Senin, 11 November 2013

Pirbun,Politik Kehutanan,Landreform




Nama               : Remina Tarigan
Nim                  : 3122122006
Mata Kuliah      : Sosiologi Agraria

1.         Inti Plasma, Perusahaan Inti Rakyat – Perkebunan (PIRBUN)
a.       Inti Plasma
Kebun Plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan Inti dengan tanaman perkebunan. Kebijakan plasma mulai diperkenalkan di indonesia dengan nama PIR (perusahaan inti rakyat) khusus sejak tahun 1977, dengan nama nucleus estate small holding (NES), yang diujicobakan pertama kali di daerah Alue merah (D.I. Aceh) dan Tabalong (Sumatra selatan).
Kemudian pada tahun 1986 mengalami perkembangan menjadi PIR- transmigrasi, dan terus berlanjut sampai dengan KKPA (Koperasi Kredit Primer Anggota) pada tahun 1995. Semua pola PIR tersebut merupakan proyek yang didanai dari pinjaman Bank Dunia, yang mencontoh dari program kemitraan yang diterapkan di Amerika selatan.
Pemerintah menetapkan bahwa konversi kebun plasma pada petani setelah tanaman menghasilkan (empat tahun), luasan kebun 2 ha/kk dan sekarang diperbarui jadi 4 ha/kk, kebun plasma harus sama standar teknisnya dengan kebun inti. Pada kenyataannya cenderung terjadi pelanggaran terhadap regulasi pemerintah. Konversi dilakukan setelah lewat umur antara 6-7 tahun bahkan ada yang belasan tahun.
Di bisnis kelapa sawit pola inti–plasma perlu berkembang pesat, dan perlu mengembangkan pola inti-plasma yang lebih harmonis yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Di samping itu dengan pengusaha nasional sebagai aktor kegiatan agribisnis industri kelapa sawit diharapkan kebun plasma yang semakin meluas, sehingga nantinya Indonesia akan menjadi penghasil finished product dan bukan raw material.
Adapun tujuan dan manfaat pembinaan petani melalui inti plasma bagi perkebunan kelapa sawit,yaitu :
a)      Tujuan Pembinaan Petani Melalui Inti Plasma  Bagi Perkebuan Kelapa Sawit
ü Tumbuhnya semangat “kebersamaan ekonomi” petani program kemitraan/petani plasma dalam wadah kelompok kerja produktif untuk melaksanakan kegiatan yang berkaitan denan pengembangan agribisnis dan kegiatan ekonomi lainnya di wilayah kebun plasma/kebun kemitraan.
ü Meningkatkan kemampuan sumber daya manuasia petani kebun kemitraan/petani plasma dalam aspek teknis budidaya atau menyerap alih teknologi budidaya kelapa sawit dari Perusahaan Inti.
ü Tumbuhnya kesadaran dan semangat untuk meningkatkan produktivitas kebun kemitraan, baik hasil maupun rendemen
ü Mempersiapkan organisasi petani (Kelompok, Koperasi, baik Koperasi Primer maupun Koperasi Sekunder) dalam mengelola kebun kemitraan/kebun plasma, dan kegiatan perekonomian masyarakat perkebunan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan di pedesaan dan mampu berperan secara aktif dalam sistem agribisnis di wilayah perkebunan pola kemitraan.
b)     Manfaat Pembinaan Petani Melalui Inti Plasma  Bagi Perkebuan Kelapa Sawit
ü Kegiatan budidaya kebun, antara lain : pemupukan , deteksi hama, pemeliharaan jalan, drainase dan lainnya dapat diatur dan dikontrol dengan mudah, karena setiap petani saling bekerjasama, saling percaya dan saling mengawasi antar sesama petani dan menanamkan rasa kebersamaan, dimana kelemahan seseorang harus ditutupi oleh yang lain agar produksi TBS optimal dapat dicapai secara bersama.
ü Kegiatan panen dapat diatur dengan mudah sehingga kualitas buah yang dipanen dapat memenuhi standar dan dapat menghindari pencurian buah antar sesama petani.
ü Terakumulasinya untuk pemeliharaan kebun (pupuk, hama dan penyakit, pemeliharaan jalan dan replanting) secara bersama sehingga menjamin terlaksanannya program pemeliharaan kebun secara berkelanjutan.
ü Transportasi TBS ke pabrik lancar karena jadwal panen diatur sedemikian rupa antar kelompok dan jalan dipelihara secara terus menerus dengan pembiayaan bersama.
ü Pembayaran cicilan kredit akan lebih merata setiap petani dalam kelompok karena terciptanya kebersamaan ekonomi, yang menjadi tanggungjawab bersama terhadap seluruh pembiayaan kebun.
b.       Perusahaan Inti Rakyat (PIR)
Perusahaan Inti adalah perusahaan perkebunan besar, baik milik swasta maupun milik negara yang ditetapkan sebagai pelaksana proyek PIR. Sedangkan Perusahaan Inti Rakyat adalah pola untuk mewujudkan suatu perpaduan usaha dengan sasaran perbaikan keadaan sosial ekonomi peserta dan didukung oleh suatu sistem pengelolaan usaha dengan memadukan berbagai kegiatan produksi, pengelolaan dan pemasaran dengan menggunakan perusahaan besar sebagai inti dalam suatu system kerjasama yang  saling menguntungkan (Ditjen Perkebunan, 1986).
Pola Perusahaan Inti Rakyat  memanfaatkan perkebunan besar milik negara dan swasta sebagai inti pengembangan perkebunan rakyat dan dilaksanakan pada areal bukaan baru, pada areal yang terpencil (remote) dan masih jarang penduduknya. Pada pola tersebut, perusahaan inti disamping mengusahakan kebunnya sendiri, berkewajiban membantu petani peserta dalam membangun kebunnya dengan teknologi maju, melakukan pengolahan serta melakukan pemasaran hasil.
Beberapa masalah yang mengganggu kelancaran pelaksanaan Perusahaan Inti Rakyat, antara lain sering terjadinya pelanggaran perjanjian, baik dilakukan oleh perusahaan inti maupun petani plasma, tidak jelasnya aturan main yang harus disepakati, dan mandulnya fungsi kontrol lembaga yang ditugaskan untuk hal itu. Masalah alih teknologi yang berjalan setengah-setengah menyebabkan tingkat produktivitas kebun rendah.
Masalah lain dalam program Perusahaan Inti Rakyat , terutama pada tahap persiapan dan pembukaan lahan. Ketidakpuasan masyarakat atas luas dan pembagian lahan dapat melahirkan kecemburuan sosial dan memicu konflik diantara masyarakat sendiri, serta mepertajaman kesenjangan ekonomi di masyarakat.
Ditambah lagi latar belakang petani plasma yang beragam sehingga sering terjadi kejutan dan loncatan budaya, petani tidak menguasai teknologi produksi, turut menentukan kultur teknis produksi dan tingkat produktivitas lahan. Pilihan komoditas yang didasari oleh kepentingan pasar internasional tanpa melihat kepentingan dan keinginan petani.Pada kenyataannya banyak petani yang terpaksa menjadi petani plasma karena tanah mereka masuk dalam areal perkebunan besar, sehingga opsi ini terpaksa diambil ketimbang tidak punya lahan.
c.       Perkebunan (BUN)
Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai; mengolah, dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Tanaman yang ditanam bukanlah tanaman yang menjadi makanan pokok maupun sayuran untuk membedakannya dengan usaha ladang dan hortikultura sayur mayur dan bunga, meski usaha penanaman pohon buah masih disebut usaha perkebunan. Tanaman yang ditanam umumnya berukuran besar dengan waktu penanaman yang relatif lama, antara kurang dari setahun hingga tahunan.
Perkebunan dibedakan dari agroforestri dan silvikultur (budidaya hutan) karena sifat intensifnya. Dalam perkebunan pemeliharaan memegang peranan penting; sementara dalam agroforestri dan silvikultur, tanaman cenderung dibiarkan untuk tumbuh sesuai kondisi alam. Karena sifatnya intensif, perkebunan hampir selalu menerapkan cara budidaya monokultur, kecuali untuk komoditas tertentu, seperti lada dan vanili. Penciri sekunder, yang tidak selalu berlaku, adalah adanya instalasi pengolahan atau pengemasan terhadap hasil panen dari lahan perkebunan itu, sebelum produknya dipasarkan. Perkebunan dibedakan dari usaha tani pekarangan terutama karena skala usaha dan pasar produknya.
