Selasa, 04 November 2014

Perspektif Konflik Klasik



Nama Kelompok  :
*      Ade Mariani Agustina
*      Nurhalimah Sipahutar
*      Remina Tarigan
*      Zul Afdila Yufa
Perspektif Konflik Klasik
            Berbicara mengenai konflik tentu tidak menjadi hal yang asing lagi terdengar oleh telinga kita.  Dalam kehidupan, manusia akan senantiasa dihadapkan pada konflik sehingga mau tidak mau manusia harus menerima terjadinya konflik, karena  pada dasarnya manusia tidak dapat mengindarkan diri dari konflik.  Selain itu konflik tidak selamanya mengarah kepada pertentangan-pertentangan, sebab ada kalanya konflik dapat membuat masyarakat bersatu sebagaimana yang dikatakan oleh Coser. Ada berbagai perspektif yang lahir dari konflik, diantaranya perspektif konflik klasik yang akan kami jelaskan di bawah ini.
1.    Ibnu Khaldun
            Ibnu Khaldun mengatakan bahwa dinamika konflik yang terjadi pada masyarakat ditentukan oleh keberadaan kelompok sosial berbasis pada identitas, golongan etnis maupun tribal. Dalam pandangan ibnu khaldun, kelompok sosial akan memberikan kontribusi terjadinya konflik yang ditandai dengan adanya sifat kelompok sosial untuk memenangi dan menguasai. Ibnu Khaldun juga menjelaskan bahwa manusia memiliki sifat agresif dalam dirinya, sehingga sifat agresif tersebut menjadi pemicu terjadinya konflik.
*      Contoh : Kasus Perebutan Sipadan dan Ligitan
§  Kronologis Kasus
 (Dikutip dalam : http://bryantobing01.blog.com/indonesia-malaysia-dalam-perebutan-pulau-sipadan-dan-ligitan/ Diakses pada 17 Februari 2014 pada pukul 21:40)
Sipadan dan ligitan adalah adalah tanah yang di sengketakan oleh indonesia dan malaysia, tanah ini adalah milik indonesia tetapi selalu di akui oleh malaysia yang serakah dan tidak mau mengalah untuk merebutkan tanah itu. Akhir – akhir ini selalu di perdebatkan oleh para menteri dan para masyarakat indonesia karena yang tak terima tanah milik indonesia yang kaya akan hasil alam dan tambangnya dan sekaligus pulau yang esotik di ambil secara percuma oleh malaysia.
Awal mula kasus itu dimulai pada tahun 1968, ketika Malaysia bereaksi terhadap perjanjian kerjasama antara Indonesia dengan Japex (Japan Exploration Company Limited) tahun 66. Malaysia juga melakukan kerjasama dengan Sabah Teiseki Oil Company tahun 68, sebagai tanggapan terhadap kegiatan eksplorasi laut di wilayah Sipadan. Tahun 69, Malaysia mulai melakukan klaim bahwa Sipadan Ligitan merupakan wilayah Malaysia, yang hal ini langsung di tolak oleh pemerintah Indonesia. Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi berlangsung dengan cara “Asian Way”, sebuah cara yang mengedepankan dialog, dengan menghindari konflik militer.
Akhirnya masalah itu menjadi redam dalam tanda kutip, artinya dialog tentang perselisihan itu dicoba dilakukan dengan cara “sambil minum teh”. Indonesia sungguh terbuai dengan model seperti itu sehingga Indonesia tiba-tiba kaget ketika pada bulan Oktober tahun 91, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun turisme dan arena diving yang sangat bagus (betapa “kasihannya” Indonesia itu). Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice, the Hague di Belanda.
Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut.
Kedua negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun 1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti historis terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai.
Perlu kita tahu di sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infra struktur Sipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama.
Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun bahasa yang dipergunakannya.
Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua negara. Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia.
Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi. Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim terkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan. Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri.
Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat utama sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli.
Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun. Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis. Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita.
Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional. Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau “tak bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.
§  Analisis Kasus
            Bila kita kaitkan dengan teori konflik Ibnu Khaldun, kasus perebutan wilayah Sipadan dan Ligitan antara  Indonesia dan Malaysia tersebut  menunjukkan adanya sifat ingin memenangi dan menguasai satu sama lain. Malaysia dalam konflik ini ternyata telah mampu memenangi dan menguasai wilayah Sipadan dan Ligitan menjadi milik mereka yang padahal sebenarnya ialah milik Indonesia.
            Dari kasus ini  kita bisa mengetahui bahwa Malaysia juga memiliki sifat agresif dan serakah yang ingin mengusai wilayah Sipadan dan Ligitan tersebut, Sehingga dijelaskan bahwa Malaysia telah  mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke dalam wilayahnya.
            Sebenarnya konflik seperti itu dapat terjadi karena salah satu pihak memiliki kelemahan yang di ketahui oleh pihak lawan, sehingga pihak lawan dengan sangat mudah mengalahkan lawan konfliknya. Di sini Malaysia memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengalahkan Indonesia, karena pihak Malaysia yang mengetahui sistem Indonesia yang masih kurang tegas dan pembangunan yang belum menyeluruh ke semua wilayah Indonesia.

2.   Karl Marx
            Menurut marx konflik yang terjadi dapat disebabkan oleh adanya sistem kapitalisme yang membagi masyarakat ke dalam dua kelas yakni kelas borjuis (mereka yang memiliki modal ) dan kelas proletar (mereka yang hanya memiliki tenaga). Dengan adanya pembagian kelas tersebut maka setiap individu yang tergabung dalam masing-masing kelas tersebut akan saling memeperjuangkan kelas mereka, sehingga mereka akan saling berusaha untuk mempertahankan dan memperjuangkan kelas yang mereka miliki. Dalam memperjuangkan kelas tersebut tentu tidaklah selalu mulus, sebab untuk dapat mempertahankan dan memperjuangkan kelas manusia selalu dihadapkan kepada berbagai rintangan-rintangan bahkan mengalami konflik.
            Selain itu marx dalam teorinya mengatakan bahwa diantara kelas borjuis dan kelas proletar akan terjadi ketegangan-ketegangan yang nantinya akan menciptakan gerakan sosial yang disebut revolusi. Ketegangan tersebut akan terjadi manakala kelas proletar sadar bahwa mereka telah di eksploitasi oleh kaum borjuis. Sehingga dengan demikian kelas proletar akan pasrah dan menerima keadaan atas apa yang telah terjadi pada dirinya.
*      Contoh : Kasus Perusahaan Nike

§  Kronologis Kasus
Puluhan ribu buruh perusahaan sepatu Nike di Indonesia hanya mendapat 2,46 dollar AS per hari (sebelum krisis moneter) dari sekitar 90-100 dollar harga sepasang sepatu Nike. Padahal dalam sehari, mereka bisa menghasilkan sekitar 100 sepatu. Sementara itu, Michael Jordan meraup 20 juta dollar AS per tahun dari iklan Nike. Sementara bos Nike, Philip H. Knight, memperoleh gaji 864.583 dollar dan bonus 787.500 dollar. Tetapi, di belakang mereka ratusan ribu buruh Nike di seluruh dunia tetap kelaparan.
Sepatu Nike telah menjadi gaya hidup bagi kebanyakan orang di dunia. Tidak hanya di Indonesia sebagai produsen terbesar, tidak juga di Amerika Serikat (AS) sebagai pemilik asli perusahaan Nike Inc. Sepasang sepatu Nike bisa berharga lebih dari 100 dollar AS. Dengan posisi ini, Nike jelas mampu mengeruk uang dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan Nike mampu membayar Michael Jordan sebesar 20 juta dollar per tahun untuk membantu menciptakan citra Nike. Demikian pula Andre Agassi yang bisa memperoleh 100 juta dollar untuk kontrak iklan selama 10 tahun. Sementara itu bos dan dedengkot Nike Inc, Philip H. Knight, mengantongi gaji dan bonus sebesar 864.583 dollar dan 787.500 dollar pada tahun 1995. Jumlah ini belum termasuk stok Nike sebesar 4,5 biliun dollar.
Namun ternyata nasib bagus mereka tidak diikuti oleh sebagian besar mereka yang bekerja untuk Nike. Seperti digambarkan oleh Bob Herbert di The New York Times. Orang-orang semacam mereka menempati papan teratas dalam bagan yang berbentuk piramida. Sebagian kecil orang-orang Nike menempati posisi empuk dan menjadi kaya raya. Ini merupakan kebalikan dari orang-orang di bawah, yang harus bekerja membanting tulang untuk memproduksi Nike dan terus menghidupi orang semacam Knight, Agassi ataupun Michael Jordan. Kekayaan yang mereka peroleh ternyata didapat dengan menindas sekian banyak buruh di berbagai negara tempat operasi produk Nike, termasuk Indonesia. Merekalah yang menempati posisi mayoritas di papan paling bawah.
Dari harga sepatu sekitar 100 dollar AS tersebut, hanya sekitar 2,46 dollar per hari yang disisihkan untuk buruh di Indonesia. Itupun dihitung sebelum ada krisis moneter. Sementara buruh di Vietnam hanya menerima 1 dollar. Kondisi inilah yang membuat masyarakat AS tidak bangga, bahkan tidak simpati terhadap Nike. Masyarakat AS pun berduyun-duyun menggelar aksi protes. Bahkan sekarang telah muncul gerakan anti-Nike. Aksi protes dan gerakan anti-Nike ini tersebar di beberapa negara bagian AS, bahkan di beberapa bagian di belahan dunia. Di Oregon, tempat kantor pusat Nike Inc, masyarakat tampak tak jenuh-jenuhnya menyatroni Nike Town di jantung kota Portland dan kantor pusat Nike di Beaverton, tak jauh dari Portland. Kota Portland yang selalu tampak adem ayem ini bisa hiruk-pikuk dengan aksi mereka. Portland adalah kota terbesar di negara bagian Oregon, meskipun bukan ibukotanya.
Bagi sebagian besar warga Portland, mereka sudah biasa mendengar berbagai tuduhan terhadap kontraktor Nike di luar negeri ( di luar AS). Mereka dianggap tidak membayar upah buruh dengan layak. Mereka juga dituduh memaksa buruh untuk kerja lembur, mempekerjakan anak-anak, dan sering dengan seenaknya menjatuhkan hukuman ke buruh, meski hanya karena kesalahan kecil. Tetapi tuduhan-tuduhan yang sering dilontarkan lewat surat ke Nike ataupun saat demonstrasi telah berkembang tidak hanya berhenti sampai di aksi protes. Namun telah berkembang menjadi sebuah gerakan anti-Nike dengan seruan boikot terhadap produk Nike.
Citra Iklan
Mungkin sebenarnya Nike tidak sendirian. Banyak perusahaan multinasional lain yang melakukan tindakan sama dengan dengan Nike. Mereka tidak banyak berbicara ketika harus berbicara mengenai buruh. Tetapi mereka akan berbicara lantang kalau kepentingan bisnis mereka terganggu. Namun serangan Nike tampak lebih gencar dibanding perusahaan lain.
Nike bersikap sok suci. Dalam iklan-iklannya, Nike mencitrakan diri lebih suci dibanding lainnya. Dalam iklan-iklannya Nike selalu menggambarkan kepedulian sosialnya. Dalam salah satu iklannya, “If You Let Me Play“, muncul seorang gadis kecil yang mempromosikan feminisme. Gadis tersebut menyebutkan bahwa Tiger Woods juga mempromosikan hak-hak asasi manusia. Tiger Woods adalah pemain golf dari AS keturunan Afro-Amerika yang baru melambung namanya di percaturan golf internasional. Dalam iklan tersebut Nike juga menyebutkan masih adanya diskriminasi terhadap warga kulit hitam dalam dunia golf. Dalam iklan yang lain, Nike berkhotbah tentang perdamaian dan menentang aksi kekerasan.
§  Analisis Kasus
            Bila dikaitkan dengan teori konflik marx, kasus perusahaan nike tersebut me-nunjukkan bahwa adanya perbedaan antara kelas borjuis (mereka yang memiliki modal ) dan kelas proletar (mereka yang hanya memiliki tenaga). Dari kasus ini kita bisa mengetahui bahwa perusahaan Nike telah memanfaatkan modal ataupun kekuasaan yang mereka miliki dalam menindas para kaum buruh yang bekerja untuk mereka, yang tidak memiliki kekuasaan ataupun modal. Selain itu perusahaan nike juga memanfaatkan modal yang mereka miliki untuk menciptakan iklan-iklan tentang perusahaan mereka yang menunjukkan bahwa mereka sangatlah memiliki kepedulian sosial. Padahal justru sebaliknya berbeda dengan kenyataan sebenarnya bahwa mereka tidak memeliki kepedulian sosial.
            Dari kasus perusahaan nike tersebut juga menunjukkan bahwa para kaum buruh belum dapat memperjuangkan hak-hak mereka sebagai buruh dikarenakan mereka tidak memiliki kekuasaan ataupun modal. Sehingga hal inilah yang memicu terjadinya konflik dimana masyarakat Amerika Serikat melakukan protes terhadap perusahaan nike yang dianggap tidak adil dalam memberikan upah yang layak terhadap kaum buruh.
3.   Max Weber
            Max Weber mengatakan bahwa kemunculan konflik tidak hanya ditentukan deter-minan ekonomi melainkan adanya prestise (status) dan power (kekuasaan politik). Artinya konflik dapat terjadi karena adanya pengelompokan-penglompokan masyarakat yang disebut stratifikasi. Stratifikasi sosial dalam kehidupan masyarakat tersebut menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan status dan kemampuan seseorang dalam melangsungkan kehidupannya.
            Selain itu adanya power (kekuasaan politik) juga dikatakan dapat menyebabkan terjadinya konflik karena kita tau semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin besar kesempatan dan kemungkinan ia memanfaatkan jabatan tersebut untuk menunjukkan kekuasaannya dalam berbagai aktivitas kegiatan yang salah satunya adalah dalam menunjukkan kekuasaan politik. Dalam hal ini orang tersebut memanfaatkan kekuasaan politiknya untuk dapat mencapai sesuatu yang dia inginkan.
*      Contoh : Kasus Perusahaan Nike
§  Analisis Kasus:
            Berdasarkan kasus dari perusahaan nike di atas kita dapat mengaitkannya dengan teori konflik dari Max Weber, dimana dalam perusahaan nike tersebut tampak jelas sekali pengelompokkan antara kaum pemegang kekuasaan dengan kaum yang tidak memiliki kekuasaan. Dimana para pemegang kekuasaan itu seperti bos dari nike inc, para pencitra iklan nike, dapat menikmati hasil dari kerja keras yang dikerjakan para pekerja dari perusahaan nike. Sedangkan para pekerja itu sendiri tidak apat menikmati hasil kerja keras mereka dengan seutuhnya, karena gaji yang mereka dapatkan tidak mencukupi untuk kehidupan mereka. Dengan kata lain, para pemegang kekuasaan selalu memanfaatkan kekuasaannya untuk mengambil sesuatu yang mereka inginkan untuk tujuan dan kepentingan mereka.
Sumber Bacaan :
§  Dikutip dalam : http://cabiklunik.blogspot.com/2012/04/menguak-pemikiran-ibnu-khaldun.html Diakses pada 17 Februari 2014 pada pukul 20:13
§  Dikutip dalam : http://sophiasciencia.wordpress.com/2012/03/29/teori-ashobiyah-dan-teori-konflik-menurut-ibn-khaldun/  Diakses pada 17 Februari 2014 pada pukul 21:19
§  Dikutip dalam : http://wirasudewa.wordpress.com/2013/01/24/teori-konflik-dalam-sosiologi/ Diakses pada 17 Februari 2014 pada pukul 22:31
§  Dikutip dalam :  nikmatulaini.blogspot.com/2011/06/sejarah-struktural-konflik.html Diakses Pada 17 Februari 2014 pada pukul 23:56
      Dikutip dalam : .http://nyomba.blogspot.com/2011/02/teori-konflik.html Diakses Pada 18 Februari 2014 pada pukul 20: 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar