Nama
Kelompok :
Ade Mariani
Agustina
Nurhalimah
Sipahutar
Remina
Tarigan
Zul Afdila
Yufa
Perspektif Konflik Klasik
Berbicara mengenai konflik tentu
tidak menjadi hal yang asing lagi terdengar oleh telinga kita. Dalam kehidupan, manusia akan senantiasa
dihadapkan pada konflik sehingga mau tidak mau manusia harus menerima
terjadinya konflik, karena pada dasarnya
manusia tidak dapat mengindarkan diri dari konflik. Selain itu konflik tidak selamanya mengarah
kepada pertentangan-pertentangan, sebab ada kalanya konflik dapat membuat
masyarakat bersatu sebagaimana yang dikatakan oleh Coser. Ada berbagai
perspektif yang lahir dari konflik, diantaranya perspektif konflik klasik yang
akan kami jelaskan di bawah ini.
1. Ibnu Khaldun
Ibnu
Khaldun mengatakan bahwa dinamika konflik yang terjadi pada masyarakat
ditentukan oleh keberadaan kelompok sosial berbasis pada identitas, golongan
etnis maupun tribal. Dalam pandangan ibnu khaldun, kelompok sosial akan
memberikan kontribusi terjadinya konflik yang ditandai dengan adanya sifat
kelompok sosial untuk memenangi dan menguasai. Ibnu Khaldun juga menjelaskan
bahwa manusia memiliki sifat agresif dalam dirinya, sehingga sifat agresif
tersebut menjadi pemicu terjadinya konflik.
Contoh : Kasus Perebutan Sipadan dan Ligitan
§ Kronologis Kasus
(Dikutip dalam : http://bryantobing01.blog.com/indonesia-malaysia-dalam-perebutan-pulau-sipadan-dan-ligitan/
Diakses pada 17 Februari 2014 pada pukul 21:40)
Sipadan
dan ligitan adalah adalah tanah yang di sengketakan oleh indonesia dan
malaysia, tanah ini adalah milik indonesia tetapi selalu di akui oleh malaysia
yang serakah dan tidak mau mengalah untuk merebutkan tanah itu. Akhir – akhir
ini selalu di perdebatkan oleh para menteri dan para masyarakat indonesia
karena yang tak terima tanah milik indonesia yang kaya akan hasil alam dan
tambangnya dan sekaligus pulau yang esotik di ambil secara percuma oleh
malaysia.
Awal mula kasus itu dimulai pada tahun 1968, ketika Malaysia bereaksi
terhadap perjanjian kerjasama antara Indonesia dengan Japex (Japan Exploration
Company Limited) tahun 66. Malaysia juga melakukan kerjasama dengan Sabah
Teiseki Oil Company tahun 68, sebagai tanggapan terhadap kegiatan eksplorasi
laut di wilayah Sipadan. Tahun 69, Malaysia mulai melakukan klaim bahwa Sipadan
Ligitan merupakan wilayah Malaysia, yang hal ini langsung di tolak oleh
pemerintah Indonesia. Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi berlangsung
dengan cara “Asian Way”, sebuah cara yang mengedepankan dialog, dengan
menghindari konflik militer.
Akhirnya masalah itu menjadi redam dalam tanda kutip, artinya dialog
tentang perselisihan itu dicoba dilakukan dengan cara “sambil minum teh”. Indonesia
sungguh terbuai dengan model seperti itu sehingga Indonesia tiba-tiba kaget
ketika pada bulan Oktober tahun 91, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan peta yang
memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan tragisnya Indonesia
juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun turisme dan arena diving yang
sangat bagus (betapa “kasihannya” Indonesia itu). Kemudian pada tahun 1997
Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke
International Court of Justice, the Hague di Belanda.
Penyelesaian
sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada
hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia.
Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang
besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua
belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya
kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model
penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih
cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua
negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme
penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme
regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal
perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan
domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya.
Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi
(High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas
untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial.
Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan
hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan
Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar
maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya
Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar
Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan
diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan
para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut.
Kedua negara telah melakukan
pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun
melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun
1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti
historis terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997
pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan
masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan
pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian
dengan cara damai.
Perlu kita tahu di sini adalah selama jangka
waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah melakukan
suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas
Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto”
pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974
Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infra struktur Sipadan-Ligitan
lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini
terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama.
Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya
diri dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang
bertempat tinggal di sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini
sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia berasal dari rumpun
yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga Indonesia dan warga Malaysia
dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun bahasa yang dipergunakannya.
Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah
perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang
berasal dari kedua negara. Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah
internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan.
Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan
terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive
occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata
hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia.
Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga
poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta
instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga
terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar
lembaga untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi
lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi
melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional.
Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi
perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun
ekonomi. Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami
Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka
peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara
militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah
kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya.
Ketiga, tidak adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan
yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat
dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan
penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters)
dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera
dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal
ini memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang
terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau
perbatasan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan
jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim terkait batas-batas nasional dan teritorial.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim terkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang
mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika
kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan
pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan
Sipadan-Ligitan. Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat
kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari
luar negeri.
Kemampuan militer armada laut kita amat minim
apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan
peralatan militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan rata-rata
pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat
utama sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu
melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli.
Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal
berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia
11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun. Dalam relasi dunia
modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai
langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis
menjadi pilihan utama dan logis. Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit
terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis
atas kemampuan tim diplomatik kita.
Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat
perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan
menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif
dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk
persoalan perbatasan di forum internasional. Hal ini terlihat dari minimalnya
perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas
negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau “tak
bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi
alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari
perhatian Pemerintah Indonesia.
§ Analisis
Kasus
Bila kita kaitkan dengan teori
konflik Ibnu Khaldun, kasus perebutan wilayah Sipadan dan Ligitan
antara Indonesia dan Malaysia tersebut menunjukkan adanya sifat ingin memenangi dan
menguasai satu sama lain. Malaysia dalam konflik ini ternyata telah mampu
memenangi dan menguasai wilayah Sipadan dan Ligitan menjadi milik mereka yang
padahal sebenarnya ialah milik Indonesia.
Dari kasus ini kita bisa mengetahui bahwa Malaysia juga
memiliki sifat agresif dan serakah yang ingin mengusai wilayah Sipadan dan
Ligitan tersebut, Sehingga dijelaskan bahwa Malaysia telah mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan
Ligitan ke dalam wilayahnya.
Sebenarnya
konflik seperti itu dapat terjadi karena salah satu pihak memiliki kelemahan
yang di ketahui oleh pihak lawan, sehingga pihak lawan dengan sangat mudah
mengalahkan lawan konfliknya. Di sini Malaysia memiliki kekuatan dan kemampuan
untuk mengalahkan Indonesia, karena pihak Malaysia yang mengetahui sistem
Indonesia yang masih kurang tegas dan pembangunan yang belum menyeluruh ke
semua wilayah Indonesia.
2.
Karl Marx
Menurut
marx konflik yang terjadi dapat disebabkan oleh adanya sistem kapitalisme yang
membagi masyarakat ke dalam dua kelas yakni kelas borjuis (mereka yang memiliki modal ) dan kelas proletar (mereka yang hanya memiliki
tenaga).
Dengan adanya pembagian kelas tersebut maka setiap individu yang tergabung
dalam masing-masing kelas tersebut akan saling memeperjuangkan kelas mereka,
sehingga mereka akan saling berusaha untuk mempertahankan dan memperjuangkan kelas
yang mereka miliki. Dalam memperjuangkan kelas tersebut tentu tidaklah selalu
mulus, sebab untuk dapat mempertahankan dan memperjuangkan kelas manusia selalu
dihadapkan kepada berbagai rintangan-rintangan bahkan mengalami konflik.
Selain itu marx dalam teorinya
mengatakan bahwa diantara kelas borjuis dan kelas proletar akan terjadi
ketegangan-ketegangan yang nantinya akan menciptakan gerakan sosial yang
disebut revolusi. Ketegangan tersebut akan terjadi manakala kelas proletar
sadar bahwa mereka telah di eksploitasi oleh kaum borjuis. Sehingga dengan
demikian kelas proletar akan pasrah dan menerima keadaan atas apa yang telah
terjadi pada dirinya.
Contoh : Kasus Perusahaan Nike
( Dikutip dalam : http://utariromauli.wordpress.com/2012/05/30/analisis-kasus-buruh-nike-di-indonesia-dengan-teori-marxist-dan-protap-dengan-teori-post-marxist-2/
Diakses pada 17 Februari 2014 pada pukul 22:49)
§
Kronologis
Kasus
Puluhan
ribu buruh perusahaan sepatu Nike di Indonesia hanya mendapat 2,46 dollar AS
per hari (sebelum krisis moneter) dari sekitar 90-100 dollar harga sepasang
sepatu Nike. Padahal dalam sehari, mereka bisa menghasilkan sekitar 100 sepatu.
Sementara itu, Michael Jordan meraup 20 juta dollar AS per tahun dari iklan Nike.
Sementara bos Nike, Philip H. Knight, memperoleh gaji 864.583 dollar dan bonus
787.500 dollar. Tetapi, di belakang mereka ratusan ribu buruh Nike di seluruh
dunia tetap kelaparan.