Ukuran luas perkebunan sangat relatif dan tergantung volume komoditas yang dihasilkan. Namun demikian, suatu perkebunan memerlukan suatu luas minimum untuk menjaga keuntungan melalui sistem produksi yang diterapkannya. Kepemilikan lahan bukan merupakan syarat mutlak dalam perkebunan, sehingga untuk beberapa komoditas berkembang sistem sewa-menyewa lahan atau sistem pembagian usaha, seperti Perkebunan Inti Rakyat (PIR).
2.      Politik Kehutanan
Pengelolaan hutan di Indonesia secara lebih terarah dan terencana, dimulai dengan dikeluarkan UU No.5 Tahun 1967 tentang Undang-undang Pokok Kehutanan atau disingkat UUPK. Akan tetapi sebenarnya politik dan kebijakan kehutanan sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan tahun 1945, yakni zaman kolonia Belanda, yang arah politik dan kebijakan mengarah pada kepentingan penguasa colonial..
Penguasaan sumber daya hutan oleh Negara, termasuk hutan sebagai sumber kehidupan sehari-hari masyarakat mulai sangat penting setelah dikeluarkan Reglement Hutan No.6 Tahun 1865. Menurut Simon (1993), dengan ditentukan batas kawasan yang ditetapkan Belanda berdasarkan “Domeinverklaring” pada tahun 1870, sebenarnya justru berhasil menyelamatkan kawasan hutan di Jawa hingga seperti sekarang ini ( meliputi 22% dari luar daratan Jawa). “Domeinverklaring” pada intinya, yaitu, bahwa semua tanah yang dimiliki pihak lain (individu dan komunal) jika tidak dapat membuktikan tanah ( eigendomnya), merupakan domein (dikuasai ) oleh Negara.
Perkembangan politik dan kebijakan kehutanan selanjutnya seiring dengan perkembangan perkebunan besar diluar Jawa, khususnya tanaman karet di Sumatera, yang ditandai dengan banyak masyarakat Jawa dikirim dan dipekerjakan sebagai kuli diperkebunan-perkebunan besar diluar Jawa (Konentjaraningrat, 1982). Dengan demikian secara administrasi sektor perkebunan menjadi satu dengan kehutanan, sebelum akhirnya dipisahkan awal abad ke-20.
Di masa kolonial Belanda ada beberapa hal positip kebijakan di bidang kehutanan antara lain: lahirnya jawatan kehutanan, pembentukan lembaga penelitian kehutanan, dan penerbitan berbagai kebijakan (khususnya Jawa dan Madura), hanya saja sangat disayangkan, bahwa akhir politik kehutanan kolonia belanda pada akhir tahun 40-an ditandai dengan politik bumi hangus. Yang berakibat pada ke rusakan sumber daya hutan dan timbulnya penyerobotan tanah dibeberapa tempat .
Politik dan kebijakan kehutanan untuk luar Jawa, semakin tidak jelas pada masa penjajahan Jepang, bukan ditata tetapi hutan-hutan yang ada khususnya di Jawa justru dijadikan sebagai basis atau dimanfaatkan bagi kepentingan perang untuk mendukung industry persenjataan dan bahan baku pembuatan kapal. Banyak arel hutan dialihkan keareal pertaniaan, guna menjamin ketersedian pangan bagi para serdadunya.
Setelah revolusi fisik hingga awal orde baru pada pertengahan tahun 60-an, pembenahan administrasi kehutanan dan upaya-upaya pemanfaatan hutan bagi usaha dalam rangka meningkatkan perekonomian Negara baru dimulai. Dalam perkembangan mulai dibentuknya Jawatan Kehutanan Republic Indonesia (dibawah Menetri Pertanian), yang pada tahun 1964 menjadi Depertemen Kehutanan (Keppres No. 170 Tahun 1966), dilakukan perintis pendirian industry perkayuan diluar Jawa (Kalimanatan) dan rancangan untuk membangun hutan industry. Untuk desentralisasi dalam hubungan dengan pengelolaan kehutanan keluarlah PP No.54 Tahun 1957.
UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, merupakan undang-undang yang tidak ada hubungan dengan kebijakan kehutanan, namun sangat mempengaruhi dalam pengusahaan hutan. Melalui pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyebutkan, “ Bumi dan air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini memperjelas posisi Negara sebagai penguasa sumber daya hutan, termasuk hutan. Kemudian pada pasal 2 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960, tegas bahwa, “ atas dasar pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Perubahan kekuasaan dari orde lama ke orde baru, dengan keluarnaya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No.6 Tahunb 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, serta UU No.5 Tahun 1967. Telah terjadi perubahan pada masyarakat local sekitar hutan pada waktu itu, sebagai contoh di Kalimantan Timur, bahwa eksploitasi hutan dimulai dengan bebas, mencapai puncaknya pada saat “ banjir kap” ( Timber boom) ditahun 1965-1970 . Dari studi walhi Kaltim 1993, pada saat itu tidak hanya petani yang meninggalkan usaha ladangnya, tetapi juga banyak PNS yang meninggalkan tugasnya untuk beralih profesi kebidang perkayuan. Efek positipnya banjir kap telah member keuntungan dan kemakmuran sesaat pada kehidupan perekonomian masyarakat sekitar hutan. Banjir kap mulai surut dengan adanya PP no.21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).
Dalam pola HPH dan HPHH, selanjutnya politik dan kebijakan kehutanan, mulai didukung dengan aspek perlindungan alam, ditandai keluarnya UU No.5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No.4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.Perubahan UU No. 22 Tahun 1999 Jo UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.25 Tahun 1999 jo UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Ini juga ada perubahan dibidang Undang-undang kehutanan dengan keluarnya UU No.41 Tahun 1999 jo UU No.19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
Adanya perubahan kebijakan dan perubahan UU kehutanan, sebenar lebih lengkap, namun dalam pelaksanaan kebijakaan kehutanan yang ada, membuat hutan kita semakin hancur. Kedepan semua pimpinan anak bangsa mulai bijak dalam mengambil keputusan dan memandang hutan, sebagai sumber daya alam yang perlu dilestarikan demi kepentingan anak cucu kita.
3.      Upaya Pemerintah Mengurangi Eksploitasi kehutanan
Eksploitasi (bahasa Inggris: exploitation) berarti politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.

            Adapun upaya pemerintah untuk mengurangi ekploitasi hutan adalah sebagai berikut :
ü Pemerintah harus segera melakukan pemulihan terhadap kerusakan hutan untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah. mengajak seluruh lapisan masyarakat, dari kalangan individu, kelompok maupun organisasi perlu secara serentak mengadakan reboisasi hutan dalam rangka penghijauan hutan kembali sehingga pada 10 – 15 tahun ke depan kondisi hutan Indonesia dapat kembali seperti sedia kala.
ü Pemerintah harus menerapkan cara-cara baru dalam penanganan kerusakan hutan. Pemerintah mengikutsertakan peran serta masyarakat terutama peningkatan pelestarian dan pemanfaatan hutan alam berupa upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan latihan serta rekayasa kehutanan.
ü Pemerintah harus melakukan pencegahan dan peringanan. Pencegahan di sini dimaksud kegiatan penyuluhan / penerangan kepada masyarakat lokal akan penting menjaga fungsi dan manfaat hutan agar dapat membantu dalam menjaga kelestarian hutan dan penegakan hukum yang tegas oleh aparat penegak hukum, POLRI yang dibantu oleh POL HUT dalam melaksanakan penyelidikan terhadap para oknum pemerintahan daerah atau desa yang menyalahgunakan wewenang untuk memperdagangkan kayu pada hutan lindung serta menangkap dan melakukan penyidikan secara tuntas terhadap para cukong – cukong kayu yang merugikan negara trilyunan rupiah setiap tahunnya.
ü Adanya kesiapsiagaan yang berlangsung selama 24 jam terhadap penjagaan terhadap kelestarian hutan ini. Pemerintah harus melaksanakan pengawasan dan pengendalian secara rutin dan situasional terhadap segala hal yang berkaitan adanya informasi kerusakan hutan yang didapatkan melalui media massa cetak maupun elektronik ataupun informasi yang berasal dari masyarakat sendiri.
4.      Landreform
a.     Pengertian Landreform
Secara harfiah, perkataan Landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu; Land artinya Tanah dan Reform artinya Perubahan, perombakan. Namun menurut Prof. Arie Sukanti Hutagalung, bila kita mencoba menerjemahkan definisi Landreform secara harfiah, kita akan menghadapi suatu hal yang membingungkan, karena istilah Land itu sendiri mempunyai arti yang berbagai macam. Sedangkan istilah Reform berarti mengubah dan terutama mengubah kearah yang lebih baik. Jadi Landreform berkaitan dengan perubahan struktur secara institusional yang mengatur hubungan manusia dengan tanah.
Landreform adalah sebuah upaya yang secara sengaja bertujuan untuk merombak dan mengubah system agraria yang ada dengan maksud untuk meningkatkan distribusi pendapatan pertanian dan dengan demikian mendorong pembangunan pedesaan. Diantara berbagai bentuk reformasi tanah / landreform mungkin memerlukan pemberi hak-hak kepemilikan yang dijaminkan kepada petani atau individu-individu msyarakat, land reform dapat juga diartikan sebagai pengalihan kepemilikan tanah yang terkadang dalam penggunaanya untuk perkebunan membangun pertanian kecil pemukiman yang biasanya untuk kepentingan masyarakat.
Prof. Boedi Harsono, memberikan perbedaan Landreform dalam arti luas dan land Reform dalam arti sempit. UUPA bukan hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai perombakan hukum agraria, melainkan memuat juga lain-lain pokok persoalan agraria serta penyelesaiannya. Penyelesaian persoalan-persoalan tersebut pada waktu terbentuknya UUPA, merupakan program revolusi dibidang agraria, yang disebut Agrarian Reform Indonesia. Landreform dalam arti sempit, adalah merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia. Dalam tulisan ini, yang dipergunakan adalah pengertian landreform dalam arti sempit, yaitu meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaanya.
b.    Prinsip dan Landasan Landreform
ü Prinsip-Prinsip Landreform
Di Indonesia prinsip dan landasan landreform beralasan Prinsip Hak Menguasai dari Negara. Sementara pemerintah melalui Program Pembaruan Agraria Nasional(PPAN) Kepala BPN RI juga menekankan empat prinsip di dalam menjalankan kebijakan, program dan proses pengelolaan pertanahan di masa depan, yaitu (Winoto dalam Napiri M et.al., 2006b) :
1)       Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraanrakyat, penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangankemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan.( Pro sperity)
2)     Pertanahan berkontribusi secara nyata dalam peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T). ( E quity)
3)     Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk mewujudkan tatanan kepastianyang harus dijaga kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari. ( Social Welfare)
4)     Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi terciptanya keberlanjutan sistemkemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikanakses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagaisumber kesejahteraan masyarakat. (Sustainability).
Landasan ideal landreform di Indonesia adalah pancasila karena pancasila merupakan ideologi, cara pandang bangsa dan rakyat Indonesia. Dengan landreform diatur siapa-siapa yang berhak mempunyai hak milik, pembatasan luas minimal dan maksimal luas tanah, pencegahan tanah menjadi terlantar dan tanda bukti pemelikan atas tanah ( Fauzi 1999). Jika diperinci, landasan  landreform antara lain:
ü Adalah hak negara untuk menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia yang bersumber dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Hak menguasai dari negara bukan hak pemilikan dari negara (kolonial) seperti asas domain, tetapi sama dengan hak ulayat dalam hukum adat. Negara diberi wewenang untuk mengatur antara lain kekayaan itu mensejahterakan rakyat, antara lain dengan mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa(pasal 2 UUPA).
ü Memberikan kewenangan pada negara untuk mengeluarkan tanda bukti pemilikan tanah. Pemegang hak atas tanah hanya warga WNI tanpa membedakan jenis kelamin, sedangkan WNA tidak diberi hak demikian (prinsip nasionalitas pasal 9 jo 21 ayat 1 UUPA). Pasal tersebut membatasi kewenangan warga negara asing untuk menguasai tanah Indonesia. Hal ini untuk mencegah beralihnya keuntungan SDA Indonesia.
ü Luas tanah dengan status hak milik dibatasi luasnya, luas minimal maupun maksimal pemilikan tanah dibatasi agar tidak tumbuh lagi tuan tanah yang menghisap tenaga kerja petani melalui sistem persewaan tanah atau gadai tanah (pasal 7 jo pasal 17 UUPA). Pengaturan ini ditujukan agar keluarga petani tidak hidup dari luas tanah yang kecil. Pemilikan tanah yang terlalu kecil, tidak hanya berakibat kecilnya pendapatan pemilikannya, juga secara nasional merugikan karena rendahnya produktivitas (pasal 13 jo pasal 17 UUPA).
ü Pemilik hak atas tanah haruslah menggarap sendiri tanahnya secara aktif (pasal 10 UUPA) sehingga dapat bermanfaat bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat banyak. UUPA melarang pemilik tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri oleh pemiliknya karena akan menimbulkan tanah terlantar (tanah guntai/absentee) atau meluasnya hubungan buruh tani dan pemilik tanah yang mempunyai kecenderungan yang memeras pasal 10 ayat(1) jo pasal 11 ayat(1)).
ü Panitia landreform akan mendaftar mereka yang mendapatkan pemilikan tanah, untuk selanjutnya mereka akan diberikan suatu tanda bukti pemilikan hak atas tanah. Alat bukti pemilikan itu, maka menjamin kepastian hukum atas tanah.
c.      Program Landreform
v Distribusi Tanah
Distribusi tanah menurut Undang-undang No 56 prp tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian belum berjalan sebagaimana mestinya. Pasal 2 ayat 1 jumlah tanah pertanian yang dapat dimilik keluarga dengan jumlah anggota keluarga 7 orang atau lebih untuk daerah tidak padat adalah maksimum 20 hektar. Pasal 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa bagi keluarga yang menguasai tanah pertanian yang luasnya lebih  dari luas maksimum wajib melaporkan kepada Kepala Agraria daerah/Kota dalam waktu 3 bulan.
Dalam kenyataan ketentuan “land reform” terhadap tanah feodal belum terlaksana dengan baik,di beberapa daerah masih terdapat tuan tanah yang berasal dari golongan bangsawan, sebagai contoh tanah-tanah di desa Takkatidung Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar, adalah berasal dari tanah pertanian feodal yang luasnya kurang lebih mencapai ratusan hektar.
Penguasaan secara yuridis masih berada pada keluarga tuan tanah belum tersentuh ketentuan “land reform”. Namun penguasaan secara fisik   tanah-tanah tersebut telah ditempati oleh penduduk atau rakyat kecil selama berpuluh-puluh tahun tanpa surat kepemilikan tanah. Tanah tuan tanah tersebut konon berasal dari tanah kerajaan atau tanah feodal. Rakyat menempati tanah-tanah tersebut hanya bersifat sementara dan tidak mempunyai jaminan kepastian hukum. Kesulitan yang dialami penduduk yang menempati tanah pertanian feodal yang berubah fungsi menjadi tanah kapling terjadi bila tuan tanah memerlukan tanahnya, maka yang bersangkutan harus meninggalkan tempat itu tanpa ganti rugi, walaupun mereka sudah  menempati tanah tersebut berpuluh tahun lamanya.
Contoh lain tanah negara yang berasal dari perkebunan kelapa kepunyaan orang Belanda di desa Darma yang mencapai ratusan hektar, secara yuridis (kepemilikan sertifikat) berada pada tangan tuan tanah (keluarga Baco Sugi), tetapi secara fisik dikuasai penggarap. Tanah ini menjadi tanah sengketa selama berpuluh-puluh tahun yang sudah mendapat putusan Mahkamah Agung sebagai putusan hukum yang berlaku tetap, namun tidak dapat dieksekusi.
v Bukti kepemilikan Tanah
Pengaturan Bukti kepemilikan tanah sebagaimana yang diatur dalam pasal 16 Undang Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960, yaitu berupa sertifikat Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lainnya belum dapat terlaksana dengan baik, sebagai contoh tanah-tanah penduduk masyarakat pesisir atau nelayan yang menduduki tanah negara sebagian besar tidak memiliki surat-surat hak kepemilikan, karena adanya ketentuan dari Badan Pertanahan Nasional bahwa tanah yang bisa dibuatkan sertifikat minimal jaraknya 200 meter dari bibir pantai, sedangkan nelayan membuat rumah mereka ditepi pantai kurang dari 200 meter guna memudahkan mereka turun kelaut. Permasalahan timbul bila ada program pemerintah berupa perbaikan rumah nelayan yang mensyaratkan penguasaan secara yuridis atau adanya bukti-bukti kepemilikan tanah kapling perumahan nelayan.
d.    Tujuan Landreform
Di Indonesia pelaksanaan landreform berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945 yang terwujud di dalam satu rangkaian kegiatan bidang pertanahan. Kemudian dikatakan bahwa Landreform bertujuan untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani.Secara umum tujuan Landreform adalah untuk mewujudkan penguasaan dan pemilikan tanah secara adil dan merata guna meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya petani. Secara terperinci tujuan landreform di Indonesia adalah :
*    Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial.
*    Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai obyek spekulasi dan alat pemerasan.
*    Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia yang berfungsi sosial.
*    Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan kapitalime atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomis yang lemah.
*    Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong-royong lainnya.


















Sumber Pustaka :