Selasa, 04 November 2014

Keamanan Pangan



Nama Anggota :
§  Chanra Arliani
§  Daniel Ohara Lumban Tobing
§  Leli Pitria 
  Remina Tarigan




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Salah satu kebutuhan mendasar manusia dalam bertahan hidup adalah adanya pangan. Kebutuhan biologis ini juga akan mempengaruhi pada kebutuhan rohani dan psikologisnya. Namun kebutuhan biologis menjadi pokok utama dalam keberlangsungan hidup manusia. Terlepas dari kebutuhan tersebut, dalam pelaksanaan pemenuhan pangan terdapat banyak hambatan dalam pemenuhannya, akses dan keamanannya.
Keamanan pangan menjadi salah satu komponen utama kebijakan pangan. Di Indonesia sendiri masalah keamanan pangan menjadi suatu hal yang memperihatinkan, karena masalah keamanan pangan tersebut berpengaruh besar bagi kehidupan manusia terutama dalam bidang kesehatan. Harga pangan yang mahal membuat oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab akhirnya melakukan perbuatan yang menguntungkan bagi mereka yakni menambah pendapatan namun merugikan bagi masyarakat yakni mengakibatkan masyarakat keracunan pangan. Keamanan pangan/kualitas pangan kini menjadi tolak ukur manusia dalam memenuhi kebutuhan pangannya agar sesuai dengan pemenuhan nutrisi dan gizi dalam tubuh.
1.2  Perumusan Masalah
a.       Apa pengertian dari keamanan pangan?
b.      Apa saja istilah yang berhubungan dengan keamanan pangan ?
c.       Bagaimana pentingnya keamanan pangan ?
d.      Siapa pihak yang terkait dalam keamanan pangan dan bagaimana sistem kerjanya?
e.       Bagaimana upaya pengendalian keamanan pangan?
f.       Apa-apa saja kasus seputar keamanan pangan ?
g.      Teori apa yang sesuai dengan contoh kasus tersebut dan bagaimana analisa terhadap kasus?
1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari tulisan ini memberikan pemaparan mengenai salah satu komponen kebijakan pangan nasional mengenai keamanan pangan/kualitas pangan. Dengan memberikan beberapa contoh kasus dan analisis setiap pembahasannya, sehingga pembaca dapat memahami tentang konteks pembahasan keamaan pangan/kualitas pangan. 
1.4  Manfaat Penulisan
Makalah ini kiranya akan menjadi bahan rujukan bagi pembaca sebagai antisipasi pencegahan penyimpangan yang terjadi dalam keamanan dan kualitas pangan itu sendiri. Selain dari itu juga, harapan lain dari manfaat penulisan ini berguna sebagai perpanjangan tangan upaya dalam partisipasi mewujudkan dan menciptakan kebijakan pangan nasional dalam keamanan pangan dan kualitas pangan tersebut berjalan dengan baik.





















BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Keamanan Pangan
§  Menurut UU No 7 tahun 1996 tentang pangan, yang dimaksud dengan Keamanan Pangan yaitu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
§  Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. (PP No. 28 tahun 2004).
§  Keamanan pangan adalah jaminan bahwa pangan tidak akan menyebabkan bahaya kepada konsumen jika disiapkan atau dimakan sesuai dengan maksud dan penggunaannya (FAO/WHO 1997).
Ketentuan mengenai keamanan pangan meliputi sanitasi pangan, bahan tambahan pangan, rekayasa genetika dan iradiasi pangan, kemasan pangan, jaminan mutu dan pemeriksaan laboratorium serta pangan tercemar. Selain hal tersebut, di dalam peraturan yang sama juga disebutkan bahwa setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, yang dapat merugikan, atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia.
Salah satu cara produsen untuk memenuhi ketentuan tersebut adalah mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, termasuk persyaratan sanitasi di setiap rantai pangan, yang meliputi proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan peredarannya serta penerapan cara produksi makanan yang baik (CPMB).
2.2  Istilah-istilah yang Berhubungan dengan Keamanan Pangan
§  Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. (PP No. 28 tahun 2004)
§  Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan pangan. (PP No. 28 tahun 2004)         
§  Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. (PP No. 28 tahun 2004)
§  Persyaratan keamanan pangan adalah standar dan ketentuan-ketentuan lain yang harus dipenuhi untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya bahaya, baik karena cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. (PP No. 28 tahun 2004)
§  Sanitasi pangan adalah upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia. (PP No. 28 tahun 2004)
§  Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta membebaskan pangan dari jasad renik patogen. (PP No. 28 tahun 2004)
§  Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. (PP No. Tahun 2004)
§  Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman. (PP No. 28 tahun 2004)
2.3  Pentingnya Keamanan Pangan
Keamanan pangan telah menjadi salah satu isu sentral dalam perdagangan produk pangan. Penyediaan pangan yang cukup disertai dengan terjaminnya keamanan, mutu dan gizi pangan untuk dikonsumsi merupakan hal yang tidak bisa ditawar dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Tuntutan konsumen akan keamanan pangan juga turut mendorong kesadaran produsen menuju iklim persaingan sehat yang berhulu pada jaminan keamanan bagi konsumen.
Penanganan keamanan pangan segar telah menjadi perhatian dunia mengingat bahan pangan segar adalah produk yang memiliki karakteristik mudah rusak akibat terkontaminasi oleh cemaran fisik, kimia maupun mikrobiologi. Keamanan pangan tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan manusia, akan tetapi juga menentukan nilai ekonomi dari bahan pangan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam perdagangan internasional telah ditetapkan persyaratan keamanan pangan segar yang dirumuskan melalui kesepakatan Sanitary and Phytosanitary (SPS) Agreement dan Technical Barriers to Trade (TBT) Agreement pada putaran Uruguay tentang Negosiasi Perdagangan Multilateral.
Kebijakan penanganan keamanan pangan diarahkan untuk menjamin tersedianya pangan segar yang aman untuk dikonsumsi agar masyarakat terhindar dari bahaya, baik  karena cemaran kimia maupun mikroba yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi dan mendukung terjaminnya pertumbuhan/perkembangan kesehatan dan kecerdasan manusia.
Sampai saat ini belum banyak masyarakat yang menyadari pentingnya keamanan pangan, termasuk pangan segar. Hal ini disebabkan masyarakat baik produsen (terutama produsen skala rumah tangga) maupun konsumen belum memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup sehingga masalah keamanan pangan belum menjadi prioritas dalam mengembangkan/memilih pangan untuk dikonsumsi.
Keamanan pangan merupakan salah satu aspek penting yang menentukan kualitas SDM. Konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang tidak akan berarti, jika makanan yang dikonsumsi masyarakat tidak aman dari cemaran kimia maupun mikroba. Pangan yang tercemar mikroba menyebabkan berbagai kasus Penyakit Bawaan Makanan (PBM), seperti diare. Sedangkan pangan yang terkontaminasi cemaran kimia, seperti residu pestisida dan toksin diduga sebagai penyebab penyakit kanker. Begitu pentingnya keamanan pangan ini menjadi dasar bagi negara - negara di dunia untuk mendeklarasikan bahwa keamanan pangan adalah hak asasi setiap individu dalam Internasional Conference on Nutrition pada tahun 1992.   
Kramer dan Twigg (1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi penampilan yaitu warna, ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan dan konsistensi; flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip, dan (2) karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis.
Berdasarkan karakteristik tersebut, profil produk pangan umumnya ditentukan oleh ciri organoleptik kritis, misalnya kerenyahan pada keripik. Namun, ciri organoleptik lainnya seperti bau, aroma, rasa dan warna juga ikut menentukan. Pada produk pangan, pemenuhan spesifikasi dan fungsi produk yang bersangkutan dilakukan menurut standar estetika (warna, rasa, bau, dan kejernihan), kimiawi (mineral, logam–logam berat dan bahan kimia yang ada dalam bahan pangan), dan mikrobiologi ( tidak mengandung bakteri Eschericia coli dan patogen). Lebih dari 90% terjadinya penyakit pada manusia yang terkait dengan makanan (foodborne diseases) disebabkan oleh kontaminasi mikrobiologi, yaitu meliputi penyakit tipus, disentri bakteri/amuba, botulism, dan intoksikasi bakteri lainnya, serta hepatitis A dan trichinellosis.
Foodborne disease lazim didefinisikan namun tidak akurat, serta dikenal dengan istilah keracunan makanan. WHO mendefinisikannya sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun, yang disebabkan oleh agent yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicerna. Foodborne disease baik yang disebabkan oleh mikroba maupun penyebab lain di negara berkembang sangat bervariasi. Penyebab tersebut meliputi bakteri, parasit, virus, ganggang air tawar maupun air laut, racun mikrobial, dan toksin fauna, terutama marine fauna. Komplikasi, kadar, gejala dan waktu lamanya sakit juga sangat bervariasi tergantung penyebabnya.
Patogen utama dalam pangan adalah Salmonella sp, Staphylococcus aureus serta toksin yang diproduksinya, Bacillus cereus, serta Clostridium perfringens. Di samping itu muncul jenis patogen yang semakin popular seperti Campylobacter sp, Helicobacter sp, Vibrio urinificus, Listeria monocytogenes, Yersinia enterocolitica, sedang lainnya secara rutin tidak dimonitor dan dievaluasi. Jenis patogen tertentu seperti kolera thypoid biasanya dianalisa dan diisolasi oleh laboratorium kedokteran.
Patogen yang dianggap memiliki penyebaran yang luas adalah yang menyebabkan penyakit salmonellosis, cholera, penyakit parasitik, enteroviruses. Sedangkan yang memiliki penyebaran sedang adalah toksin ganggang, dan yang memiliki penyebaran terbatas adalah S.aureus, B.cereus, C. perfringens, dan Botulism.  Melihat dari hasil uji laboratorium residu pestisida di Indonesia maka pangan segar kita masih relatif kurang aman, hal ini dapat berdampak negatif pada kesehatan kita. Ada beberapa dampak tersebut adalah:
§  Residu Pestisida mempunyai pengaruh yang sangat merugikan terhadap kesehatan manusia dalam jangka panjang. Dapat menyebabkan kanker, cacat dan merusak sistem syaraf, endokrin, reproduktif dan sistem kekebalan.
§  Efek logam berat :
a)      Al: Kerusakan urat syaraf dan otak
b)      Timbal (Pb) : Kerusakan sistem syaraf, kemunduran mental, sistem pembentukan sel darah (anemia), ginjal dll
c)      Merkuri : Kerusakan sistem syaraf, depresi, kelelahan, lesu, sakit kepala, gangguan lambung dan usus. (Sumber: Lab Kimia Agro)
2.4  Pihak-pihak yang Terkait dengan Keamanan Pangan
Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini sudah harus memulai mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu pangan.
Karena di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu bersaing dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan dalam sistem mutunya. Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah terjaminnya pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan.
Dari jumlah produk pangan yang diperiksa ditemukan sekitar 9,08% – 10,23% pangan yang tidak memenuhi persyaratan. Produk pangan tersebut umumnya dibuat menggunakan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas penggunaan: merupakan pangan yang tercemar bahan kimia atau mikroba; pangan yang sudah kadaluwarsa; pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai persyaratan.
Dari sejumlah produk pangan yang diperiksa tercatat yang tidak memenuhi persyaratan bahan pangan adalah sekitar 7,82% – 8,75%. Penggunaan bahan tambahan makanan pada makanan jajanan berada pada tingkat yang cukup menghawatirkan karena jumlah yang diperiksa sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan. Pengujian pada minuman jajanan anak sekolah di 27 propinsi ditemukan hanya sekitar 18,2% contoh yang memenuhi persyaratan penggunaan BTP, terutama untuk zat pewarna, pengawet dan pemanis yang digunakan sebanyak 25,5% contoh minuman mengandung sakarin dan 70,6% mengandung siklamat.
Penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai diantaranya adalah: (1) Pewarna berbahaya (rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth) yang ditemukan terutama pada produk sirop, limun, kerupuk, roti, agar/jeli, kue-kue basah, makanan jajanan (pisang goreng, tahu, ayam goreng dan cendol).
Dari sejumlah contoh yang diperiksa ditemukan 19,02% menggunakan pewarna terlarang; (2) Pemanis buatan khusus untuk diet (siklamat dan sakarin) yang digunakan untuk makanan jajanan. Sebanyak 61,28% dari contoh makanan jajanan yang diperiksa menggunakan pemanis buatan; (3) Formalin untuk mengawetkan tahu dan mie basah; dan (4) Boraks untuk pembuatan kerupuk, bakso, empek-empek dan lontong.
Masih kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap keamanan pangan tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP) dan teknologi produksi berwawasan lingkungan yang belum sepenuhnya oleh produsen primer, penerapan Good Handling Pratice (GHP) dan Good Manufacturing Pratice (GMP) serta Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang masih jauh dari standar oleh produsen/pengolah makanan berskala kecil dan rumah tangga.
Pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga menengah dan besar menemukan sekitar 33,15% – 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi. Sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan (TPM) yang mencakup jasa boga, restoran/rumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar 19,98% yang telah mempunyai izin penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31% dari rumah makan/restoran yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi grade A, B dan C. Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau skala besar.
Distributor pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice (GDP). Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi, bangunan dan fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual menemukan sekitar 41,60% – 44,29% sarana yang tidak memenuhi syarat sebagai distributor makanan.
Selain itu, masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan tercermin dari sedikitnya konsumen yang menuntut produsen untuk menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu serta klaim konsumen jika produk pangan yang dibeli tidak sesuai informasi yang tercantum pada label maupun iklan. Pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen pangan. Untuk itu, kesadaran semua pihak untuk meningkatkan manajemen mutu dan keamanan pangan sangatlah penting. Tidak bisa hanya menyerahkan tanggung jawab kepada pemerintah atau pihak produsen saja akn tetapi semua pihak termasuk konsumen punya andil cukup penting dalam meningkatkan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan di Indonesia.


2.5  Sistem Kerja Keamanan Pangan
Terkait dengan masalah pangan yang ada saat ini, penanganan keamanan pangan mulai mendapat perhatian serius dari pemerintah. Hal ini ditandai dengan telah diterbitkannya PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan yang merupakan penjabaran dari UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Peraturan ini kemudian ditindaklanjuti dengan pencanangan Sistem Keamanan Pangan Terpadu.