Sepatu
Nike telah menjadi gaya hidup bagi kebanyakan orang di dunia. Tidak hanya di
Indonesia sebagai produsen terbesar, tidak juga di Amerika Serikat (AS) sebagai
pemilik asli perusahaan Nike Inc. Sepasang sepatu Nike bisa berharga lebih dari
100 dollar AS. Dengan posisi ini, Nike jelas mampu mengeruk uang dalam jumlah
yang sangat besar. Bahkan Nike mampu membayar Michael Jordan sebesar 20 juta
dollar per tahun untuk membantu menciptakan citra Nike. Demikian pula Andre
Agassi yang bisa memperoleh 100 juta dollar untuk kontrak iklan selama 10
tahun. Sementara itu bos dan dedengkot Nike Inc, Philip H. Knight, mengantongi
gaji dan bonus sebesar 864.583 dollar dan 787.500 dollar pada tahun 1995.
Jumlah ini belum termasuk stok Nike sebesar 4,5 biliun dollar.
Namun
ternyata nasib bagus mereka tidak diikuti oleh sebagian besar mereka yang
bekerja untuk Nike. Seperti digambarkan oleh Bob Herbert di The
New York Times. Orang-orang semacam mereka menempati papan teratas
dalam bagan yang berbentuk piramida. Sebagian kecil orang-orang Nike menempati
posisi empuk dan menjadi kaya raya. Ini merupakan kebalikan dari orang-orang di
bawah, yang harus bekerja membanting tulang untuk memproduksi Nike dan terus
menghidupi orang semacam Knight, Agassi ataupun Michael Jordan. Kekayaan yang
mereka peroleh ternyata didapat dengan menindas sekian banyak buruh di berbagai
negara tempat operasi produk Nike, termasuk Indonesia. Merekalah yang menempati
posisi mayoritas di papan paling bawah.
Dari
harga sepatu sekitar 100 dollar AS tersebut, hanya sekitar 2,46 dollar per hari
yang disisihkan untuk buruh di Indonesia. Itupun dihitung sebelum ada krisis
moneter. Sementara buruh di Vietnam hanya menerima 1 dollar. Kondisi inilah
yang membuat masyarakat AS tidak bangga, bahkan tidak simpati terhadap Nike.
Masyarakat AS pun berduyun-duyun menggelar aksi protes. Bahkan sekarang telah
muncul gerakan anti-Nike. Aksi protes dan gerakan anti-Nike ini tersebar di
beberapa negara bagian AS, bahkan di beberapa bagian di belahan dunia. Di
Oregon, tempat kantor pusat Nike Inc, masyarakat tampak tak jenuh-jenuhnya
menyatroni Nike
Town di jantung kota
Portland dan kantor pusat Nike di Beaverton, tak jauh dari Portland. Kota
Portland yang selalu tampak adem ayem ini bisa hiruk-pikuk dengan aksi mereka.
Portland adalah kota terbesar di negara bagian Oregon, meskipun bukan ibukotanya.
Bagi
sebagian besar warga Portland, mereka sudah biasa mendengar berbagai tuduhan
terhadap kontraktor Nike di luar negeri ( di luar AS). Mereka dianggap tidak
membayar upah buruh dengan layak. Mereka juga dituduh memaksa buruh untuk kerja
lembur, mempekerjakan anak-anak, dan sering dengan seenaknya menjatuhkan
hukuman ke buruh, meski hanya karena kesalahan kecil. Tetapi tuduhan-tuduhan
yang sering dilontarkan lewat surat ke Nike ataupun saat demonstrasi telah
berkembang tidak hanya berhenti sampai di aksi protes. Namun telah berkembang
menjadi sebuah gerakan anti-Nike dengan seruan boikot terhadap produk Nike.
Citra Iklan
Mungkin
sebenarnya Nike tidak sendirian. Banyak perusahaan multinasional lain yang
melakukan tindakan sama dengan dengan Nike. Mereka tidak banyak berbicara
ketika harus berbicara mengenai buruh. Tetapi mereka akan berbicara lantang
kalau kepentingan bisnis mereka terganggu. Namun serangan Nike tampak lebih
gencar dibanding perusahaan lain.
Nike
bersikap sok suci. Dalam iklan-iklannya, Nike mencitrakan diri lebih suci
dibanding lainnya. Dalam iklan-iklannya Nike selalu menggambarkan kepedulian
sosialnya. Dalam salah satu iklannya, “If You Let Me Play“, muncul
seorang gadis kecil yang mempromosikan feminisme. Gadis tersebut menyebutkan bahwa
Tiger Woods juga mempromosikan hak-hak asasi manusia. Tiger Woods adalah pemain
golf dari AS keturunan Afro-Amerika yang baru melambung namanya di percaturan
golf internasional. Dalam iklan tersebut Nike juga menyebutkan masih adanya
diskriminasi terhadap warga kulit hitam dalam dunia golf. Dalam iklan yang
lain, Nike berkhotbah tentang perdamaian dan menentang aksi kekerasan.
§
Analisis Kasus
Bila dikaitkan dengan teori konflik
marx, kasus perusahaan nike tersebut me-nunjukkan bahwa adanya perbedaan antara
kelas borjuis (mereka yang memiliki modal ) dan kelas proletar (mereka
yang hanya memiliki tenaga). Dari kasus ini kita bisa mengetahui bahwa
perusahaan Nike telah memanfaatkan modal ataupun kekuasaan yang mereka miliki
dalam menindas para kaum buruh yang bekerja untuk mereka, yang tidak memiliki
kekuasaan ataupun modal. Selain itu perusahaan nike juga memanfaatkan modal
yang mereka miliki untuk menciptakan iklan-iklan tentang perusahaan mereka yang
menunjukkan bahwa mereka sangatlah memiliki kepedulian sosial. Padahal justru
sebaliknya berbeda dengan kenyataan sebenarnya bahwa mereka tidak memeliki kepedulian
sosial.
Dari
kasus perusahaan nike tersebut juga menunjukkan bahwa para kaum buruh belum
dapat memperjuangkan hak-hak mereka sebagai buruh dikarenakan mereka tidak
memiliki kekuasaan ataupun modal. Sehingga hal inilah yang memicu terjadinya
konflik dimana masyarakat Amerika Serikat melakukan protes terhadap perusahaan
nike yang dianggap tidak adil dalam memberikan upah yang layak terhadap kaum
buruh.
3. Max Weber
Max Weber mengatakan bahwa
kemunculan konflik tidak hanya
ditentukan deter-minan ekonomi melainkan adanya prestise (status)
dan power (kekuasaan politik). Artinya konflik dapat
terjadi karena adanya pengelompokan-penglompokan masyarakat yang disebut
stratifikasi. Stratifikasi sosial dalam kehidupan masyarakat tersebut
menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan status dan kemampuan seseorang dalam
melangsungkan kehidupannya.
Selain
itu adanya power (kekuasaan politik) juga dikatakan dapat menyebabkan
terjadinya konflik karena kita tau semakin tinggi jabatan seseorang maka
semakin besar kesempatan dan kemungkinan ia memanfaatkan jabatan tersebut untuk
menunjukkan kekuasaannya dalam berbagai aktivitas kegiatan yang salah satunya
adalah dalam menunjukkan kekuasaan politik. Dalam hal ini orang tersebut
memanfaatkan kekuasaan politiknya untuk dapat mencapai sesuatu yang dia
inginkan.
Contoh : Kasus Perusahaan Nike
§ Analisis Kasus:
Berdasarkan kasus dari perusahaan
nike di atas kita dapat mengaitkannya dengan teori konflik dari Max Weber,
dimana dalam perusahaan nike tersebut tampak jelas sekali pengelompokkan antara
kaum pemegang kekuasaan dengan kaum yang tidak memiliki kekuasaan. Dimana para
pemegang kekuasaan itu seperti bos dari nike inc, para pencitra iklan nike,
dapat menikmati hasil dari kerja keras yang dikerjakan para pekerja dari
perusahaan nike. Sedangkan para pekerja itu sendiri tidak apat menikmati hasil
kerja keras mereka dengan seutuhnya, karena gaji yang mereka dapatkan tidak
mencukupi untuk kehidupan mereka. Dengan kata lain, para pemegang kekuasaan
selalu memanfaatkan kekuasaannya untuk mengambil sesuatu yang mereka inginkan
untuk tujuan dan kepentingan mereka.
Sumber
Bacaan :
§ Dikutip
dalam : http://cabiklunik.blogspot.com/2012/04/menguak-pemikiran-ibnu-khaldun.html
Diakses pada 17 Februari 2014 pada pukul 20:13
§ Dikutip
dalam : http://sophiasciencia.wordpress.com/2012/03/29/teori-ashobiyah-dan-teori-konflik-menurut-ibn-khaldun/ Diakses pada 17 Februari 2014 pada pukul
21:19
§ Dikutip
dalam : http://wirasudewa.wordpress.com/2013/01/24/teori-konflik-dalam-sosiologi/
Diakses pada 17 Februari 2014 pada pukul 22:31
§ Dikutip
dalam : nikmatulaini.blogspot.com/2011/06/sejarah-struktural-konflik.html
Diakses Pada 17 Februari 2014 pada pukul 23:56
•
Dikutip dalam : .http://nyomba.blogspot.com/2011/02/teori-konflik.html
Diakses Pada 18 Februari 2014 pada pukul 20: 21
•
Dikutip dalam : http://sufyan-ahamad-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-71902-%20Tokoh%20Sosiologi-Perkembangan%20Umum%20Teori%20Konflik.html
Diakses Pada 18 Februari 2014 pada pukul 21:18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar