber daya hutan oleh Negara, termasuk hutan sebagai sumber kehidupan
sehari-hari masyarakat mulai sangat penting setelah dikeluarkan Reglement Hutan
No.6 Tahun 1865. Menurut Simon (1993), dengan ditentukan batas kawasan yang
ditetapkan Belanda berdasarkan “Domeinverklaring” pada tahun 1870, sebenarnya
justru berhasil menyelamatkan kawasan hutan di Jawa hingga seperti sekarang ini
( meliputi 22% dari luar daratan Jawa). “Domeinverklaring” pada intinya, yaitu,
bahwa semua tanah yang dimiliki pihak lain (individu dan komunal) jika tidak
dapat membuktikan tanah ( eigendomnya), merupakan domein (dikuasai ) oleh
Negara.
Perkembangan
politik dan kebijakan kehutanan selanjutnya seiring dengan perkembangan
perkebunan besar diluar Jawa, khususnya tanaman karet di Sumatera, yang
ditandai dengan banyak masyarakat Jawa dikirim dan dipekerjakan sebagai kuli
diperkebunan-perkebunan besar diluar Jawa (Konentjaraningrat, 1982). Dengan
demikian secara administrasi sektor perkebunan menjadi satu dengan kehutanan,
sebelum akhirnya dipisahkan awal abad ke-20.
Di
masa kolonial Belanda ada beberapa hal positip kebijakan di bidang kehutanan
antara lain: lahirnya jawatan kehutanan, pembentukan lembaga penelitian
kehutanan, dan penerbitan berbagai kebijakan (khususnya Jawa dan Madura), hanya
saja sangat disayangkan, bahwa akhir politik kehutanan kolonia belanda pada
akhir tahun 40-an ditandai dengan politik bumi hangus. Yang berakibat pada ke
rusakan sumber daya hutan dan timbulnya penyerobotan tanah dibeberapa tempat .
Politik
dan kebijakan kehutanan untuk luar Jawa, semakin tidak jelas pada masa
penjajahan Jepang, bukan ditata tetapi hutan-hutan yang ada khususnya di Jawa
justru dijadikan sebagai basis atau dimanfaatkan bagi kepentingan perang untuk
mendukung industry persenjataan dan bahan baku pembuatan kapal. Banyak arel
hutan dialihkan keareal pertaniaan, guna menjamin ketersedian pangan bagi para
serdadunya.
Setelah
revolusi fisik hingga awal orde baru pada pertengahan tahun 60-an, pembenahan
administrasi kehutanan dan upaya-upaya pemanfaatan hutan bagi usaha dalam
rangka meningkatkan perekonomian Negara baru dimulai. Dalam perkembangan mulai
dibentuknya Jawatan Kehutanan Republic Indonesia (dibawah Menetri Pertanian),
yang pada tahun 1964 menjadi Depertemen Kehutanan (Keppres No. 170 Tahun 1966),
dilakukan perintis pendirian industry perkayuan diluar Jawa (Kalimanatan) dan
rancangan untuk membangun hutan industry. Untuk desentralisasi dalam hubungan
dengan pengelolaan kehutanan keluarlah PP No.54 Tahun 1957.
UU
No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, merupakan undang-undang yang tidak
ada hubungan dengan kebijakan kehutanan, namun sangat mempengaruhi dalam
pengusahaan hutan. Melalui pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyebutkan, “ Bumi dan
air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini memperjelas posisi
Negara sebagai penguasa sumber daya hutan, termasuk hutan. Kemudian pada pasal
2 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960, tegas bahwa, “ atas dasar pasal 33 ayat (3) UUD
1945 dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Perubahan
kekuasaan dari orde lama ke orde baru, dengan keluarnaya UU No.1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing dan UU No.6 Tahunb 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri, serta UU No.5 Tahun 1967. Telah terjadi perubahan pada masyarakat
local sekitar hutan pada waktu itu, sebagai contoh di Kalimantan Timur, bahwa
eksploitasi hutan dimulai dengan bebas, mencapai puncaknya pada saat “ banjir
kap” ( Timber boom) ditahun 1965-1970 . Dari studi walhi Kaltim 1993, pada saat
itu tidak hanya petani yang meninggalkan usaha ladangnya, tetapi juga banyak
PNS yang meninggalkan tugasnya untuk beralih profesi kebidang perkayuan. Efek
positipnya banjir kap telah member keuntungan dan kemakmuran sesaat pada
kehidupan perekonomian masyarakat sekitar hutan. Banjir kap mulai surut dengan
adanya PP no.21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).
Dalam
pola HPH dan HPHH, selanjutnya politik dan kebijakan kehutanan, mulai didukung
dengan aspek perlindungan alam, ditandai keluarnya UU No.5 Tahun 1990 tentang
Keanekaragaman Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No.4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.Perubahan UU No. 22 Tahun 1999 Jo UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dan UU No.25 Tahun 1999 jo UU No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Ini juga ada perubahan dibidang
Undang-undang kehutanan dengan keluarnya UU No.41 Tahun 1999 jo UU No.19 Tahun
2004 tentang Kehutanan.
Adanya
perubahan kebijakan dan perubahan UU kehutanan, sebenar lebih lengkap, namun
dalam pelaksanaan kebijakaan kehutanan yang ada, membuat hutan kita semakin
hancur. Kedepan semua pimpinan anak bangsa mulai bijak dalam mengambil
keputusan dan memandang hutan, sebagai sumber daya alam yang perlu dilestarikan
demi kepentingan anak cucu kita.
3.
Upaya
Pemerintah Mengurangi Eksploitasi kehutanan
Eksploitasi
(bahasa
Inggris: exploitation) berarti politik pemanfaatan yang
secara sewenang-wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek
eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi
semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan
serta kompensasi kesejahteraan.
Adapun
upaya pemerintah untuk mengurangi ekploitasi hutan adalah sebagai berikut :
ü Pemerintah harus segera melakukan
pemulihan terhadap kerusakan hutan untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan
yang lebih parah. mengajak seluruh lapisan masyarakat, dari kalangan individu,
kelompok maupun organisasi perlu secara serentak mengadakan reboisasi hutan
dalam rangka penghijauan hutan kembali sehingga pada 10 – 15 tahun ke depan
kondisi hutan Indonesia dapat kembali seperti sedia kala.
ü Pemerintah harus menerapkan
cara-cara baru dalam penanganan kerusakan hutan. Pemerintah mengikutsertakan
peran serta masyarakat terutama peningkatan pelestarian dan pemanfaatan hutan
alam berupa upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan
latihan serta rekayasa kehutanan.
ü Pemerintah harus melakukan
pencegahan dan peringanan. Pencegahan di sini dimaksud kegiatan penyuluhan /
penerangan kepada masyarakat lokal akan penting menjaga fungsi dan manfaat
hutan agar dapat membantu dalam menjaga kelestarian hutan dan penegakan hukum
yang tegas oleh aparat penegak hukum, POLRI yang dibantu oleh POL HUT dalam
melaksanakan penyelidikan terhadap para oknum pemerintahan daerah atau desa
yang menyalahgunakan wewenang untuk memperdagangkan kayu pada hutan lindung
serta menangkap dan melakukan penyidikan secara tuntas terhadap para cukong –
cukong kayu yang merugikan negara trilyunan rupiah setiap tahunnya.
ü Adanya kesiapsiagaan yang
berlangsung selama 24 jam terhadap penjagaan terhadap kelestarian hutan ini.
Pemerintah harus melaksanakan pengawasan dan pengendalian secara rutin dan
situasional terhadap segala hal yang berkaitan adanya informasi kerusakan hutan
yang didapatkan melalui media massa cetak maupun elektronik ataupun informasi
yang berasal dari masyarakat sendiri.
4.
Landreform
a.
Pengertian
Landreform
Secara
harfiah, perkataan Landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu; Land artinya
Tanah dan Reform artinya Perubahan, perombakan. Namun menurut Prof. Arie
Sukanti Hutagalung, bila kita mencoba menerjemahkan definisi Landreform secara harfiah, kita
akan menghadapi suatu hal yang membingungkan, karena istilah Land itu sendiri
mempunyai arti yang berbagai macam. Sedangkan istilah Reform berarti mengubah
dan terutama mengubah kearah yang lebih baik. Jadi Landreform berkaitan dengan
perubahan struktur secara institusional yang mengatur hubungan manusia dengan
tanah.
Landreform adalah sebuah upaya yang secara sengaja
bertujuan untuk merombak dan mengubah system agraria yang ada dengan maksud
untuk meningkatkan distribusi pendapatan pertanian dan dengan demikian
mendorong pembangunan pedesaan. Diantara berbagai bentuk reformasi tanah / landreform
mungkin memerlukan pemberi hak-hak kepemilikan yang dijaminkan kepada petani
atau individu-individu msyarakat, land reform dapat juga diartikan sebagai
pengalihan kepemilikan tanah yang terkadang dalam penggunaanya untuk perkebunan
membangun pertanian kecil pemukiman yang biasanya untuk kepentingan masyarakat.
Prof. Boedi
Harsono, memberikan perbedaan Landreform dalam arti luas dan land Reform dalam arti sempit. UUPA bukan hanya memuat
ketentuan-ketentuan mengenai perombakan hukum agraria, melainkan memuat juga
lain-lain pokok persoalan agraria serta penyelesaiannya. Penyelesaian
persoalan-persoalan tersebut pada waktu terbentuknya UUPA, merupakan program
revolusi dibidang agraria, yang disebut Agrarian Reform Indonesia. Landreform
dalam arti sempit, adalah merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian
Reform Indonesia. Dalam tulisan ini, yang dipergunakan adalah pengertian
landreform dalam arti sempit, yaitu meliputi perombakan mengenai pemilikan dan
penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan
penguasaanya.
b.
Prinsip dan
Landasan Landreform
ü Prinsip-Prinsip
Landreform
Di Indonesia prinsip dan landasan landreform
beralasan Prinsip Hak Menguasai dari Negara. Sementara pemerintah melalui Program
Pembaruan Agraria Nasional(PPAN) Kepala BPN RI juga menekankan empat prinsip di
dalam menjalankan kebijakan, program dan proses pengelolaan pertanahan di masa
depan, yaitu (Winoto dalam Napiri M et.al.,
2006b) :
1)
Pertanahan berkontribusi secara nyata
untuk meningkatkan kesejahteraanrakyat, penciptaan sumber-sumber baru
kemakmuran rakyat, pengurangankemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta
pemantapan ketahanan pangan.( Pro sperity)
2)
Pertanahan berkontribusi secara nyata
dalam peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan
bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (P4T). ( E quity)
3)
Pertanahan berkontribusi secara nyata
untuk mewujudkan tatanan kepastianyang harus dijaga kehidupan bersama yang
harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara
pertanahan di seluruh tanah air dan penataan perangkat hukum dan sistem
pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan
perkara di kemudian hari. ( Social Welfare)
4)
Pertanahan berkontribusi secara nyata
bagi terciptanya keberlanjutan sistemkemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan
Indonesia dengan memberikanakses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang
terhadap tanah sebagaisumber kesejahteraan masyarakat. (Sustainability).
Landasan ideal landreform di Indonesia adalah
pancasila karena pancasila merupakan ideologi, cara pandang bangsa dan rakyat
Indonesia. Dengan landreform diatur siapa-siapa yang berhak mempunyai
hak milik, pembatasan luas minimal dan maksimal luas tanah, pencegahan tanah
menjadi terlantar dan tanda bukti pemelikan atas tanah ( Fauzi 1999). Jika
diperinci, landasan landreform
antara lain:
ü Adalah hak
negara untuk menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia yang bersumber dari
pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Hak menguasai dari negara bukan hak pemilikan dari
negara (kolonial) seperti asas domain, tetapi sama dengan hak ulayat dalam
hukum adat. Negara diberi wewenang untuk mengatur antara lain kekayaan itu
mensejahterakan rakyat, antara lain dengan mengatur peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa(pasal 2 UUPA).
ü Memberikan
kewenangan pada negara untuk mengeluarkan tanda bukti pemilikan tanah. Pemegang
hak atas tanah hanya warga WNI tanpa membedakan jenis kelamin, sedangkan WNA
tidak diberi hak demikian (prinsip nasionalitas pasal 9 jo 21 ayat 1 UUPA).
Pasal tersebut membatasi kewenangan warga negara asing untuk menguasai tanah Indonesia.
Hal ini untuk mencegah beralihnya keuntungan SDA Indonesia.
ü Luas tanah
dengan status hak milik dibatasi luasnya, luas minimal maupun maksimal
pemilikan tanah dibatasi agar tidak tumbuh lagi tuan tanah yang menghisap
tenaga kerja petani melalui sistem persewaan tanah atau gadai tanah (pasal 7 jo
pasal 17 UUPA). Pengaturan ini ditujukan agar keluarga petani tidak hidup dari
luas tanah yang kecil. Pemilikan tanah yang terlalu kecil, tidak hanya
berakibat kecilnya pendapatan pemilikannya, juga secara nasional merugikan
karena rendahnya produktivitas (pasal 13 jo pasal 17 UUPA).
ü Pemilik hak
atas tanah haruslah menggarap sendiri tanahnya secara aktif (pasal 10 UUPA)
sehingga dapat bermanfaat bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat banyak. UUPA
melarang pemilik tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri oleh pemiliknya
karena akan menimbulkan tanah terlantar (tanah guntai/absentee) atau
meluasnya hubungan buruh tani dan pemilik tanah yang mempunyai kecenderungan
yang memeras pasal 10 ayat(1) jo pasal 11 ayat(1)).
ü Panitia landreform
akan mendaftar mereka yang mendapatkan pemilikan tanah, untuk selanjutnya
mereka akan diberikan suatu tanda bukti pemilikan hak atas tanah. Alat bukti
pemilikan itu, maka menjamin kepastian hukum atas tanah.
c. Program
Landreform
v Distribusi
Tanah
Distribusi tanah menurut Undang-undang No 56 prp
tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian belum berjalan sebagaimana
mestinya. Pasal 2 ayat 1 jumlah tanah pertanian yang dapat dimilik keluarga
dengan jumlah anggota keluarga 7 orang atau lebih untuk daerah tidak padat
adalah maksimum 20 hektar. Pasal 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa bagi
keluarga yang menguasai tanah pertanian yang luasnya lebih dari luas maksimum wajib melaporkan kepada
Kepala Agraria daerah/Kota dalam waktu 3 bulan.
Dalam kenyataan ketentuan “land reform” terhadap
tanah feodal belum terlaksana dengan baik,di beberapa daerah masih terdapat
tuan tanah yang berasal dari golongan bangsawan, sebagai contoh tanah-tanah di
desa Takkatidung Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar, adalah berasal
dari tanah pertanian feodal yang luasnya kurang lebih mencapai ratusan hektar.
Penguasaan secara yuridis masih berada pada
keluarga tuan tanah belum tersentuh ketentuan “land reform”. Namun penguasaan
secara fisik tanah-tanah tersebut telah
ditempati oleh penduduk atau rakyat kecil selama berpuluh-puluh tahun tanpa
surat kepemilikan tanah. Tanah tuan tanah tersebut konon berasal dari tanah
kerajaan atau tanah feodal. Rakyat menempati tanah-tanah tersebut hanya bersifat
sementara dan tidak mempunyai jaminan kepastian hukum. Kesulitan yang dialami
penduduk yang menempati tanah pertanian feodal yang berubah fungsi menjadi
tanah kapling terjadi bila tuan tanah memerlukan tanahnya, maka yang
bersangkutan harus meninggalkan tempat itu tanpa ganti rugi, walaupun mereka
sudah menempati tanah tersebut berpuluh
tahun lamanya.
Contoh lain tanah negara yang berasal dari
perkebunan kelapa kepunyaan orang Belanda di desa Darma yang mencapai ratusan
hektar, secara yuridis (kepemilikan sertifikat) berada pada tangan tuan tanah
(keluarga Baco Sugi), tetapi secara fisik dikuasai penggarap. Tanah ini menjadi
tanah sengketa selama berpuluh-puluh tahun yang sudah mendapat putusan Mahkamah
Agung sebagai putusan hukum yang berlaku tetap, namun tidak dapat dieksekusi.
v Bukti kepemilikan Tanah
Pengaturan Bukti kepemilikan tanah sebagaimana
yang diatur dalam pasal 16 Undang Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960, yaitu
berupa sertifikat Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa,
hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lainnya belum dapat
terlaksana dengan baik, sebagai contoh tanah-tanah penduduk masyarakat pesisir
atau nelayan yang menduduki tanah negara sebagian besar tidak memiliki
surat-surat hak kepemilikan, karena adanya ketentuan dari Badan Pertanahan
Nasional bahwa tanah yang bisa dibuatkan sertifikat minimal jaraknya 200 meter
dari bibir pantai, sedangkan nelayan membuat rumah mereka ditepi pantai kurang
dari 200 meter guna memudahkan mereka turun kelaut. Permasalahan timbul bila
ada program pemerintah berupa perbaikan rumah nelayan yang mensyaratkan
penguasaan secara yuridis atau adanya bukti-bukti kepemilikan tanah kapling
perumahan nelayan.
d. Tujuan
Landreform
Di Indonesia pelaksanaan landreform berlandaskan
kepada Pancasila dan UUD 1945 yang terwujud di dalam satu rangkaian kegiatan
bidang pertanahan. Kemudian dikatakan bahwa Landreform bertujuan untuk
memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia
terutama kaum tani.Secara umum tujuan Landreform adalah untuk mewujudkan
penguasaan dan pemilikan tanah secara adil dan merata guna meningkatkan
kesejahteraan rakyat khususnya petani. Secara terperinci tujuan landreform di
Indonesia adalah :
Untuk
mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa
tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak
struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan
sosial.
Untuk
melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai
obyek spekulasi dan alat pemerasan.
Untuk
memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara
Indonesia yang berfungsi sosial.
Untuk
mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah
secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas
maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Dengan demikian mengikis pula
sistem liberalisme dan kapitalime atas tanah dan memberikan perlindungan
terhadap golongan ekonomis yang lemah.
Untuk
mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang
intensif secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong-royong
lainnya.
Sumber Pustaka :