PP No. 28 tahun 2004 tersebut mengamanatkan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mempunyai kewenangan dalam pengaturan dan atau penetapan persyaratan, standar, keamanan pangan olahan dan ritel. Sedangkan kewenangan Kementerian Pertanian yang dalam implementasinya oleh Badan Ketahanan Pangan adalah pengaturan dan atau penetapan persyaratan keamanan pangan segar.
Pada tahun 2010, kewenangan tersebut telah diperkuat dengan keluarnya PERPRES No. 24 Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi Badan Ketahanan Pangan adalah melaksanakan pengkajian, penyiapan, perumusan kebijakan, pengembangan, pemantauan dan pengawasan keamanan pangan segar (pasal 295 ayat d), sehingga penanganan keamanan pangan segar segera dilaksanakan.
Disamping itu belum efektifnya penanganan keamanan pangan segar, juga dikarenakan: (1) belum berkembangnya sistem pembinaan dan pengawasan keamanan pangan; (2) terbatasnya laboratorium yang telah terakreditasi terutama di beberapa provinsi, sehingga sistem penjaminan keamanan dan mutu produk pangan segar belum berjalan dengan baik.
Di dalam penanganan keamanan pangan segar baik yang berasal dari pangan segar asal tumbuhan (PSAT) maupun asal hewan merupakan tanggungjawab Kementerian Pertanian. Ada beberapa unit kerja eselon I lingkup Kementerian Pertanian yang menangani keamanan pangan segar, yaitu Badan Karantina Pertanian (Barantan), Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Ditjen PPHP), Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen Nak dan Keswan) dan Badan Ketahanan Pangan (BKP).
Barantan memiliki tugas dalam pengawasan lalu lintas pangan segar di pintu pemasukan dan pengeluaran. Pengawasan keamanan pangan yang dilaksanakan oleh Ditjen
PPHP lebih bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk pertanian Indonesia di pasar internasional melalui penanganan mutu dan standardisasi hasil pertanian.
Berdasarkan hasil pemantauan kondisi keamanan pangan segar di Indonesia masih ditemukan ketidaksesuaian antara lain: (1) praktek – praktek dalam rantai pangan segar yang tidak memenuhi standar keamanan pangan; (2) penghargaan masyarakat terhadap pangan yang aman masih rendah karena dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi; (3) masih ditemukan penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan, cemaran residu pestisida di atas Batas Maksimum Residu (BMR), kandungan bahan aktif yang dilarang, cemaran mikroba, dll.
Pengawasan keamanan pangan segar juga dilakukan mulai dari on farm sampai pangan siap diedarkan. Badan/Dinas/Instansi yang menangani ketahanan pangan, melakukan pengawasan keamanan pangan segar di peredaran sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Untuk memperkuat pengawasan keamanan pangan segar, perlu koordinasi dengan instansi terkait secara terpadu, serta advokasi kepada pemangku kepentingan.
Dalam penanganan keamanan pangan diperlukan kelembagaan yang kuat untuk melaksanakan fungsi pembinaan maupun pengawasan keamanan pangan segar. Pembinaan keamanan pangan segar menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Teknis Kementerian Pertanian pusat maupun daerah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, dan dilakukan mulai dari on farm sampai pangan siap diedarkan.
Praktek penanganan pangan harus diterapkan di setiap rantai pangan. Pembinaan keamanan pangan dilaksanakan mulai dari proses budidaya dengan menerapkan praktek budidaya pertanian yang baik atau Good Agricultural Practices (GAP) agar menghasilkan pangan bermutu, aman, dan layak dikonsumsi, cara penanganan pasca panen hasil pertanian yang baik atau Good Halding Practices (GHP).
Begitu juga dalam pengolahan pangan, keamanan pangan dapat dilaksanakan dengan menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP). Demikian halnya pada rantai distribusi dan retail, keamanan pangan segar dapat dilaksanakan dengan menerapkan Good Distribution Practices (GDP) dan Good Retail Practices (GRP).
Pendekatan kegiatan dilakukan melalui pemantauan dan pengawasan keamanan pangan segar, promosi dan sosialisasi keamanan pangan segar, serta penguatan kelembagaan keamanan pangan segar :
1)      Penguatan kelembagaan keamanan pangan segar diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas aparat pada Badan/Dinas yang menangani ketahanan pangan,
2)      Pemantauan dan pengawasan keamanan pangan segar diarahkan untukmengetahui kondisi keamanan pangan segar melalui kajian,
3)      Pengujian keamanan pangan baik dengan uji laboratorium maupun uji cepat,
4)      Sosialisasi dan promosi keamanan pangan segar diarahkan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai keamanan pangan sehingga masyarakat dapat mengedarkan, memilih, dan mengkonsumsi pangan yang aman.
Strategi penanganan keamanan pangan segar, adalah sebagai berikut :
1)      Memperkuat kelembagaan keamanan pangan melalui peningkatan jumlah dan kompetensi SDM yang menangani keamanan pangan segar,
2)      Berkoordinasi secara intensif dengan instansi lain dalam penanganan keamanan pangan baik lingkup Kementerian Pertanian maupun luar Kementerian Pertanian,
3)      Pemutakhiran data dan informasi keamanan pangan segar,
4)      Menyebarluaskan informasi keamanan pangan segar kepada masyarakat.
Agar pelaksanaan penanganan keamanan pangan segar tahun 2013 sesuai dengan sasaran, maka perlu ditetapkan titik kritis pelaksanaan kegiatan penanganan keamanan pangan segar. Titik kritis penanganan keamanan pangan segar secara umum yang perlu diantisipasi adalah :
1)      Penguatan Kelembagaan Penanganan Keamanan Pangan Segar
            Titik kritis pada kegiatan ini adalah pada peningkatan jumlah dan kompetensi petugas pengawas keamanan pangan segar, serta penyusunan pedoman/petunjuk teknis. Apabila tidak terlaksana akan mengakibatkan penanganan keamanan pangan segar tidak optimal. Titik kritis selanjutnya agar dirinci kembali di tingkat provinsi dalam petunjuk teknis penanganan keamanan pangan segar.
2)      Pemantauan dan Pengawasan Keamanan Pangan Segar
            Titik kritis pada kegiatan ini adalah pada pemantauan, hasil uji dan sarana pengawasan keamanan pangan segar. Apabila tidak terlaksana akan mengakibatkan tidak tersedianya data dan informasi tentang keamanan pangan segar.
3)      Pengadaan Kendaraan Roda 4 (empat) untuk Pengawasan Keamanan Pangan Segar
            Titik kritis pada kegiatan ini adalah pada fungsi kendaraan roda 4 (empat) yaitu untuk melakukan pengawasan keamanan pangan segar secara rutin, melakukan uji di lapangan dengan rapid test kit, serta sosialisasi terhadap masyarakat terhadap pentingnya pangan yang aman. Apabila tidak terlaksana akan mengakibatkan pengawasan keamanan pangan segar yang beredar secara rutin tidak terlaksana.
4)      Promosi dan Sosialisasi Keamanan Pangan Segar
      Titik kritis pada kegiatan ini adalah pada penentuan sarana promosi dan sosialisasi. Apabila tidak tepat dalam penentuannya, akan mengakibatkan kurang efektifnya informasi keamanan pangan segar kepada masyarakat.
2.6  Upaya Pengendalian Keamanan Pangan
Untuk mendukung manajemen pengendalian keamanan pangan khususnya pangan tradisional, beberapa upaya preventif dapat dilakukan. Upaya-upaya tersebut antara lain adalah berkaitan dengan prinsip-prinsip cara pengolahan makanan yang baik yang dapat dilakukan dengan cara-cara sederhana secara mikro ataupun melibatkan peran swasta dan pemerintah secara makro.
Pertama, memperhatikan masalah sanitasi dan higienitas. Kebersihan pada setiap tahapan proses pengolahan, yang dimulai dari persiapan dan penyediaan bahan baku, pemakaian air bersih, tahapan pengolahan, dan pasca pengolahan (pengemasan dan penyimpanan) makanan atau pangan tradisional merupakan langkah-langkah penting untuk menghindari terjadinya infeksi dan intoksikasi. Selain itu usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang antara bahan baku yang belum diolah dengan bahan jadi juga merupakan upaya preventif yang harus dilakukan.
Kedua, memanfaatkan secara maksimal sifat sinergisme antara bahan-bahan penyusun makanan tradisional yang dikombinasikan dengan penambahan asam untuk menurunkan pH (keasaman) produk. Seperti kita ketahui bahwa kunyit, jahe, lengkuas, dan bahan-bahan lainnya merupakan pangan tradisional yang diketahui mempunyai efek antibakteri atau antimikroba. Sifat sinergisme ini juga merupakan usaha untuk menghindarkan penggunaan pengawet kimia.
Ketiga, upaya pelayanan purna jual yang diberikan kepada konsumen dengan cara penulisan label pada kemasan makanan. Penulisan informasi tentang batas akhir penggunaan makanan (kadaluarsa), komposisi gizi penyusun makanan tradisional, komposisi zat gizi yang terkandung, bahan pengawet yang digunakan, informasi kehalalan, dan nama perusahaan atau industri rumah tangga yang memproduksi. Langkah ini merupakan jaminan mutu kepada konsumen tentang produk yang akan kita pasarkan.
Keempat, peran aktif industri pangan dalam membentuk atau membina pola dan kebiasaan konsumsi yang baik bagi masyarakat. Peran strategis industri pangan ini dimulai dari penggunaan jenis dan kualitas produk yang digunakan untuk produk olahannya. Industri pangan mempunyai kekuatan yang besar pula untuk mempengaruhi status gizi dan kesehatan masyarakat umum.
Kelima, peran serta pemerintah dalam memberikan regulasi dan pengawasan terhadap masalah-masalah keamanan pangan. Penguatan jejaring keamanan pangan nasional yang sudah ada dalam kerangka sistem keamanan pangan terpadu yang melibatkan semua stake-holder pemerintah pusat sampai pemerintah daerah. Perbaikan sistem pelaporan, pengaduan, pencatatan, dan penegakan hukum agar kasus-kasus keracunan pangan tidak terulang lagi.
2.7  Kasus-kasus Seputar Keamanan Pangan
2.7.1        Telur Asin Palsu
Harga sembako yang semakin mahal, akhir-akhir ini berdampak pula pada harga barang-barang kebutuhan lainnya. Rakyat kecil terutama para pedagang merasa tercekik dengan kenaikan harga ini. Betapa tidak, keuntungan dari hasil dagangannya tidak sepadan dengan kenaikan harga sembako yang setiap hari dia butuhkan.
Mereka tidak berani menaikkan harga dagangannya karena takut dagangannya tidak laku lantaran sangat mahal. Apalagi persaingan harga barang-barang tersebut kini semakin ketat. Membuat para pedagang semakin tidak berkutik.
Para pedagang harus memeras otak untuk bisa bertahan. Mereka harus cerdik dalam menjual dagangannya. Sayangnya, ada beberapa oknum pedagang yang berbuat curang. Mereka memalsu barang dagangannya untuk meraih untung yang lebih besar. Tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan. Seperti tayangan Trans TV yang saya saksikan dalam Reportase Investigasi hari Sabtu, 15 Maret 2008 lalu. Acara TV yang berdurasi 30 menit itu menayangkan tentang telur asin palsu yang kini banyak beredar di pasaran.
Telur asin palsu ini tidak terbuat dari telur bebek asli melainkan dari telur ayam. Saat menjual biasanya pedagang akan menyebutnya sebagai telur asin dari telur bebek, padahal sebenarnya bukan. Modus yang dilakukan bermacam-macam. Mereka membeli telur ayam dengan memilih telur-telur yang besar terlebih dahulu. Selanjutnya mereka membeli cat tembok di toko besi dan bangunan.
Bahan tersebut dicampur untuk mengubah warna telur ayam yang umumnya coklat menjadi telur bebek berwarna hijau. Sebelum diwarnai, telur ayam harus dicuci dulu hingga bersih dan bebas dari kotoran agar cat bisa melekat sempurna. Selanjutnya mereka menyiapkan adonan pewarna dan pengasin. Mereka mencampurkan bahan cat tembok dan penguat warna dengan garam kasar.
Terakhir, telur-telur inipun direndam 3 sampai 5 hari. Setelah direndam telur dicuci bersih untuk selanjutnya diberi tepung kanji. Tepung ini berguna untuk memberi kesan bahwa warna telur asin buatan ini mirip warna aslinya. Nah bila sudah seperti apakah kita bisa membedakan telur asin dari ayam ini dengan telur asin dari bebek?
Ada lagi seorang pemalsu telur asin yang bermukin di Jawa Tengah, yang katanya lebih jago karena bisa membuat telur asin dalam waktu 1 hari saja. Mula-mula, bagian ujung telur direndam dalam larutan cuka hingga beberapa menit. Setelah ujung telur tersebut melunak, telur lalu disuntik dengan air garam. Berikutnya, telur yang sudah diasinkan ini direbus agar bagian dalamnya matang dan mengeras. Usai direbus telur didinginkan untuk kemudian diwarnai. Pewarananya bukan pewarna makanan tapi cat sablon, penguat cat dan pewarna khusus. Kemudian sedikit ditaburi tepung kanji agar guratan cat pada kulit telur akan tertutupi.
Di pasaran telur asin palsu biasanya dijual seharga telur asin asli, yakni 1.500 rupiah per butirnya. Padahal harga sebutir telur ayam hanya 600 rupiah. Dengan sedikit polesan pedagang bisa meraih untung berlipat. Para pemalsu ini sudah mempunyai pasar tersendiri yaitu stasiun dan tempat tinggal bus perjalanan jarak jauh. Mereka memilih tempat semacam itu karena biasanya pembeli tidak terlalu jeli dan sedang terburu-buru. Pembeli tak pernah tahu bahwa ada zat kimia yang digunakan untuk mewarnai telur ini.
Untuk membedakan antara telur asin yang asli dengan telur asin palsu dibutuhkan ketelitian. Telur asin yang asli tidak terdapat bercak noda seperti cat. Sedangkan pada telur asin palsu biasanya terdapat bercak seperti ini. Jika telur masih berbalut tepung, bersihkan dulu tepung pembalutnya dan cermati warna kulitnya.
Bila telur asin dibelah juga akan terlihat perbedaannya. Kuning telur asin palsu biasanya tampak kuning keputihan karena berasal dari telur ayam. Sedangkan telur asin dari telur bebek berwarna kuning atau kuning kemerahan. Yang terakhir anda bisa melakukan uji sederhana terhadap telur asin yang anda beli. Gosoklah kulitnya dengan cairan pemutih baju. Telur asin yang palsu warnanya akan memudar sedangkan yang asli tidak. Kejelian anda saat membeli dapat menghindarkan anda dari telur asin palsu.

2.7.2        Saus Palsu
“Saus palsu” adalah istilah yang sering digunakan untuk mendefinisikan saus yang mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan manusia. Program Televisi Reportase Investigasi TransTV melakukan studi kasus mengenai “saus palsu” tersebut.
Mereka membeli beberapa saus yang dijual di pasar tradisional dan supermarket untuk kemudian dijadikan sampel acak dan diteliti kandungan di dalamnya. Berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan, peneliti menemukan bahwa delapan dari sepuluh sampel saus mengandung formalin dan diperkirakan terbuat dari tomat dan cabai busuk.
Penelitian lapangan kemudian segera dilakukan. Hasilnya, didapati bahwa ada oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang memang sengaja memproduksi saus palsu ini. Bahan-bahan busuk yang digunakan antara lain: tomat busuk, cabai busuk, dan pepaya busuk.
Alasan penggunaannya adalah harga yang 80% lebih murah dibandingkan dengan bahan-bahan segar. Produsen nakal juga menambahkan formalin yang berfungsi sebagai pengawet dan untuk menghilangkan aroma busuk yang ada. Botol bekas saus bermerek beserta segelnya dapat diperoleh dengan mudah di pasar sehingga pelaku tidak kesulitan dalam mengemas atau memberikan label baru untuk saus buatannya.
Pada awalnya, gejala yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi saus berbahan tidak sehat adalah tubuh terasa lemas, pusing, bahkan disertai dengan efek mual. Jika dibiarkan, penggunaan saus palsu secara berkala dapat menyebabkan alergi/iritasi tenggorokan/radang tenggorokan, memicu asma, menyebabkan gangguan pada sistem ekskresi/pembuangan dan sistem syaraf, serta dapat mengakibatkan kanker.
Untuk menghindari pembelian saus yang keliru, berikut ini adalah cara membedakan saus asli dan saus palsu:
1.      Telitilah melihat apakah pada label saus terdapat ijin dari Departemen Kesehatan atau tidak. Bila tidak, berarti saus tersebut perlu diwaspadai.
2.      Lihat warnanya. Saus asli berwarna seperti tomat dan cabai yaitu merah kekuning-kuningan sedangkan saus palsu berwarna merah mencolok dan terlihat lebih muda.
3.      Lihat kekentalannya. Saus asli akan cenderung lebih kental sedangkan saus palsu agak cair dan memiliki gumpalan-gumpalan kecil di dalamnya sebagai efek penambahan formalin.
4.      Cium aromanya. Saus asli memiliki aroma khas dengan bau cabai dan tomat pada umumnya sedangkan saus palsu beraroma seperti bawang putih dan sangat menyengat karena menggunakan cabai, tomat, dan pepaya busuk.
5.      Rasakan sausnya. Saus asli memiliki rasa cabai dan tomat yang segar sedangkan saus palsu hanya cenderung memiliki rasa gurih.
6.      Perhatikan harganya. Saus asli memiliki harga wajar dan sesuai dengan harga yang biasa ditawarkan pasar, sedangkan saus palsu harganya jauh lebih murah.
2.7.3        Penyalahgunaan Boraks dalam Makanan
Sekarang ini banyak kejadian penggunaan boraks sebagai bahan pengawet makanan. Di mana bahan tersebut sangat dilarang digunakan sebagai bahan baku makanan. Dan jika penggunaannya terus dilakukan dan dikonsumsi dapat menyebabkan berbagai penyakit terutama kanker dan bahkan kematian untuk tingkat yang lebih lanjut. Hal ini telah menjadi hal yang cukup serius dan menjadi suatu masalah yang berusaha diselesaikan dengan baik oleh berbagai pihak terutama pemerintah.
Sebagai pusat utama kelangsungan negara, pemerintah harus dapat dengan bijak memutuskan dan bertindak bagaimana penanganan kasus tersebut. Terutama kasus pada pembuatan bakso dan mie dengan bahan pengawet boraks dan berbagai makanan seperti ikan asin serta tahu yang diawetkan dengan menggunakan formalin.
Boraks merupakan senyawa kimia dengan rumus natrium tetraborat (NaB4O7.10H2O), berbentuk kristal lunak dengan pH = 9,5. Boraks merupakan senyawa kimia antara natrium hidroksida(NaOH) serta asam borat(H3BO3). Umumnya boraks digunakan dalam berbagai industri non pangan khususnya industri kertas, gelas, pengawet kayu, bahan solder, bahan pembersih, pengontrol kecoak dan keramik. Gelas pyrex yang terkenal pun dibuat dengan campuran boraks.
Boraks disalahgunakan untuk pangan dengan tujuan memperbaiki warna, tekstur dan flavor. Padahal sifatnya sangat beracun, sehingga peraturan pangan tidak membolehkan boraks untuk digunakan dalam pangan. Boraks sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi, kerupuk gendar, atau kerupuk puli yang secara tradisional di Jawa disebut “Karak” atau “Lempeng”.
Surat kabar Merdeka mengabarkan pada September 2012 BPOM menguji 70 sampel jajanan di kawasan Benhil, Jakarta Pusat. Hasil yang didapat dari pengujian tersebut membuktikan sejumlah panganan tersebut mengandung boraks. Makanan yang rentan akan penambahan boraks antara lain cendol, cincau, bakso, agar-agar, dan lontong.
Mengkonsumsi boraks dalam makanan tidak secara langsung berakibat buruk, namun sifatnya terakumulasi (tertimbun) sedikit-demi sedikit dalam organ hati, otak dan testis. Boraks tidak hanya diserap melalui pencernaan namun juga dapat diserap melalui kulit.
Boraks yang terserap dalam tubuh dalam jumlah kecil akan dikelurkan melalui air kemih dan tinja, serta sangat sedikit melalui keringat. Boraks bukan hanya menganggu enzim-enzim metabolisme tetapi juga menganggu alat reproduksi pria. Jika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup tinggi dapat menyebabkan gejala pusing, muntah, mencret, kejang perut, kerusakan ginjal, hilang nafsu makan.
Adapun ciri-ciri  mekanan yang mengandung boraks antara lain :
§  Mie Basah                   :   tidak lengket, sangat kenyal, serta tidak mudah putus
§  Bakso                          : tekstur sangat kenyal, warna tidak kecokelatan seperti penggunaan daging, tapi lebih cemerlang keputihan
§  Lontong                      :   rasa getir dan sangat gurih, serta beraroma sangat tajam
§  Kerupuk                      :  teksturnya sangat lembut dan renyah, bisa menimbulkan rasa getir di lidah
Meskipun begitu, masih banyak pedagang yang masih menggunakan bahan  yang legal untuk dimakan dalam pembuatan produknya. Hal ini bukan menjadi alasan bagi Kita untuk takut atau menjadi phobia yang berlebihan pada makanan, tetapi membuat kita lebih “care” dan berhati-hati pada apa yang kita makan.
2.7.4        Nugget Berbahan Ikan dan Udang Busuk
Pelbagai perkembangan teknologi dalam mengolah makanan kini menjadi daya tarik bagi konsumen dan masyarakat luas. Mengingat masyarakat kini lebih menyenangi maknan instan cepat saji yang tidak memerlukan banyak waktu dalam pengolahannya. Pasaran makanan instan sangat di minati oleh semua lapisan. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, dewasa bahkan orang tua. Berikut salah satu contoh makanan instan yang menjadi favorit masyarakat, diantaranya mi instan, nugget, sosis, makanan kaleng dan masih banyak lagi.
Yang akan di bahas dalam konteks keamanan dan kualitas pangan mengenai contoh kasus setahun terakhir yang menggegerkan para konsumen setia nugget yang dilansir di media online detiknews.com pada Jumat, 28 Juni 2013  17:25 WIB, Dikutip dalam http://news.detik.com/read/2013/06/28/172559/2287465/10/polisi-bongkar-homeindustry nug get-yang-bahan-bakunya-ikan-busuk yang membenarkan adanya penggrebekan industri rumahan yang tidak memenuhi standar kemanan pengelolaan makanan dengan di perburuk dengan bahan utama pengolaan nugget berasal dari ikan yang telah membusuk bahkas sudah menjadi sarang belatung, dan di perburuk dengan memperkerjakan anak di bawah umur sebagai pegawainya.
Penemuan yang mengejutkan tentunya bagi semua lapisan masyarakat, setelah beberapa tahun terakhir kita mengetahui harga jual nugget di pasaran mulai bersahabat dan bahkan mudah di temui di deretan jajanan sekolah dasar dengan harga yang sangat murah. Namun harga nugget yang bersahabat tidak demikian dengan kandungan yang terkandung di dalamnya. Komposisi bahan pembuatan nugget yang berbahaya memicu beragam penyakit dalam tubuh. Dampaknya tidak akan terlihat dengan cepat, namun berdampak pada jangka panjang.
Dalam pemberitaan, diketahui bahwa bahan pembuat nugget tidak hanya ikan dan udang saja yang busuk. Namun ada lagi bahan berbahaya yang menjadi bahan campurannya. Boraks yang merupakan salah satu unsur kimia bahan pembersih (antiseptik/zat pembantu melelehkan zat padat) yang tidak di perbolehkan untuk makanan menjadi salah satu bahannya. Untuk menutupi warna kurang menarik dari campuran ikan dan udang busuk, di tambahkan dengan pewarna tekstil (pewarna baju) yang mencolok sebagai penguat warna nugget.
2.7.5        Susu Mengandung Melamin
Beberapa hari menjelang Idul Fitri kemarin, kita dikejutkan oleh penemuan kasus susu mengandung melamin asal China. Ibarat pepatah, karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga. Demikian pulalah yang terjadi di negeri tirai bambu itu. Susu yang umumnya memiliki manfaat yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan berubah menjadi penyebab penyakit.
Tak kurang dari 10.000 bayi dan anak-anak di China mengalami sakit dan menjalani perawatan medis akibat minum susu yang mengandung nila alias melamin itu. Sungguh mengenaskan. Melamin, zat yang biasa digunakan sebagai bahan pembuat plastik, pupuk dan pembersih ini yang ditambahkan sebagai pengental dan penambah kadar protein pada produk susu. Penambahan melamin ini dipercaya akan meningkatkan kadar nitrogen dalam susu yang menjadi indikator kandungan protein dalam produk makanan.
Pencampuran susu dengan melamin ini berakibat fatal. Diperkirakan saat ini, ribuan bayi yang mengonsumsi susu bermelamin menderita gagal ginjal akut. Beberapa di antaranya dilaporkan meninggal dunia. Kandungan melamin yang termasuk kategori logam berat dalam konsentrasi tertentu menyebabkan zat ini tidak bisa diuraikan oleh tubuh. Akibatnya terjadi penumpukan di ginjal yang kemudian menyebabkan terbentuknya batu ginjal dan kerusakan fungsi organ tubuh lainnya.
Masalahnya susu melamin ini menjadi semakin besar karena produk susu China dan produk turunannya tersebut tersebar pula ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Indonesia. Tentu, jika produk tersebut dikonsumsi bayi-bayi di Indonesia, maka peristiwa seperti di negeri tirai bambu pun berpotensi terjadi di Indonesia.
Apalagi, beberapa produk makanan yang berbahan susu dan produk turunan dari China tersebut cukup familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Produk-produk makanan tersebut masuk melalui jalur impor resmi, tapi tak sedikit pula yang tak jelas prosedurnya. Yang jelas produk tersebut telah beredar luas, baik di pasar tradisional maupun di gerai-gerai belanja modern.
2.8  Teori Berdasarkan Kasus
2.8.1        Teori Etika Utilitarianisme
Utilitarianisme dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1784 – 1832). Dalam ajarannya Ultilitarianisme itu pada intinya adalah “ Bagaimana menilai baik atau buruknya kebijaksanaan sospol, ekonomi dan legal secara moral” (bagaimana menilai kebijakan public yang memberikan dampak baik bagi sebanyak mungkin orang secara moral). Etika Ultilitarianisme, kebijaksanaan dan kegiatan bisnis sama – sama bersifat teologis. Artinya keduanya selalu mengacu pada tujuan dan mendasar pada baik atau buruknya suatu keputusan.
Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. Adapun maksimalnya adalah dengan memperbesar kegunaan, manfaat, dan keuntungan yang dihasilkan oleh perbuatan yang akan dilakukan.
Perbuatan harus diusahakan agar mendatangkan kebahagiaan daripada penderitaan, manfaat daripada kesia-siaan, keuntungan daripada kerugian, bagi sebagian besar orang. Dengan demikian, perbuatan manusia baik secara etis dan membawa dampak sebaik-baiknya bagi diri sendiri dan orang lain.
Bila dilihat dari contoh kasus telur asin palsu, saus palsu, penggunaan borak, susu mengandung melamin dalam makanan yang dilakukan oleh para oknum yang tidak bertanggungjawab maka hal tersebut telah menyimpang dari teori etika utilitarianisme. Karena perbuatan yang dilakukan oleh para oknum hanya menguntungkan bagi mereka sendiri, bermanfaat bagi mereka sendiri, akan tetapi  merugikan dan memberikan penderitaan bagi orang lain yang mengkonsumsi makanan tersebut.
Sebagai produsen tentunya dalam memproduksi dan menjual makanan haruslah mempertimbangkan terlebih dahulu keputusan yang ingin dilakukan serta memikirkan dampak yang akan ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan. Setiap orang pasti mengalami kesulitan dalam menjalankan usaha mereka, akan tetapi seharusnya hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi para produsen untuk melakukan usaha dengan jujur dan benar.
 Dan tidak seharusnya sebagai penjual menggunakan cara-cara yang tidak benar yang dapat mengakibatkan orang lain keracunan karena telah mengkonsumsi makanan yang dijual. Bila ingin bersaing dengan sesama produsen maka bersainglah dengan cara yang sehat dan berguna bagi orang lain, karena dengan demikian usaha yang kita lakukan tentu akan berhasil. Selain itu bila ingin usaha prosuksi makanan yang dijual ramai oleh pelanggan, maka perhatikan kualitas serta mutu makanan yang dijual.
2.8.2        Teori Perlindungan Konsumen
Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.
 Sedangkan menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dan yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.
Ada dua jenis perlindungan yang diberikan kepada konsumen, yaitu :
1)      Perlindungan Priventif
            Perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut akan membeli atau menggunakan atau memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu, mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk membeli atau menggunakan atau memanfaatkan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu tersebut.
2)      Perlindungan Kuratif
            Perlindungan yang diberikan kepada konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau pemanfaatan barang atau jasa tertentu oleh konsumen. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa konsumen belum tentu dan tidak perlu, serta tidak boleh dipersamakan dengan pembeli barang dan atau jasa, meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang membeli suatu barang atau jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen, cukup jika orang tersebut adalah pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau jasa, tidak peduli ia mendapatkannya melalui pembelian atau pemberian.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam teori perlindungan konsumen tersebut maka dari contoh kasus kasus telur asin palsu, saus palsu, penggunaan borak, susu mengandung melamin yang dijelaskan tersebut sudah seharusnya sebagai seorang produsen agar lebih memperhatikan kualitas maupun mutu makanan yang mereka jual, hal tersebut tentunya untuk melindungi konsumen dari hal-hal yang disebut keracunan makanan.
Walau bagaimana pun kesehatan pembeli adalah hal yang paling utama dan menjadi tanggung jawab para produsen. Untuk apa melakukan usaha dalam memperoleh keuntungan jika para pembeli justru akan mengalami penyakit setelah mengkonsumsi makanan yang kita jual. Jadi dalam hal ini diperlukan kesadaran dari para oknum agar berhenti melakukan perbuatan yang tidak benar yang merugikan bagi orang lain, sudah sebaiknya sebagai produsen memberikan perlindungan dan yang terbaik bagi para konsumen.
Lakukanlah kewajiban sebagai seorang produsen maupun sebagai seorang konsumen sebagaimana mestinya. Sebagai konsumen juga seharusnya lebih bijak dan lebih hati-hati dalam memilih dan mengkonsumsi makanan yang berguna bagi kesehatan. Selain itu konsumen juga sebaiknya meningkatkan pengetahuan mereka tentang makanan yang sehat dan berguna bagi tubuh. Konsumsi makanan yang berkualitas dan aman bagi keberlangsungan hidup.
Jangan langsung tergoda oleh tampilan luar makanan yang terlihat menarik dan mengundang selera. Bagi pemerintah sendiri, jika para oknum terbukti bersalah maka hukumlah mereka sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan.

2.8.3        Teori Kelas
Seperti yang kita ketahui, bahwa nugget masuk dalam kategori panganan bagi orang berekonomi kecukupan dalam artian masyarakat mampu (kelas atas). Nugget yang menjadi salah satu panganan orang kelas atas karena di tinjau dari sisi keefektifan dan efisiennya menyediakan makanan yang tidak mengeyampingkan kandungan gizinya. Selain itu, karena banyaknya orang kelas atas merupakan para pekerja yang tidak mempunyai waktu lama dalam mengolah asupan makanannya seperti sarapan, makan siang dan makan malam. Kepraktisan nugget saat di jadikan bekal ke sekolah, kantor dan piknik menjadi faktor lain yang mempengaruhi mengapa nugget menjadi bagian dari makanan kelas atas.
Kesenjangan sosial tidak lagi di pungkiri keberadaannya di sekitar kita. Pelbagai olahan nugget dengan beraneka ragam bahan dasar dan jenis menghiasi iklan-iklan di stasiun Televisi. Hal ini yang menjadi sebuah bentuk kesenjangan sosial yang di rasakan pengguna Televisi, mengingat pengguna Televisi tersebar di lapisan masyarakat.  Seperti yang dikemukakan oleh Karl Marx mengenai konsep perjuangan kelas yang dimana adanya kaum borjuis dan proletar. Konsep ini tak jauh berbeda dengan pemaparan di atas mengenai kelas atas (kelompok berkecukupan ekonomi) dan kelas bawah (kelompok dengan ekonomi kurang). Pengklasifikasian tersebut berdampak pada aspek kehidupan yang lain. Sehingga banyak kecemburuan yang timbul di kelompok kelas bawah terhadap kelas atas, dengan salah satu contohnya jenis panganan nugget tersebut.
Kesenjangan kelas tersebut menjadikan bibit baru permasalahan dan peluang terjadinya penyimpangan sosial. Para produsen di bidang pangan berlomba membuat panganan nugget ini masuk ke pasaran kelas menengah ke bawah. Namun tak memungkirin hal tersebut dapat terwujud dalam beberapa tahun terakhir ini, berbagai merk asing nugget dan sosis di jual bebas di pasar-pasar tradisional. Harganya sangat jauh berbeda dengan nugget kemasan yang di jual dalam supermarket.
2.8.4        Teori Perilaku Menyimpang
Menurut James W. Van Der Zanden.  Perilaku menyimpang yaitu perilaku yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang tercela dan di luar batas toleransi. Seperti dalam kasus yang menjadi pembahasan di atas, hal ini bisa terkait dengan penyimpangan sosial seperti yang dikemukakan oleh James W. Van Der Zanden. Penggunaan bahan tidak layak konsumsi dalam olahan nuggetnya merupakan hal yang telah melanggar dasar hukum karena dapat mengakibatkan banyak resiko bagi konsumen yang memakannya. Dalam pasal 10 sampai 12 UU No. 7/1996 dan peraturan di bawahnya mengenai bahan tambahan pangan telah di paparkan mengenai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebagai standar keamanan pangan.
Bentuk penyimpangan tersebut sudah tidak dapat di toleransi dan di biarkan begitu saja. Sesuai dengan hukum yang berlaku, kasus seperti ini harus di tindak lanjuti sebagai bentuk kriminalitas dalam mengolah pangan skala besar.
2.9  Analisis Kasus
Makanan menjadi sangat penting bagi manusia dalam melangsungkan kehidupannya. Dalam mengkonsumsi makanan ada banyak hal yang dipertimbangkan oleh para konsumen, baik itu masalah harga makanan, kualitas gizi makanan, maupun tampilan makanan yang dianggap mengundang selera. Meskipun demikian masih terdapat juga masyarakat yang ada disekitar kita yang dalam mengkonsumsi makanan tidak terlalu mementingkan kesehatan mereka dan tidak terlalu memikirkan apa dampak yang akan ditimbulkan bagi mereka dari makanan yang dikonsumsi.
Bila dilihat dalam fenomena masyarakat kita saat ini menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat lebih tertarik kepada makanan-makanan yang memiliki harga yang murah ataupun terjangkau, enak dan mengundang selera. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa hal, yakni faktor ekonomi yang tidak memadai, adanya pemikiran bahwa tidak masalah memakan makanan apapun yang penting dapat membuat perut kenyang, dsb.
Selain itu, mahalnya harga makanan menjadikan oknum yang tidak bertanggungjawab memproduksi atau menjual makanan-makanan yang justru berbahaya bagi kesehatan. Mereka biasanya menjual makanan-makanan yang mereka produksi dengan harga yang lebih murah dan memiliki tampilan yang menarik, hal ini bertujuan agar para konsumen dengan mudahnya membeli makanan mereka karena melihat tampilan makanan yang menarik dengan harga yang terjangkau. Akan tetapi perbuatan yang dilakukan oleh para produsen tentu berbahaya bagi kesehatan para konsumen. Dan biasanya dampak yang akan ditimbulkan yakni konsumen akan keracunan makanan.
Seperti halnya pada contoh kasus yang telah disebutkan yakni adanya telur asin palsu, saos palsu, susu mengandung melamin, serta penggunaan boraks dalam makanan.  Hal ini dilakukan para oknum yang tidak bertanggung jawab dimana mereka tidak memikirkan apa yang terjadi pada konsumen tetapi justru lebih memikirkan bagaimana mereka dapat memperoleh keuntungan dari mereka jual. Hal ini tentunya menjadi perhatian bagi pemerintah dan masyarakat dalam menyikapi fenomena tersebut.
Harapan dari komponen ketiga ini mengenai keamanan pangan dan kualitas pangan di harapkan menjadi standarisasi ketahanan pangan masyarakat Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 telah di atur mengenai Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Keamanan Pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan  manusia.
Sudah jelas terbukti bahwa kasus nugget berbahan ikan dan udang busuk yang meresahkan masyarakat beberapa akhir tahun belakangan ini sangat melanggar dasar hukum keamanan, mutu dan gizi pangan. Lingkungan sosial masyarakat juga berperan andil dalam keberadaan penyimpangan hal tersesbut, seperti pemaparan di atas.
Dengan adanya kasus tersebut diharapkan agar pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan dalam menangani serta memusnahkan makanan-makanan yang dapat membahayakan kesehatan. Selain itu, bagi masyarakat sendiri diharapkan agar lebih teliti dan lebih berhati-hati dalam memilih dan mengkonsumsi makanan. Jangan langsung tergoda dengan harga makanan yang murah serta mengundang selera, tetapi lebih melihat kepada kualitas serta keamanan makanan itu sendiri bagi tubuh.
Jika kesadaran sosial dari masyarakat itu sendiri sangat rendah, maka harapan dan cita-cita bangsa dalam mewujudkan keamanan pangan dan kualitas pangan yang baik tidak akan pernah terwujud. Selain dari timbulnya masalah pelanggaran, masalah lainnya akan bermunculan sebagai tanda bukti dampak dari adanya nugget berbahan ikan dan udang busuk. Lemahnya daya tahan tubuh masyarakat akibat keamanan pangan dan kualitas pangan sangat rendah, daya berfikir dan kerja tubuh dalam melakukan berbagai kegiatan menjadi terganggu dan masih banyak masalah yang akan muncul.




BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Keamanan pangan merupakan hal yang harus selalu diperhatikan dan diawasi penangannya. Hal ini disebabkan karena keamanan pangan memiliki kedudukan yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat dunia umumnya. Sekarang ini sangat banyak kasus yang terjadi di sekitar kita yang berasal dari kurangnya kepedulian dan pengetahuan mengenai pentingnya makanan yang aman.
Aman dalam hal ini adalah tidak adanya kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Untuk itu, maka peran aktif dari berbagai pihak sangat diperlukan. Produsen, distributor, konsumen dan pemerintah harus lebih peduli pada keadaan pangan yang ada dan beredar.
Dunia saat ini lebih berusaha dalam menangani keamanan pangan, terbukti dengan banyaknya peraturan yang dibuat dan ketatnya persaingan antar negara dalam menjamin keamanan pangan. Negara yang tidak terlalu memperhatikan dan mempedulikan keamanan dari pangan tidak akan di beli dan mendapat tawaran dari negara lain untuk membeli produk dan barang komoditinya.

3.2 Saran
Pihak-pihak yang memiliki peran penting dalam menjamin keamanan pangan yang beredar, seharusnya lebih peduli dan bijak lagi dalam melihat keadaan saat ini.
§  Produsen harus memproduksi dan menjual bahan pangan yang memang sehat dan aman untuk dikonsumsi,
§  Distributor harus menyalurkan bahan-bahan pangan yang memang sehat dan tidak membahayakan kesehatan manusia,
§  Konsumen harus lebih pintar dalam memilih, membeli dan mengelola bahan pangan,
§  Pemerintah juga berperan dalam pembuatan peraturan dan pengawasan bahan pangan yang beredar di masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA
§  Dikutip dalam : http://yprawira.wordpress.com/manajemen-mutu-dan-keamanan-pangan/ [Diakses pada 17 Oktober 2014 Pada pukul 15:14]
§  Dikutip dalam : http://hartoko.wordpress.com/keamanan-pangan/ [Diakses pada 17 Oktober 2014 Pada pukul 15:28]
§  Dikutip dalam http://bkp.bangka.go.id/donlot/pentingnya.pdf [Diakses pada 17 Oktober 2014 Pada pukul 15:42]
§  Dikutip dalam : http://bkp.pertanian.go.id/downlot.php?file...pdf.html  [Diakses pada 17 Oktober 2014 Pada pukul 20:04]
§  Dikutip dalam : http://clearinghouse.pom.go.id/downlot.php?...pp_no_28.html  [Diakses pada 17 Oktober 2014 Pada pukul 20:13]
§  Dikutip dalam : http://jurnalbidandiah.blogspot.com/2012/07/reportase-investigasi-nugget-ikan-dan.html [Diakses pada 17 Oktober 2014 pukul 20:38]
§  Dikutip dalam : http://www.edipsw.com/kegiatan/beredar-telur-asin-palsu/ [Diakses pada 18 Oktober 2014 Pada pukul 16:11]
§  Dikutip dalam : http://khairulazharsaragih.blogspot.com/2012/11/penyimpangan-sosial-dalam-masyarakat.html [Diakses pada 18 Oktober 2014 pukul 12:46]

§  Dikutip dalam : http://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2012/03/21/bahaya-saus-palsu-448117.html [Diakses pada 18 Oktober 2014 Pada pukul 16:30]
§  Dikutip dalam :
http://softskill16.blogspot.com/2013/11/teori-etika-utilitarianisme.html [Diakses pada 18 Oktober 2014 Pada pukul 18:37]
§  Dikutip dalam :
§  Dikutip dalam : http://www.bikasolusi.co.id/sistem-manajemen-keamanan-pangan-menurut-peraturan-perundangan/ [Diakses pada Jam 20:21 sabtu 18 oktober 2014]
§  Dikutip dalam : http://www.suaramerdeka.com/harian/0512/26/nas24.htm. [Diakses pada 18 Oktober 2014. Pada pukul 19.00 WIB]
§  Dikutip dalam : https://www.facebook.com/notes/partai-keadilan-sejahtera/hikmah-kasus-susu-melamin/51568792140. [Diakses pada 18 Oktober 2014. Pada pukul 18.40 WIB]

1 komentar: